•Payne Sister•Part 17
Sudah tiga hari, atau mungkin empat hari--entahlah, aku tak menghitungnya--aku menjadi mayat hidup. Aku mengurung diri di kamar dan hanya sesekali keluar, itupun untuk makan karena aku tidak pernah tahan jika tidak makan. Jika aku bosan maka aku akan menonton televisi namun sama sekali tak menikmati tayangannya. Dan ya, ini terjadi karena aku sudah memahami segala hal yang terjadi.
Liam dan Niall berulang kali membujukku untuk keluar, mengatakan berulang kali 'everything gonna be okay' padahal mereka tak merasakan apa yang saat ini aku rasa. Mengatakannya memang mudah tapi sebenarnya tak semudah itu.
Aku berulang kali mencoba melakukan aksi cutting tapi percobaan pertama gagal karena tiba-tiba Niall membuka pintu kamarku padahal aku yakin bahwa aku sudah menguncinya. Dan percobaan seterusnya tak pernah ada karena Liam dan Niall benar-benar menjauhkanku dari benda-benda yang bisa melukai diriku sendiri. Ini menjengkelkan! Tak tahu kah mereka bahwa aku di sini sedang dilanda stress?
Tak tahu kah mereka bahwa aku di sini benar-benar shock mendengar kenyataan bahwa Harry sudah hampir meniduriku?--okey, hal-hal semacam ini sudah biasa aku bahkan tak yakin bahwa masih banyak gadis suci di kota ini tapi tetap saja! Aku benar-benar membenci diriku sendiri dan tidak bisa memegang tubuhku tanpa berpikir apa yang terjadi jika baik Niall maupun Liam tidak datang? Mungkin aku memang pernah bilang bahwa aku punya ketertarikan sendiri pada seorang Harry Styles tapi aku tidak ingin melakukan hal itu dengannya. Aku merasa seperti jalang sekarang.
Dan, aku sendiri juga sangat pusing memikirkan bahwa hidupku dipenuhi dengan para fake friend. Apa populasi orang jujur di dunia ini sudah menipis atau malah tidak ada sama sekali? Di Royal Academy aku dihadapkan oleh spesies semacam Cass dan juga Hana dan disini aku dihadapkan dengan spesies serupa bernama Lilly.
Apa aku sebodoh itu sampai aku bisa dibohongi oleh orang-orang?
Biar kuceritakan duduk permasalahannya. Pacar Lilly yang dulu katanya berinisial H-S bukanlah Hendrick Stone atau siapapun itu melainkan Harry Styles. Bah! Harry dekat denganku tapi justru berpacaran dengan Lilly! Apa sekarang ini memang musimnya teman mendekati pria incaran temannya? Tapi, sepertinya, Lilly sangat menyesal dia menangis saat mengatakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Ya, yang menjelaskannya Lilly bukan Niall ataupun Liam.
Dan, Harry. Dia mendekatiku hanya untuk menjadikanku sebagai mainannya. Pria macam itu!? Aku tidak tau apa alasannya melakukan semua itu dan akan lebih baik jika aku tidak tahu atau kepalaku akan pecah.
Aku sekarang merasa bahwa aku tidak seharusnya hidup. Terlalu banyak drama dalam hidupku dan semuanya complicated. Aku terus-menerus dihadapkan oleh orang-orang yang pandai berbohong. Tuhan membenciku sampai membuat hidupku seperti ini.
Pintu kamar diketuk tapi aku tak menggubris. Mungkin itu Liam atau Niall atau Bethany yang sedang memastikan bahwa keadaanku aman-aman saja.
Tanpa aba-aba pintu kamarku terbuka dan muncullah Liam dari sana. Aku mengalihkan tatapanku ke arah balkon kamarku yang terkunci. Liam yang mengunci, sepertinya ia takut bahwa aku meloncat padahal aku juga tak akan meloncat karena faktanya terjun dari lantai dua yang hanya beberapa meter tidak akan membuatku mati, sakit-sakit sih iya dan aku tidak mau tersiksa seperti itu karena kebodohanku sendiri.
"Sampai kapan kau seperti ini?"
"Sampai aku mati," ujarku lirih. "Sampai aku bertemu mom dan dad lagi."
Liam berjalan semakin mendekat dan sekarang ia berhasil menghempaskan dirinya di kasur milikku, tepatnya di ruang kosong yang ada di sampingku. Tangan Liam mengelus-elus kepalaku, aku tak ingat kapan terakhir kali Liam seperti ini yang jelas itu sudah sangat lama dan aku merindukannya.
"Jangan seperti itu, Al. Jangan terlalu menyerah pada kehidupanmu, teruslah semangat demi aku dan orang-orang lain yang menyayangimu," kata Liam, berbisik pada telinga kananku.
"Memang kau menyayangiku?" Tanyaku sambil menolehkan wajahku ke arah Liam.
Liam tersenyum dan mengangguk yakin, "sangat."
"Tapi kau sering melarangku ini-itu seolah kau tak ingin aku bahagia dan kau juga pernah memukulku dulu saat aku berumur lima belas tahun, ingat?"
"Astaga, Al! Apa yang kau bicarakan? Aku melarangmu ini-itu juga demi kebaikanmu dan itu juga memang peraturan dari mom dan dad semasa mereka hidup dulu. Kau ingat? Dulu aku melarangmu mendekati Harry dan lihat apa yang terjadi? Aku benar 'kan? Bedebah yang satu itu memang sudah seharusnya kau hindari. Dan, aku memukulmu saat itu juga karena kau pulang terlalu malam dan memakai pakaian mini. Aku yakin, jika dad hidup dia juga akan melakukan hal itu padamu. lagipula, pukulanku juga tidak keras"
Kalau diingat-ingat memang sih saat itu Liam memukulku karena aku pulang terlalu larut dan memakai pakaian kekurangan bahan yang keterlaluan. Tapi, tetap saja! Dia memukulku!
"Ayolah Alexa. Kau jangan seperti ini terus. Jangan anggap aku seolah aku ini bukan kakak yang mencintai adiknya. Aku mencintaimu, Al. Kau ingat dulu saat kita kecil? Aku selalu melindungimu dari kumpulan anak-anak nakal."
Aku diam masih belum bisa berpikir jernih karena terlalu banyak hal yang mengganggu pikiranku saat ini.
"Kau itu hidup dengan menggunakan satu sudut pandang, yaitu sudut pandangmu sendiri. Cobalah sesekali hidup menggunakan sudut pandangku dan kau akan mengerti betapa aku mencintaimu. Aku melarangmu ini-itu demi kebaikanmu, aku memukulmu agar kau sadar bahwa kau salah. Apa hal itu masih kurang bagimu? Apa hal itu masih belum menunjukkan rasa cintaku? Kau minta apalagi? Kau minta agar aku mati demimu agar bisa menunjukkan bahwa aku mencintai adikku ini? Kalau iya, akan kulakukan!"
Aku masih sulit mempercayai orang lain setelah semua peng-khianatan mereka.
Memang, aku percaya pada Niall setelah semua yang ia lakukan. Dia mendekatiku ketika siswa di Royal Academy menjauh setelah insiden dompet Bree yang hilang dan ditemukan di lokerku. Aku percaya pada Niall. Tapi, Liam? Oke, mungkin seharusnya aku juga menaruh rasa kepercayaanku pada Liam mengingat dia adalah kakakku walau hanya kakak tiri.
Mungkin memang aku harus selektif memilih orang-orang yang kupercaya tapi tak seharusnya aku menaruh ketidak percayaan pada kakak tiriku sendiri. Mungkin memang aku seharusnya kembali menganggap Liam sebagai kakakku yang mencintaiku dan sebaliknya seperti dulu semasa aku kecil.
Terlalu banyak kata mungkin, seharusnya aku menghapus kata itu. Ya, mari kita hapus kata mungkinnya.
Liam memang mencintaiku dan tidak sejahat ibu tiri Cinderella yang malang. Aku harus selektif dalam memilih teman agar tak terjerat oleh para fake friend untuk kesekian kalinya karena hanya keledai yang jatuh pada lubang yang sama. Dan sudah seharusnya aku kembali menganggap Liam mencintaiku dan aku mencintainya seperti saat kecil dulu.
###
"Kau dapat gadis itu darimana, Li?" tanyaku hampir berbisik sambil melirik ke arah seorang gadis yang saat ini terlihat sibuk mengamati foto yang dipajang di ruang tamu.
Pagi ini, pagi di hari minggu yang cerah tiba-tiba seorang gadis yang--harus kuakui--berwajah cantik datang dan mengaku mencari seseorang yang bernama Liam. Dan sekarang aku dan Liam sibuk membuat makanan untuk sarapan. Niall? Dia tiba-tiba kembali ke Irlandia dengan alasan yang tak jelas saat aku mengurung diri di kamar beberapa hari lalu. Pantas saja hanya Liam yang datang ke kamarku.
"Kau pikir dia barang?"
"Aku tidak bilang dia barang."
"Tapi kau bilang 'kau dapat gadis itu darimana' seolah-olah dia adalah barang," kata Liam sambil mengikuti gaya bicaraku dan kuakui itu gagal.
"Okey, terserah kau. So, kau kenal dia dari mana?"
Liam menjetikkan tangannya d idepanku. "Itu baru pilihan kata yang tepat."
Aku berdecak. "Sudah jawab saja, kau kenal dia dari mana?"
Liam menaruh semua roti isi yang kami buat (lebih tepatnya tiga rori isi) ke atas piring dan menatanya sedemikian rupa dan berkata, "dia itu temanku di kampus kami hendak mengerjakan tugas bersama dan sepakat mengerjakannya di sini tapi aku berkata jam dua belas tapi dia justru datang sekarang. Kutanya, katanya dia bosan di flat-nya."
Aku hanya mengangguk sambil ber-'oh' ria dan mengekori Liam yang berjalan ke ruang tamu. Pagi ini, sepertinya kami akan sarapan di ruang tamu.
Sepertinya kata 'teman' bukanlah kata yang tepat untuk menjelaskan status hubungan mereka. Aku melihat ada yang berbeda dari gadis itu dan yup, gadis itu menyukai Liam dan itu sangat kentara! Sedangkan Liam, duh sepertinya makhluk itu tak sadar perasaan dari gadis itu.
Kalau kulihat-lihat lagi, gadis itu dan Liam sangat cocok seperti memang sudah ditakdirkan untuk bersama. Gadis itu cantik, ya baguslah untuk Liam dan tadi aku sempat berbincang dengannya ia kelihatan sangat dewasa dan baik. Memang sih tak baik menilai seseorang terlalu dini tapi untuk sekedar menyampaikan first impression-ku terhadap seseorang tak salah 'kan?
Melihat Liam bersama gadis itu aku menjadi teringat pada Niall. Ada apa dengan pemuda pirang itu sampai kembali ke Irlandia tanpa mengatakan apapun padaku?
###
Tidur-tiduran di kamar sambil menatap ponselku, aku berharap tiba-tiba muncul nama Niall tapi nyatanya sampai pada detik ini hal itu tak terealisasikan. Sungguh menjengkelkan! Pirang bodoh itu kemana sih? Apa dia sedang mengajakku bermain hide and seek?
Sedang asyik-asyiknya menunggu telpon dari Niall yang entah akan menjadi kenyataan atau tidak, seseorang membuka pintu kamarku--terdengar dari suara deritnya yang sungguh memekakkan telingaku. Ketika aku berbalik, aku sudah disambut dengan Liam serta cengiran konyolnya dan ada gadis itu di belakangnya. Eh, gadis itu belum pulang ya?
"Ada apa?" tanyaku sedikit dingin.
Mood-ku sedang turun drastis saat ini dan jika kau ingin protes salahkan si Niall. Jika dia memang ingin mengajakku bermain hide and seek setidaknya bilang dulu bukannya bersembunyi langsung.
"Aku dan Caramel akan pergi ke luar, kau ikut?"
Aku mengerutkan keningku. "Li, apa kau frustasi karena selama ini tidak punya kekasih sampai-sampai ingin mengajak makanan keluar?"
Aku bisa melihat wajah Liam yang menahan amarah dia terlihat ingin menghancurkan wajahku sekarang. Hey! Apa yang salah? Aku benar 'kan?
"Caramel itu aku," ujar gadis yang masih berdiri dibelakang Liam dengan canggung.
Aku hanya mengangguk sambil ber-'oh' ria, dalam hati tertawa kencang karena namanya sungguh sangat unik. Apa sekarang ini sedang tren menamakan anak dengan jenis makanan?
"Ikut atau tidak?"
Aku berdecak sebal. Bodohnya dia, jelaslah aku tak akan mau dia kira aku mau menjadi obat nyamuk di antara keduanya? Jika ada Niall mungkin aku masih mau. Astaga! Aku memikirkan Niall lagi. Pengaruh si pirang itu ternyata sangat besar.
"Tidak, sudah sana pergi jangan ganggu aku!" kataku sambil membalikkan badanku memunggungi Liam.
Aku bisa mendengar suara tawa Liam aku jamin dia sekarang sedang menertawakanku yang mendadak seperti gadis yang ditinggal kekasihnya. Oke, aku memang ditinggal Niall secara tiba-tiba tapi, Niall bukanlah kekasihku! Dan, entahlah, aku merasa ada sesuatu dalam diriku yang ingin menjadi kekasih Niall--astaga! Apa yang kupikirkan sih?
"Niall pasti kembali, Al. Nanti juga kau akan bertemu dia di Royal Academy." kata Liam masih dengan sisa-sisa tawanya yang sungguh menjengkelkan.
Kakak gila!
###
Nyatanya, Liam salah! Kelewat salah malah! Dia bilang aku akan bertemu lagi dengan Niall di Royal Academy tapi nyatanya ketika aku menginjakkan kaki di sini aku tak mendapati sosok si pirang itu dengan mata biru dan cengiran konyolnya. Apa dia masih ingin bermain hide and seek?
Selain Niall yang tiba-tiba menghilang, Cass juga tiba-tiba menghilang. Aku tidak berani bertanya macam-macam pada Cam yang kelihatan sangat dekat dengan Cass tapi tetap saja rasa penasaran ini sangat menggebu-gebu dan ingin segera mendapatkan jawabannya.
"Hey! Apa melamun itu pekerjaanmu, huh?" ujar seseorang sambil memegang bahuku agak keras dan cukup membuatku terlonjak kaget.
Aku menoleh dan mendapati sosok Bree lengkap dengan roti dan juga susu strawberry-nya yang sekarang sedang mendudukkan dirinya di bangku yang ada di hadapanku.
"Kau tidak makan makan siangmu?" tanya Bree yang otomatis membuatku menatap ke arah nampan makananku yang menampakkan sup jagung dan juga susu vanilla yang masih utuh.
Aku tidak menjawab, hanya menggeleng pelan.
"Sudahalah, Al. Di manapun Niall berada dia pasti baik-baik saja. Aku kesal sendiri melihatmu seperti. Awas saja Niall jika dia nampak aku akan memukul kepalanya karena sudah membuatmu jadi seperti ini," kata Bree sambil memukul tangannya sendiri saat mengatakan bahwa dia akan memukul kepala Niall.
Aku hanya terkekeh pelan itupun sedikit terpaksa. Semenjak Niall tak menampakkan dirinya juga tak menghubungiku, aku memang selalu kehilangan mood-ku dan orang yang pasti akan marah-marah melihatku seperti ini adalah Bree. Bree memang benar-benar menjadi temanku saat ini dan belum ada tanda-tanda dia akan meng-khianatiku dan kuharap dia tidak akan pernah melakukannya.
"Ayolah, Al! Jangan seperti ini hanya karena satu lelaki pirang yang bodoh!" kata Bree terdengar agak frustasi.
Aku mengusap wajahku agak kasar kemudian menatap Bree yang juga menatapku dan tersenyum, sedikit paksaan. Jadi, begini ya rasanya membuat fake smile.
"Ya ya ya.. Akan kucoba, Bree."
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top