•Payne Sister•Part 9
"Sial!" umpatku begitu aku melihat lokerku sudah penuh dengan coretan dan kotoran yang seharusnya dibuang ke tempat paling rendah bernama sampah.
Aku melirik ke arah sekitarku dan kutemukan banyak orang yang menatapku sinis. Tatapan mereka seolah mengatakan padaku agar aku pergi jauh-jauh dari tempat ini. Sama sekali tak ada pandangan bersahabat.
Aku menghela napas berat. Kembali menatap ke arah lokerku dengan pandangan sendu. Mati-matian aku menahan agar air mata bodoh ini tidak keluar. Karena aku tidak mau dianggap lemah di hadapan orang-orang yang sudah menindasku, ini akan membuat mereka bahagia.
Aku mengambil beberapa buku yang aku butuhkan tanpa merasa repot-repot membersihkan lokerku. Biarlah, itu kulakukan nanti saja karena setelah ini juga akan ada lagi orang yang membuang sampah di lokerku. Dasar, apa mereka tidak tau slogan 'buang sampah pada tempatnya'?
Aku menutup lokerku dengan kekuatan penuh hingga timbullah bunyi keras yang memekakkan telinga. Aku tidak peduli pada mereka yang kini memaki-makiku karena kencangnya suara loker tadi. Ya, aku harap suara tadi bisa memecahkan gendang telinga mereka!
Aku melirik sekitar kemudian menemukan Hana yang kini sibuk bersenda gurau dengan Bree dan squad-nya. Melihat itu membuat rasa kesalku memuncak tapi ada rasa sedih di dalamnya. Tidak, aku sedih bukan karena Hana mendapatkan teman lain selain diriku tapi karena betapa kejamnya mereka.
Aku tidak tahu apa yang Hana rencanakan, yang kutahu tiba-tiba dompet Bree ada di lokerku. Aku sudah bilang itu bukan ulahku tapi tak ada yang percaya karena mana ada dompet yang diciptakan dengan kaki dan bisa berpindah tempat?
Sejak saat itu hari burukku di Royal Academy semakin menjadi. Aku tidak punya teman di sini, aku bahkan sulit taju siapa yang benar-benar temanku di sini? Di tempat ini aku merasa bahwa rasa percaya diriku jatuh pada titik serendah-rendahnya. Selain tidak percaya pada diriku sendiri, aku jadi sulit percaya pada orang lain. Sekarang, aku bahkan ragu Niall adalah pria yang baik setelah segala hal yang kelalui di tempat terkutuk ini.
Oh, sialan kau Liam! Kalau saja kau tidak membuangku di tempat ini, ini tidak akan terjadi.
"Damn!" Aku kembali mengumpat begitu aku mendarat di lantai dengan tidak kerennya. Seseorang baru saja mendorongku.
Rasanya sakit. Sakit fisik dan juga sakit mental. Rasanya, aku tidak akan bisa tahan di tempat ini dalam jangka waktu yang lama. Ini kali pertama aku merasakan bullying jadi jangan salahkan aku jika aku terlihat menjadi gadis yang teramat sangat menyedihkan.
Dengan susah payah, aku bangkit berdiri. Menoleh untuk berhadapan dengan orang yang menjadi dalang di balik ini semua. Walau aku korban bully bukan berarti aku bisa langsung tunduk pada orang-orang yang berlaku kejam padaku. Aku harus membela diriku.
Aku mendapati sosok Bree di sana bersama beberapa temannya termasuk Hana. Astaga, Hana! Aku yakin, ini ulahnya. Dialah yang membuat dompet Bree ada di lokerku. Setidaknya, itulah yang saat ini kupercaya, hanya saja, aku tak tahu bagaimana membuktikannya. Jika aku hanya mengatakan soal ini pada Mr. Walker dia tidak akan percaya.
"Oh, sorry. Aku sengaja," kata Bree dengan suara yang dibuat-buatnya terdengar manis. Sumpah demi seluruh makanan di dunia ini, aku ingin muntah!
Aku hanya diam, sama sekali tak berniat membalas perkataannya. Aku bisa gila jika menjawabnya!
"Oh, lihatlah. Pencuri ini terlihat sangat menyedihkan," kata Hana membuat amarahku memuncak.
Hah, apa yang dia bicarakan? Yang pencuri itu 'kan dia? Lagipula, untuk apa aku mencuri dompet Bree? Untuk mencuri uangnya? Yang benar saja! Aku punya Liam dan Liam punya banyak uang, aku tinggal minta dia sejumlah uang yang aku butuhkan dan dia akan memberikan uang tersebut. Yeah, meski harus mendapatkan omelan gratis dari Liam tapi itu lebih baik dari pada mencuri dompet.
Aku masih tidak merespon, bahkan aku sekarang sudah berbalik dan hendak pergi dari hadapan mereka, tapi satu tangan mencegahku untuk mengayunkan kakiku.
Menoleh, ternyata yang melakukan tadi adalah Bree. Apa mau anak ini?
"Kau mau ke mana?"
Aku mengedikkan bahuku. "Menurutmu saja?"
"Urusanmu denganku belum selesai."
"Well, aku tidak cukup peduli dengan itu. Asal kau tahu saja, aku bahkan tak pernah menganggap kau punya urusan denganku."
Bree menggeram. Wajahnya memerah, menahan amarah mungkin. Tangannya terangkat, aku beramsumsi ia akan mendaratkan tangannya itu di pipiku. Tapi, sebelum Bree benar-benar sempat menamparku, satu tangan mengurungkan niatnya.
Aku mendongak dan untuk beberapa sekon lamanya manikku bertemu dengan manik birunya yang terkesan menenangkan. Ya, kau benar, orang yang menjadi pahlawan-kesianganku saat ini adalah Niall. Niall Horan.
Oh, lihat, betapa baiknya dia? Ketika orang lain berusaha memojokanku ia justru melindungi. Dan, saat ini aku merasa bersalah karena sebelumnya aku sudah berpikir mengenai apa Niall benar-benar pria yang baik?
Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Yang jelas, sekarang tangan Niall mengenggam tanganku dengan erat dan membawaku pergi dari hadapan Bree dan dari siswa lain yang menjadikan pertarungan antara aku dan Bree sebagai tontonan gratis. Oh, greet.
"Thank's Niall," ujarku begitu kami sudah ada di taman dan Niall sudah melepaskan genggamanya. Aku merasa kehilangan ketika ia melepaskan genggamannya. Oh, entahlah, aku tidak bisa mendeskripsikan dengan jelas perasaan apa yang saat ini melingkupiku.
"No problem, Alexa. Kau seharusnya tak memperdulikan mereka."
"Yeah, seharusnya...."
Niall tiba-tiba memelukku. Aku cukup terlonjak kaget. Jantungku sempat berhenti berdetak sebelum akhirnya berdetak dengan cepat lebih cepat dari pacuan kuda yang dulu sering dad tonton. Dan perasaan aneh kembali melingkupiku. Perutku terasa aneh dan seperti ada yang meletup-letup dalam diriku.
"Aku tau kahu gadis yang kuat. Kau tidak perlu sedih. Aku percaya pasti ada waktu di mana semua kebenaran terungakap. Ada satu pepatah; sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga. Sepandai-pandainya Hana menyembunyikan fakta bahwa ialah dalang di balik ini semua, akan ada massa di mana semua fakta itu akan terungkap dan ini semua akan menjadi bumerang baginya."
"Tunggu, kau tahu bahwa Hana yang melakukannya?"
"Aku sering mengamatimu, Alexa. Aku mengamati ketika kau berbicara dengan Hana mengenai dompet Bree yang ada di tanganny," Niall berbisik tepat di telingaku. Dan entah kenapa, pipiku terasa panas. Aku tidak tau apa yang menyebabkannya, apa perkataan Niall? Memang, apa yang salah dari perkataannya?
"Terima kasih, kau sudah mau ada di pihakku ketika semua orang menghakimiku. Bahkan Liam juga menghakimiku," kataku dengan nada sedih di akhir kalimat.
Pikiranku mendadak melintasi kejadian kemarin di mana aku disidang oleh Mr. Walker, Bree dan Liam. Aku sudah berulang kali menegaskan bahwa aku tak tahu-menahu soal dompet Bree yang ada di loker. Tapi tak ada yang percaya sedikitpun, termasuk Liam. Kakak tiriku itu bahkan semakin murka padaku.
###
"Apa maumu?" aku bertanya dengan nada sinis ketika aku sudah berhadapan dengan Hana.
Sekarang sudah tengah malam. Aku tidak bisa tidur karena--yeah, aku sendiri juga tidak tau mengapa. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintuku dan ketika kubuka aku menemukan Hana yang langsung masuk ke dalam kamarku dan menutup pintunya.
"Hanya mau mengatakan, terima kasih kau sudah mau mengaku bahwa kaulah pencuri dompet Bree yang sesungguhnya."
Aku mengangkat satu alisku. Diam-diam tanganku merogoh kantung piyama yang kupakai dan menghidupkan ponselku. Kebetulan, sebelum ini aku sedang merekam suaraku sendiri jadi ketika kubuka, sudah ada aplikasi perekam suara. Aku menekan tombol play mengijinkan aplikasi itu untuk merekam pembicaraan antara aku dan Hana.
Oh, Tuhan! Lihat, betapa aku pintar untuk saat ini?
"Aku tidak pernah mengaku bahwa akulah pencuri dompet itu, Hana. Apa yang kau maksud dengan ucapanmu tadi? Apa kau yang mencuri dompet itu?"
Hana mengangguk, kakinya kemudian melangkah menuju tempat tidurku dan duduk di ujung tempat tidur. Aku berjalan mendekatinya kemudian duduk di sampingnya. Yeah, aku tidak bisa jauh-jauh darinya. Alat perekam ini tidak akan bisa merekam ucapan Hana jika aku jauh darinya.
"Well, iya. Aku yang mencurinya. Aku mengambil beberapa uangnya sebelum kutaruh ke lokermu. Tadinya, aku ingin menaruh itu ke loker Bree tapi karena ia ada di sana, aku tidak berani dan menaruhnya ke lokermu."
"Kenapa? Kenapa kau mencurinya? Dan kenapa juga kau menaruh dompet Bree ke lokerku? Kenapa tidak ke loker anak lain saja?" kataku, tanpa sadar bahwa aku baru saja memberondonginya sejumlah pertanyaan seperti aku ini seorang polisi yang menginterograsi tersangka.
"Aku mencurinya karena, pertama, aku butuh uang untuk membeli parfum mahal dan yang kedua, aku kesal karena Bree terus saja memamerkan dompet itu. Alasan kenapa aku menaruhnya ke lokermu, itu karena kau temanku."
Bree kemudian melingkarkan lengannya di pundakku. Aku bisa merasakan bahwa saat ini wajahku memerah, menahan amarah.
Sial, apa yang tadi dia bilang? Aku temannya? Yang benar saja! Mana ada teman yang menjatuhkan temannya sendiri ke dalam lubang yang sangat dalam?
Si Jepang yang satu ini sepertinya belum diajari cara berteman dengan baik. Sepertinya, saat di Jepang dulu dia tak punya teman sama sekali.
"Terserah kau sajalah, kau tidak pulang? Aku mau tidur."
"Wow, kau mengusirku?"
Aku mengedikkan bahuku. "Jika kau berpikir aku mengusirmu, maka, iya, aku mengusirmu. Cepat pergi!"
Hana memberengut kesal kemudian ia cepat-cepat melangkahkan kakinya pergi dari kamarku dengan menghentakkan kakinya.
Aku kemudian menekan tombol stop pada perekam suara tadi setelah Hana menutup pintu kamar dan hilang di balik pintu. Aku tersenyum, menatap rekaman yang sudah ku-save itu.
Mari kita lihat, siapa pemenang yang sesungguhnya.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top