•Payne Sister•Part 5

Hal yang paling aku benci di dunia ini adalah; terbangun di rumah sakit. Dan sialnya, kali ini aku benar-benar terbangun di rumah sakit dengan infus yang menancap di pergelangan tanganku, perban membalut kepalaku dan selang oksigen yang menancap di kedua lubang hidungku. Yang lebih parah dari itu, aku hanya sendirian di ruangan ini.

Asal kau tahu, aku benci rumah sakit meski faktanya aku dulu lahir di rumah sakit. Aku juga benci bau obat-obatan yang mendominasi di rumah sakit. Aku tidak punya pengalaman buruk di rumah sakit, mom dan dad juga meninggal di tempat pada saat kecelakaan. Jelasnya, aku tidak punya alasan rasional mengapa aku benci rumah sakit. Tapi aku benci rumah sakit.

Tahu bahwa aku sedang ada di rumah sakit, keringat dingin keluar dari pelipisku. Tubuhku bergetar dan jantungku berdetak dengan sangat cepat hingga aku pikir organ tubuhku yang satu itu minta dikeluarkan dari tempatnya. Aku sudah tak bisa berpikir lagi karena pikiranku sekarang sudah ditutupi dengan rasa takut yang teramat sangat. Katakanlah aku berlebihan, tapi menurutku ini wajar. Ketika kau phobia terhadap sesuatu, kau juga merasakan hal ini bukan?

Pintu kamar tempatku di rawat terbuka, menimbulkan suara derit yang agak memekakkan telinga. Dari sudut mataku aku bisa menangkap sosok Niall yang tengah berdiri di ambang pintu dengan wajah yang ditekuk.

Napasku yang tadi tecekat sudah kembali normal. Aku memang benci rumah sakit namun ketika seseorang menemaniku di tempat ini aku tidak akan menjadi setakut itu.

"Kau sudah bangun?" tanya Niall yang menurutku adalah pertanyaan terkonyol yang pernah kudengar--maksudku, dia sudah melihatku membuka mata bukan? Jadi tentu saja aku sudah bangun.

Aku tidak menjawab, memilih bungkam karena kupikir jawabannya sudah jelas.

Niall berjalan mendekatiku kemudian ia menarik sebuah kursi di samping tempat tidurku hingga menimbulkan bunyi derit. Setelahnya ia menghempaskan bokongnya pada kursi tersebut.

"Bagaimana? Apa masih pusing? Apa perlu kupanggilkan dokter?" tanya Niall bertubi-tubi, wajahnya menyiratkan rasa kekhawatiran.

"Hanya sedikit pusing. Kurasa, kau tak perlu memanggilkan dokter untukku."

"Kau yakin keadaanmu baik-baik saja? Wajahmu pucat dan kau terlihat berkeringat."

Aku menyentuh pelipisku dan ternyata ucapan Niall beberapa sekon lalu benar adanya. Pelipisku berkeringat, efek ketakutan.

"Tak apa, aku hanya ... hanya takut."

Niall mengangkat satu alisnya. "Takut?" ia membeo.

"Iya, takut. Kau tahu, takut rumah sakit," kataku jujur meski sebenarnya aku malas jujur karena aku takut jika nanti Niall menertawakanku. Beberapa waktu lalu aku pernah mengatakan masalah phobiaku ini pada Harry dan si keriting itu dengan kurang ajarnya menertawakanku seolah aku adalah badut dengan jokes menyedihkan.

Tapi respon Niall tak seusai dengan ekspektasiku. Tangannya membungkus tanganku membuatku menjadi lebih tenang. Tak ada tanda-tanda bahwa si pirang di hadapanku ini akan tertawa dan menganggap bahwa phobiaku ini sangat konyol.

"Tak perlu takut, ada aku. Aku akan menjagamu," katanya membuat darahku berdesir dan kupu-kupu berterbangan di perutku.

Mungkin, deskripsi di atas sangat menjijikkan di telingamu tapi, percayalah! Itu yang kini kurasakan. Jika kau tanya mengapa tubuhku bereaksi seperti itu? Jawabannya, aku pun tidak tau.

Tapi, mari kita lupakan soal kupu-kupu yang berterbangan di perutku. Kini, mari ingat-ingat alasan mengapa aku ada di rumah sakit dengan kepala yang diperban? Apa aku mengalami kecelakaan? Sepertinya tidak, lagipula untuk apa aku bawa mobil sedangkan aku tinggal di asrama? Lagipula selama ini Liam juga tidak mengijinkanku mengendarai mobil meski aku sudah legal. Lalu, apa aku jatuh dengan tidak kerennya? Sepertinya tidak juga, aku selalu bisa menjaga keseimbanganku. Lagipula, kalau hanya jatuh efeknya tidak seperti ini bukan? Lantas apa?

"Kau kenapa?" tanya Niall, menyentakkanku dari lamunanku soal mengapa-aku-ada-di-tempat-ini?

"Kenapa aku di rumah sakit?" tanyaku to-the-point dan tepat disaat itu pintu ruang inapku kembali terbuka. Kali ini sosok Liam yang terlihat.

"Akhirnya kau sadar juga, Al," kata Liam sembari berjalan ke arahku dan Niall lalu berdiri di samping Niall yang sekarang sudah berdiri, mencampakkan kursi yang tadi ia duduki.

"Memangnya aku tidak sadar berapa abad?"

"Jangan hiperbola, Al. Kurang lebih kau tidak sadar selama dua puluh empat jam, tidak sampai berabad-abad," kata Liam sembari melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Aku hanya mengedikkan bahu, agak tak perduli soal berapa jam aku tak sadar.

"Kenapa aku di sini?" tanyaku lagi setelah beberapa detik dilalui dalam keheningan yang sejujurnya, agak membuatku takut.

"Kau ditemukan pingsan di ruang musik dalam keadaan kepalamu yang berdarah." Kata Liam, sukses membuat keningku berkerut.

Aku sama sekali tak ingat dengan alasan mengapa aku pingsan dan kepalaku berdarah. Apa ini yang disebut dengan amnesia? Kurasa tidak, buktinya aku masih ingat bahwa makhkuk berambut pirang dan bermata biru yang berdiri di samping kananku ini adalah Niall Horan yang mahir main gitar. Dan yang di samping Niall itu adalah kakak tiriku, Liam Payne. Bukankah jika kau amnesia kau akan melupakan orang-orang ini? Ah, sudahlah memikirkan tentang segala macam penyakit hanya akan membuatku kepalaku meledak.

"Apa kau tak ingat siapa pelakunya? Masalahnya, CCTV di ruang musik dan koridor tempat ruang musik tidak menyala saat itu."

Aku terdiam, mencoba memutar kembali kejadian yang kualami di ruang musik. Oh, andai saja aku bertemu dengan Doraemon, aku pasti akan meminta robot kucing (yang seperti musang) itu untuk membawaku ke massa lalu dengan mesin waktunya agar aku bisa tahu kejadian yang sebenarnya.

Aku menatap Liam yang menatapku dengan penuh harap lalu kualihkan tatapanku pada sosok Niall.

Niall. Niall Horan. Mantan kekasih Cam. Camellia Aston. Teman Cass. Cassandra Paddock. Kapten pemandu sorak. Memiliki jiwa psikopat. Mem-bully.

Aku membelakkan mataku ketika aku ingat segala kejadian di ruang musik beberapa waktu lalu. Ya, aku ingat Cam dan Cass-lah yang menjadi dalang di balik semua ini. Cass melempariku dengan batu. Cam menjambakku dengan kurang ajarnya seolah rambut hijauku ini adalah rumput.

"Aku ingat," kataku dengan suara pelan, hampir serupa dengan berbisik.

Liam yang mendengarnya terlihat senang. Jika ini adalah kartun disney favoritku, bisa kupastikan bahwa ada bintang kuning di mata Liam.

"Kau ingat?"

"Ya, sangat ingat," kataku mantap.

###

Tidak ada hal yang membahagiakan selain melihat orang yang sudah menyiksamu disiksa balik. Sedari tadi senyumku tak pudar ketika melihat Cass dan Cam dimarahi habis-habisan oleh Mr. Walker, dilempari tatapan tajam Liam yang pasti sangat menakutkan dan bisa membunuhmu secara perlahan.

Kini aku, Cass, Cam, Mr. Walker, Liam ada di ruangan Mr. Walker untuk membahas masalah pem-bully-an yang mereka lakukan terhadapku hanya karena sosok Niall Horan. Sebenarnya, Niall juga ingin ikut tapi karena ada pertandingan basket yang harus ia lakukan, ia tidak ada disini.

Omong-omong, aku agak bingung kenapa Liam terlihat seolah peduli pada keadaanku sekarang. Maksudku, dia adalah kakak tiri yang kejam bukan? Apa ia hanya ingin terlihat simpatik dengan keadaanku saat ini? Entahlah, aku malas memikirkan hal-hal yang seharusnya tak perlu kupikirkan.

"Jadi, kenapa kau melakukan hal itu Cass? Kuharap kau menjawab kali ini," kata Mr. Walker, terlihat sudah mulai kehilangan kesabaran mengingat sejak tadi Cass memilih bungkam soal mengapa ia ikut mem-bully-ku sedangkan harusnya hanya Cam yang berurusan denganku (meski Cam adalah kawannya, rasanya aneh dia ikut-ikutan menyiksaku)

"A-aku...," kata Cass terpatah-patah.

Kami semua terdiam, menunggu Cass untuk berbicara.

"Kenapa kau tidak langsung menghukumku saja? Silahkan hukum aku," kata Cass seolah hukuman bukanlah hal yang perlu ia takuti.

Sial! Sepertinya jalang yang satu ini tak ingin mengaku! Oh, mungkin memang karena dia ingin membantu Cam karena Cam kawannya?

Ya, mungkin. Aku tidak begitu yakin.

###

"Maafkan aku ya," kata Niall sembari mencoba memasukkan bola basket ditangannya kedalam ring. Masuk!

Omong-omong saat ini aku dan Niall sedang ada di lapangan basket in door. Entahlah, tiba-tiba Niall menyuruhku untuk menemaninya yang sedang main basket--mungkin lebih tepat disebut dengan memaksa. Lima menit pertama dilalui keheningan, hanya ada suara pantulan bola basket milik Niall hingga pemuda itu membuka suaranya untuk mengucapkan sesuatu yang berhasil membuat keningku berkerut.

"Maaf?" kataku, tak mengerti akan apa yang ia maksud dan ke mana arah dari pembicaraan ini.

Niall melirikku sekilas sebelum ia kembali memfokuskan dirinya pada bola oranye besar yang sedari tadi ia pantulkan dilemparkan untuk masuk kedalam ring.

"Soal Cass dan Cam. Mereka melakukan itu karena aku 'kan?" kata Niall masih men-dribble bola basket. "Maksudku, karena kedekatan kita."

"Kupikir, kau tidak salah, Ni."

Niall berhenti memantulkan bolanya. Mendadak dia seperti patung; diam tanpa melakukan pergerakan dengan mata yang menatap lurus ke arah ring basket--namun aku tidak yakin ia benar-benar menatap objek tersebut.

"Aku yang salah," Niall berucap, sangat pelan hingga aku tidak yakin bisa mendengarnya jika ruangan ini dipenuhi dengan orang-orang. Syukurlah, di tempat ini hanya ada aku dan Niall sehingga suara sekecil itu masih bisa masuk kedalam indera pendengaranku. "Akan ku beri tahu kau satu rahasia."

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top