•Payne Sister•Part 15

Suasana ruang makan cukup mencengkam. Tidak ada suara lain selain suara dentingan sendok yang bertemu dengan piring. Baik Niall maupun Liam terlihat tak ingin memecahkan suasana yang ada sedangkan aku terlalu binging hendak melakukan apa.Dari sudut mata aku bisa melihat sosok Bethany, salah satu pelayan di rumah ini, yang terlihat juga takut dengan suasana seperti ini.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama terjadi keheningan saat makan malam. Tapi, kali ini beda. Ada suasana lain. Suasana menyeramkan.

"Aku selesai. Terima kasih atas makanannya," kata Niall seraya bangkit dari posisi duduknya.

Aku menatap Niall aneh, dia tidak biasanya seperti ini. Yang aku tahu, Niall selalu meminta tambah porsi makanan dan sekarang ia tak melakukannya. Kutatap Niall, tapi pemuda itu tak menggubris tatapanku dan terus berjalan memasuki kamar tamu.

"Aneh," aku bergumam pelan tapi sepertinya Liam mendengarnya karena kini ia menatapku dengan alisnya yang saling bertaut.

Liam tak mengatakan apapun setelah itu, ia melanjutkan acara makannya dan begitupula denganku. Meski aku makan tapi fokusku agak terbagi. Aku memikirkan keanehan Niall dan membuat argumentasi tentang apa yang membuatnya seperti itu di kepalaku.

Ia marah karena kejadian tadi siang? Astaga, jika iya itu akan sangat menggelikan karena aku merasa tak ada hal yang bisa membuatnya marah.

"Aku selesai," kata Liam tiba-tiba sambil bangkit dari posisi duduknya.

Aku menatap kakak tiriku itu dengan aneh. Seperti yang Niall lakukan tadi, Liam tak menghiraukan tatapanku dan terus berjalan hingga sosoknya menghilang dari pandanganku.

Kini, tinggal aku sendiri. Aku menatap ke arah makananku yang tinggal setengah. Biasanya, aku selalu makan lebih cepat dari Liam dan sekarang keadaan berbalik. Entahlah, aku merasa seperti mood makanku menguap dan bergabung dengan para angin.

"Sebaiknya, kau menyelesaikan makanmu Alexa."

Aku mendongak, tersenyum sebagai respon atas ucapan Bethany. Wanita berumur empat puluh tahunan inilah yang mengasuhku ketika mom kandungku meninggal. Aku cukup mencintai wanita ini, dia tahu banyak tentangku dan selalu memahamiku.

"Sepertinya aku tidak lapar. Aku kembali ke kamar Bethany. Good night," kataku sambil berlalu dari hadapan Bethany menuju kamarku yang diapit dengan kamar Liam dan kamar tamu yang kini menjadi kamar Niall.

Sesampainya di kamar, aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur sedangkan mataku menjelajahi setiap inchi dari kamar ini. Tatapanku terhenti pada sebuah bingkai foto di mana terdapar potret keluarga bahagia di sana. Ya, di foto itu ada aku, Liam, mom (tiriku) dan dad.

Aku tersenyum. Masih hangat di memoriku mengenai foto itu. Kala itu adalah hari ulang tahun Liam dan kami merayakannya dengan mengadakan makan bersama di sebuah restoran bintang empat. Kami berbincang hal-hal yang menarik, bercanda bersama. Di akhir acara makan-makan, dad dan mom mengusulkan untuk foto bersama dan mencetak foto itu. Foto itu dibagikan padaku dan Liam dan ada satu lagi yang ditaruh di ruang keluarga.

Tanpa sadar, tubuhku bergerak bangkit dari posisi tidurku kemudian tanganku mengambil bingkai tersebut. Mataku menyusuri satu-satu wajah. Tampak semuanya tersenyum bahagia. Ya, tersenyum bahagia karena pada detik itu semuanya masih baik-baik saja. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang berubah.

Tiba-tiba aku merasakan seseorang merengkuhku dari belakang. Aku sedikit terlonjak kaget begitu mendapati Niall yang melakukannya. Aku heran, ada apa sebenarnya? Kenapa Niall sering memunculkan diri tiba-tiba di kamarku?

"Jangan seperti itu, Al," gumam Niall, membuat satu alisku berjingkat naik.

"Apa?"

"Jangan menganggap Liam seperti itu. Percayalah, Liam itu baik dan dia sangat mencintaimu. Dia siap menjadi mom dan dad ketika kau membutuhkannya," kata Niall, dia melepaskan rengkuhannya membuatku sedikit merasa kehilangan--jangan bertanya, aku tak paham apa yang membuatku merasa kehilangan.

Niall memutar tubuhku dan kini kami berhadapan. Tangannya bergerak mengelus pipiku secara perlahan membuatku lagi-lagi terbuai dengan rasa nyaman.

"Liam mencintaimu, Al. Percayalah padaku dan jangan seperti ini," ujar Niall serta merta membuat perasaan nyaman yang tadi melingkupiku menghilang.

Aku menatap Niall tajam. "Apa yang kau maksud dengan 'jangan seperti ini'? Dan sudah berapa kali kubilang jangan merasa sok tahu tentang Liam. Di sini, yang tau banyak tentang dia adalah aku bukan kau. Kau hanya orang baru, Ni."

"Kau tanya apa yang aku maksud dengan 'jangan seperti ini'? Alexa Edward Payne, apa kau tidak sadar bahwa dirimu yang berubah huh? Liam sudah menceritakan semuanya. Semuanya padaku. Dan kesimpulannya adalah, kaulah di sini yang berubah bukan Liam atau siapapun juga."

Aku berdecak sebal. Tanganku bergerak menepis tangan Niall yang masih setia ada di pipiku. Mataku memancarkan tatapan tajamku lagi.

Dia salah! Aku tidak berubah dan aku tidak pernah berubah meski kuakui aku yang sekarang lebih sering membangkang ucapan Liam. Tapi, bagaimanapun juga di sini Liam-lah yang berubah. Ia kejam! Melarangku melakukan ini-itu seperti aku adalah burung di dalam sangkar padahal aku lebih ingin menjadi burung yang bergerak bebas. Aku bukan anak yang suka diatur. Dan kalau bisa aku ingin mengindari diriku dari aturan-aturan yang memuakkan.

Intinya, Liam yang berubah! Dia sering melarangku ini-itu dengan kejamnya. Dia bahkan memasukanku pada Royal Academy. Selain itu, Liam juga pernah memukulku. Dia. Pernah. Memukulku. Dan kejadian itu tak akan pernah kulupakan dalam hidupku, hari itu juga kutandai sebagai hari di mana untuk pertama kalinya Liam bermain tangan denganku. Saat itu, aku masih berumur lima belas tahun, beberapa hari setelah waktu kematian mom dan dad diumumkan. See, siapa yang berubah?

Aku. Tidak. Berubah.

"Harus berapa kali kubilang padamu Niall James Horan? Kau hanya orang baru! Kau tak tahu apa-apa soal hidupku dan kau tidak tahu apa-apa soal hidup Liam. Sekali lagi aku minta padamu, berhenti berpikir kau tau segalanya karena sekali lagi, kau tak tau apapun. Pengetahuanmu nol!" kataku dengan menekan setiap kata yang kuucapkan tepat di hadapan Niall.

Aku tidak tau apa yang ada di otak Niall hingga dia terus membela Liam. Dia terus memaksaku mengaku bahwa aku adalah si antagonis di sini padahal faktanya adalah sebaliknya. Liam antagonis, sangat antagonis! Dan aku adalah si protagonis namun aku bukan jenis si protagonis dengan otak dangkal, aku pintar dan tidak akan membiarkan siapapun terlalu sering menyiksaku dan Liam termasuk di dalamnya.

Niall menghela napas. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan sebelum pergi keluar kamarku. Tepat di saat Niall menutup pintu aku bisa mendengar suara jeritan ponselku.

Harry calling.

Tidak mau membuat Harry memunggu lama, aku langsung mengangkat telponnya.

"Hallo."

"Hallo, Al. What are you doing and where are you?"

"Di rumah, menunggu detik kematian. Aku merasa tertekan di tempat ini dan kehadiran temanku membuatku semakin tertekan. Apa kau tidak bisa membantuku kabur?"

Walau tidak melihat rupa dari si keriting itu aku bisa merasakan bahwa ia memasang cengiran bodoh sekarang.

"Sure, aku akan ke sana dalam tiga puluh menit."

Aku mengangguk meski aku tahu betul bahwa Harry tak akan bisa melihatnya dan langsung mematikan sambungan telpon.

Aku kemudian mengganti baju yang kukenakan dengan kaos berlengan panjang berwarna biru dan celana jeans berwarna biru dongker dan tak lupa beanie berwarna biru juga. Rambut hijauku kubiarkan tergerai panjang dan kakiku kini beralaskan sebuah sepatu sneakers berwarna biru. Sekarang, aku sudah merasa seperti monster biru hanya saja rambutku berwarna hijau. Ugh, andai saja rambutku juga berwarna biru.

[Author's POV]

"Kau kenapa?" tanya Liam begitu mendapati Niall berdiri di ambang pintu kamarnya dengan wajah tertekuk. Meski baru bertemu dengan Niall, entah kenapa Liam sudah bisa menganggap bahwa Niall adalah adiknya. Selain itu dia juga bisa mempercayakan Alexa pada Niall meski pada awalnya ia sedikit memiliki pemikiran negatif pada Niall.

"Alexa marah padaku lagi."

"Mempermasalahkanku?"

Niall mengangguk lemas. "Yeah, begitulah."

Liam menghela napas berat kemudian menarik pemuda pirang dih adapannya untuk masuk ke dalam kamarnya. Kamarnya tak jauh beda dengan kamar lelaki lain tetapi ia sedikit rapi.

"Sudah kubilang kau tak perlu membahasnya di hadapan Alexa lagi," kata Liam sembari mendudukkan dirinya di kursi yang ada di dekat meja belajarnya--yang terlihat seperti meja dengan miniatur-miniatur superhero.

"Tapi, aku ingin Alexa dulu kembali. Yeah, meski tak tau bagaimana sifat Alexa yang dulu tapi aku tau bahwa Alexa tidak bisa seperti ini terus dia harus menjadi dirinya yang dulu, dirinya yang sebenarnya," kata Niall sembari mengusap wajahnya frustasi.

Liam hanya diam, mengamati pemuda berambut pirang itu. Dalam hati ia percaya betul bahwa Niall adalah pemuda yang baik untuk Alexa. Tidak seperti Harry, sudah kentara sekali bahwa pemuda dengan tato itu hanya bermain-main dengan Alexa. Bukan tipikal pria bertanggung jawab.

Niall tiba-tiba menjentikkan tangannya dan matanya membulat. Kalau ini adalah kartun disney bisa dipastikan ada lampu sepuluh watt yang bertengger di atas kepalanya. Niall punya ide, sebuah ide yang mendadak melintas di kepalanya yang biasanya hanya diisi dengan tiga hal yaitu; makanan, makanan dan makanan.

"Kita harus menggiringnya ke ingatan masa lalu."

Liam memgerutkan keningnya." Ingatan masa lalu?"

Niall mengangguk dengan tempo cepat karena terlalu semangat.

"Kau mengerti maksudku?"

Liam mengerutkan keningnya, dia terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab sambil mengedikkan bahunya. "Tidak tahu."

Niall berdecak sebal, kakinya secara refleks bergerak menendang kaki Liam yang bergelantung.

"Bodoh!"

"Aku bodoh dan kau idiot!"

###

"Astaga! Astaga!" gumam Liam sambil terus bergerak mondar-mandir di hadapan Niall yang duduk tenang di sofa yang ada di ruang keluarga.

Pagi ini, Liam sangat khawatir tidak mendapati Alexa di kamarnya. Ia tidak henti-hentinya mengutuk dirinya sendiri sambil terus mondar-mandir. Sedangkan Niall sendiri nampak tenang, pemuda berambut pirang itu seolah tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja dan Alexa akan pulang dengan selamat seperti kemarin. Ya ... Walau tak dapat dipungkiri masih ada rasa khawatir di dalamnya.

Hey! Apa Alexa tidak bisa pamit sebelum pergi?

"Kenapa kau tampak tenang, Ni?" tanya Liam, menatap jengkel ke arah Niall yang kini dengan tenang meminum teh manisnya. "Kupikir kau benar-benar menyukai Alexa tapi Alexa tidak ada kau merasa tenang. Ck, sepertinya kau tidak bisa diharapkan."

"Astaga Liam! Tenang saja, aku yakin Alexa sedang menginap di rumah temannya sekarang. Seperti kemarin. Tenangkan dirimu Li!"

Liam tak menghiraukan ucapan Niall, pemuda itu terus mondar-mandir membuat Niall hanya bisa diam sambil menatap bosan.

Bethany tiba-tiba datang, raut wajahnya menampakkan kekhawatiran, hal ini membuat Liam serta-merta bertambah khawatir dan kadar kekhawatiran Niall bertambah drastis.

"Ada apa Bethany?"

"Ada Lilly, Liam. Kau tau Lilly 'kan? Teman Alexa. Dia ada di depan. Wajahnya sembab seperti habis menangis. Dia mengatakan hal-hal tentang Alexa namun tak jelas," kata Bethany membuat Liam bergegas keluar dari ruang keluarga dan mendekati pintu kayu yang menjadi satu-satunya akses keluar-masuk di rumah ini.

Benar kata Bethany, mata Lilly sembab dan yang jelas penampilan Lilly jauh dari kata baik. Gadis itu terus menggigit kuku-kukunya yang dipolesi kutek seolah tak peduli jika hal itu bisa merusak riasan kukunya.

"Lilly, ada apa?" tanya Liam setelah berada di hadapan Lilly.

Lilly menghentikan aktivitas menggigit kukunya sejenak. Ia menatap lurus ke arah mata Liam sebelum berpaling ke arah mata biru milik Niall.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top