b.) Kembali
Setelah itu, chat dari tomat pun tidak di balas lagi oleh Ginjima.
Suna pamit lebih dulu untuk pergi ke tempat [name] berada, mereka bertiga mengiyakan saja sambil berkata semoga berhasil kepada Suna.
Bukti yang dijadikan harapan ini sudah siap di handphone Suna, tanpa membuang waktu lama Suna menelpon nomor telepon [name] untuk mengajaknya membicarakan kesalah pahaman ini baik-baik.
Namun bukannya diangkat oleh [name], telepon tersebut malah diangkat oleh orang tua [name] lebih tepatnya diangkat oleh Ayah [name].
Suna takut jika kondisinya sudah begini, niat hati ingin berbaikan seperti dulu sepertinya tidak akan berjalan semulus yang ia harapkan.
"Selamat malam ayah, apa aku bisa kesana untuk menemui [name]?"
"Selamat malam juga nak, tolong jangan temui [name] selama beberapa hari kedepan, jaga kesehatan mu. Terima kasih."
Sambungan telepon tadi dimatikan secara sepihak. Suna semakin dibuat stress, keinginannya hanya berbaikan itu saja.
❣
Seminggu berlalu begitu saja, kondisi Suna saat ini semakin kacau.
Tunangannya tidak memiliki kabar selama seminggu ini dan makin banyak rumor miring tentang dirinya.
Dua hari yang lalu di kembali diserang dengan rumor kalau dirinya menghamili seorang wanita diluar nikah.
Suna sudah mencoba untuk menutup mulut media dengan uang, tetapi kalah dengan seorang penyebar rumor palsu itu.
Uang dibalas dengan uang, susah payah Suna menawarkan berbagai bayaran kepada para penyebar rumor.
Namanya sebagai atlit voli profesional bisa tercoreng padahal debutnya baru sekitar satu setengah tahun.
Suna gengsi untuk meninta bantuan Ayahnya, dia sudah membulatkan tekadnya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa harus ada campur tangan dari kedua orang tuanya.
Walaupun begitu, beban yang ia rasakan sungguh sangat berat. Seminggu ini, tak henti-hentinya para peliput berita mengejar dirinya. Gedung latihan pun dipenuhi para pemburu info dari berbagai stasiun TV.
Suna muak, jalan terakhir ia tempuh. Jari-jari itu dengan cepat mencari nama kontak "Nao". Menelponnya lalu mengajaknya untuk bertemu dan membahas masalah ini.
"Heee, akhirnya kau menyerah? pffft, apa [name] sangat penting bagi mu? kalian bahkan baru bertunangan, bisa dibatalkan bukan? akan ku kenalkan kau dengan seseorang yang pantas. Yaitu aku, HAHAHAHA."
Suna mengepalkan tangannya, lalu menjawab sambungan telepon itu. "[Name] belahan jiwaku, cewe gila. Hentikan rumor sialan itu."
"Kita bicarakan ini nanti, akan ku kirimkan tempat bertemunya. Lalu apa aku harus membawa kedua orang tua ku dan meminta mereka untuk menjodohkanku dengan mu?"
"Dalam mimpi mu."
Suna mematikan telepon tersebut. Merebahkan tubuhnya diatas kasur sambil memijat keningnya pelan.
Tertidur lelap untuk satu jam lamanya, Suna terbangun dengan keadaan menangis. Air matanya membasahi bantal miliknya.
Hatinya kosong, ia hanya ingin [name] berada didepannya saat ini. Memeluk tubuh mungil itu selama mungkin dan menyalurkan semua perasaan rindunya.
Notifikasi masuk, artinya Nao sudah mengirimkan lokasi untuk bertemu. Dengan cepat ia membersihkan diri dan melesat menuju tempat pertemuan.
Marah, sedih, takut, hampa semuanya tercampur menjadi satu, sudah yang kelima kalinya Suna gagal fokus dan hampir menabrak seseorang.
Tangannya bergetar, tubuhnya sedikit lemas dan hangat karena belum memakan sejak pagi tadi.
Mobil dipakirkan, kaki melangkah cepat menuju lantai dua restoran ini.
Diujung sana sudah terdapat Nao yang menunggu kedatangan Suna. Senyum tanpa dosa.
Nao memutar kedua matanya malas. "Kenapa kau berpakaian biasa saja di acara makan malam kita ini?"
Suna menarik kursi yang berada didepan Nao, lalu duduk diatasnya. "Untuk apa aku berpakaian bagus hanya untuk menemui mu?"
Sebisa mungkin Suna menahan nada suaranya untuk tidak meninggi, meskipun kesal nada bicaranya harus tetap datar dan tidak terkesan membentak saat lawan bicaranya adalah seorang wanita.
"Ya tak apa, pakai apapun kau tetao tampan. Mau memesan?" tawar Nao, tersenyum tipis sambil membuka-buka buku menu.
"Tujuan utama kita adalah membahas soal rumor itu."
"Rumor apa? Kau ada rumor?"
"Tolong jangan berpura-pura, awal dari kesialanku selama seminggu ini adalah karena ulahmu yang menciumku secara tiba-tiba pada hari itu."
"Heee, maaf untuk itu. Sudah bukan? Sekarang kau ingin memesan apa?"
Kesabarannya habis, Suna sudah sangat lelah menahan perasaan emosinya.
Baru saja Suna berdiri dari duduknya, ia mendengar suara seseorang yang sangat tidak asing di telinganya.
"Lalu, apa tujuan mu menyebarkan rumor tentang Suna menghamili seorang wanita diluar nikah?"
Suna membalikkan tubuhnya, mematung untuk beberapa saat. Menyadari [name] sedang berada disini.
Nao menutup buku menu yang ia pegang, lalu tersenyum remeh ke arah [name]. "Halo, nyonya Suna. Ups, belum resmi ya? Hahaha, kasihan."
"Santai, sebentar lagi margaku adalah Suna. Lalu apa masalahmu dengan hubungan kami sampai kau menyebar rumor yang tidak-tidak tentang Suna?"
Nao tertawa hebat lalu menaikkan salah satu alisnya. "Haaah, pasangan yang hebat, saling mendukung satu sama lain. Haha, aku terharu."
Suna masih berdiri diam ditempatnya, belum berani untuk masuk ke dalam percakapan [name] dan Nao. Membiarkan [name] memimpin keadaan.
"Lagipula, apa yang bisa dilakukan cewe seperti mu?"
Kini [name] yang tersenyum remeh kepada Nao. "Apa ya? ah, begini. Maaf ya Nao kalau kau merasa iri nanti, tapi...aku ini dekat dengan Ayah Suna loh. Kau tau? Sudah seperti ayah dan anak."
"Lalu?" nada bicara Nao menjadi sinis.
"Hmmm bagaimana ya? aku bekerja sama dengan Ayah Suna untuk menghentikan rumor yang kau sebar dan kau tau kan kalau posisi ayah Suna lebih tinggi dibandingkan ayah mu."
Alur pembicaraan yang belum dipahami oleh Nao. "Langsung ke inti saja dasar menyebalkan."
"Itu artinya kau kalah dasar bodoh. Aku sudah meminta tolong kepada ayah Suna untuk menghubungi ayah mu. Semoga hidupmu bahagia di luar negeri sana."
[Name] tertawa puas melihat ekspresi wajah Nao yang pucat. "Ah iya satu lagi. Aku sudah mengirimkan informasi yang bagus kepada kekasih mu, selamat putus hubungan Nao."
[Name] menarik tangan Suna dan membawanya keluar dari restoran ini. Sedangkan Nao sudah ditahan oleh para suruhan ayahnya yang sedari tadi sudah berada direstoran itu tanpa sepengetahuan Nao.
Suna masih bengong dan tidak menyangka dengan apa yang baru saja terjadi.
Pintu mobil dibuka, [name] masuk lebih dulu ke dalam mobil lalu beberapa saat kemudian diikuti oleh Suna yang juga ikut masuk ke dalam mobil.
"Bagaimana bisa?" tanya Suna.
"Apanya?" jawab [name].
"Kau dan ayah...."
"Sudah ku bilang bukan? aku dan ayah mu dekat hehe. Keesokan harinya setelah kau menelponku, temanku datang ke rumah dan memberikan sebuah video tentang rumor pertama itu," jelas [name].
"Lalu pada hari itu juga aku menelpon ayahmu dan meminta tolong untuk membantu mengurus kabar tersebut secara diam-diam, lalu beberapa hari berikutnya muncul lagi rumor baru," Sambung [name].
"Kau tau? selama seminggu ini aku jadi orang sibuk." [Name] menatap mata Suna dalam.
Suna terdiam, lalu ikut menatap mata [name]. "Boleh peluk?" tanya Suna.
[Name] terkejut dan merasa malu. "Eh apa?"
"Aku sangat merindukan mu, seminggu ini begitu berat."
Tatapan mata yang sayu, kantong mata, rambut kusut, tubuh lemas. [Name] tidak tega, Suna memang sangat kacau saat ini.
"Kemari," ucap [name].
Dengan senang hati Suna memeluk tubuh itu, akhirnya perasaan rindunya tersampaikan.
Di dalam pelukan itu, Suna menangis. "Aku merindukan mu."
[Name] merona hebat, di sisi lain dirinya merasa sedih. "Aku disini, Suna."
Pelukan dilepaskan, Suna mencari sesuatu didalam laci mobil. Mengambil sebuah kotak cincin dari sana.
[Name] merasa tak enak, dirinya mengingat kembali saat tangannya melemparkan cincin pertunangan itu.
Suna memegang cincin tunangan [name]. "Mau ku pakaikan?" tanya Suna dengan nada suara yang begitu lembut.
"Iya," jawab [name].
Suna memasukkan cincin tersebut ke jari [name], lalu kembali memeluknya.
"Selamat datang kembali."
[PDKT 7D Suna : sequel tamat]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top