•Payne Sister•Part 14

Aku tak tahu apa yang terjadi semalam--lebih tepatnya tak ingat. Akan tetapi, yang aku tagu sekarang aku ada di sebuah kamar yang super berantakkan. Aku juga melihat adanya Harry yang tidur shirtless dan dari situ aku menarik kesimpulan bahwa kamar yang sebelas dua belas dengan kapal pecah ini adalah milik seorang Harry Styles.

Kepalaku terasa berputar ketika aku mencoba untuk bangkit dari posisi tidurku. Mulutku juga terasa sudah siap mengeluarkan apapun yang masuk ke dalam mulutku beberapa jam terakhir.

Aku langsung berlari menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar Harry ketika merasakan bahwa aku tak bisa menahan lagi. Sesampainya di kamar mandi, aku segera memuntahkan apapun itu. Yakin tak lagi muntah, aku langsung membersihkan diriku tanpa mengganti baju.

Setelah keluar dari kamar mandi Harry yang juga sama berantakannya, aku mendapati si empunya kamar kini duduk di sofa yang tadi ia gunakan untuk pergi ke alam mimpi. Mata hijau Harry menatapku dengan tatapan yang--ugh, entahalah aku tak bisa mendeskripsikannya dengan baik dan benar.

"Harry kenapa aku bisa di sini?" tanyaku, merasa sudah tak bisa menahan rasa penasaran.

Harry tak langsung menjawab. Ia lebih dulu merentangkan tangannya, bergaya sedang merenggangkan otot-otot tubuhnya.

"Kemarin kau mabuk."

Butuh beberapa detik bagiku untuk dapat mencerna ucapan Harry. Setelah sadar, mataku membulat seakan organ tubuhku yang satu itu ingin keluar dari tempatnya.

"Mabuk?!"

"Iya, dan tadi itu efek mabuk. Sudahlah jangan dibahas lagi, kau tidak mengganti bajumu?"

Aku menatap pakaian yang kukenakan. Sebuah dress berwarna crem selutut dan lengan tiga per empat, aku yakin outfit inilah yang kukenakan kemarin malam.

"Aku tidak yakin membawa pakaian ganti."

Harry bangkit dari posisi duduknya, tangannya secara tiba-tiba menarik tanganku.

"Hei! Kau mau membawaku ke mana?" tanyaku ketika Harry masuk ke dalam sebuah kamar di samping kamarnya.

Aku tidak butuh jawaban setelah melihat sosok gadis baru keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membalut kepalanya. Aku yakin beratus-ratus persen bahwa gadis itu adalah Gemma Styles, kakak Harry.

Aku sedikit banyak tahu tentang keluarga Harry karena si keriting itu sering bercerita ketika aku juga bercerita tentang Liam. Aku sedikit beruntung karena gadis lain harus menjadi stalker terlebih dahulu jika ingin tahu tentang Harry lebih banyak. Tapi, di sisi lain aku tidak beruntung sama sekali mengingat tak ada status apapun yang mengikat kami. Aku sempat berpikir, Harry memasukanku ke dalam zona pertemanan sialan.

"Gemma temanku meminjam pakaianmu. Bau alkohol sangat menyengat dari pakaiannya."

"Iya, cari saja pakaianku di lemari," kata Gemma, melirik lemari pakaian yang kami belakangi dengan tangan yang sibuk mengeringkan rambutnya dengan hairdryer.

Harry kemudian membuka lemari itu dan menyuruhku untuk mencari pakaian yang nyaman untukku. Lantas, pilihanku jatuh pada sebuah kaos putih dan celana jeans pendek. Kaos putih milik Gemma tadi kulapisi dengan cardigan milikku yang kebetulan ada di tasku.

"Dress-mu ini biarkan di sini. Nanti kusuruh orang mencucinya."

Keningku berkerut. "Kenapa?"

"Bau alkoholnya sangat menyengat. Kau mau Liam membunuhmu karena mencium bau aneh dari dress-mu ini."

Ah, benar juga! Astaga, bagaimana bisa aku lupa bahwa Liam-fucking-Payne bisa membunuhku jika aku minum cairan yang (katanya) tak baik untuk tubuhku.

"Kalau begitu, ayo aku antarkan kau ke rumahmu! Maaf, kau tidak bisa sarapan di sini karena mom tidak sedang di rumah."

Aku mengangguk kemudian mengikuti Harry keluar dari rumahnya yang cukup besar ini.

###

Aku sampai di rumah sekitar pukul sepuluh pagi. Aku tidak melihat adanya mobil Liam sehingga kutarik kesimpulan bahwa kakak tiriku itu sedang pergi entah kemana tapi kuharap kepergiannya itu untuk selamanya--astaga, aku kejam sekali!

Aku masuk ke dalam rumah dan mendapati suara berisik dari dapur. Keningku berkerut. Siapa itu? Kalau itu Liam kenapa mobilnya tak ada?

Aku bergegas menuju dapur dengan langkah pelan dan mencoba untuk tak mengeluarkan bunyi apapun. Dari tempatku berdiri saat ini, aku bisa melihat punggung seseorang dengan rambut pirang. Profil tubunhnya mengingatkanku dengan profil tubuh milik Niall.

Niall? Oh, astaga! Aku lupa bahwa ada satu lagi penghuni rumah. Niall James Horan.

"Niall?"

Niall menoleh. Ia terlihat terkejut melihatku.

"Alexa?! Kemana saja kau? Liam khawatir, sedari tadi dia sibuk mencarimu."

Aku berjalan menuju lemari es kemudian mengambil sekaleng soda. Aku membuka kaleng tersebut dan menegaknya hingga isinya tandas. Kulemparkan kaleng itu ke arah tempat sampah tak jauh dari tempatku berdiri dan ... masuk!

"Dari rumah teman. Sekarang, di mana dia?"

"Kau menginap di rumah temanmu? Kalau iya, itu lelaki atau perempuan? Apa saja yang kau lakukan di sana? Sekarang, Liam sedang pergi ia ada janji dengan teman-temannya. Tadinya ia mau membatalkannya karena kau tak kunjung menampakkan diri."

Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan beruntun yang dikeluarkan Niall. Apa-apaan si pirang Horan ini? Dia bertanya seolah-olah dia adalah ayahku atau dia adalah kekasihku padahal tidak sama sekali--ya, meski aku sedikit berharap bahwa kami berdua menjadi sepasang kekasih. Astaga! Apa yang kukatakan tadi? Aku rasa kepalaku sudah mulai tak benar karena alkohol yang Harry berikan.

"Aku menginap di rumah teman. Dia perempuan. Dan kami melakukan apapun yang dilakukan para gadis," jawabku dengan terlalu banyak kebohongan di dalamnya. Aku tak mungkin menjawab bahwa aku menginap di rumah Harry karena aku mabuk bukan? Bisa mati aku walau aku tak yakin Niall mengadukan hal ini kepada Liam.

"Baiklah, aku akan mengabarkan Liam soal ini," jawab Niall sembari melenggang pergi dari hadapanku.

Aku hanya mengangkat bahu tak begitu peduli soal kekhawatiran Liam karena aku tak berpikir bahwa Liam mengkhawatirkanku. Bisa saja bukan bahwa dia ternyata sangat bahagia aku pergi dari hadapannya?

Aku memiliki pemikiran bahwa Liam melarangku untuk mabuk karena dia tak pernah mabuk-mabukan. Jika aku mabuk otomatis aku lebih keren dibanding dia yang menjadi pecundang di kampusnya. Aku juga memiliki pemikiran bahwa teman-teman Liam adalah anak-anak nerd dengan behel yang memagari gigi mereka dan kacamata besar juga jangan lupakan kepangan untuk para gadis. Ew!

###

Aku duduk di sebuah kursi yang sengaja kuletakkan di balkon. Di pangkuanku sudah ada gitar akustik yang kumainkan secara asal-asalan karena memang aku masih belum bisa menggunakan alat musik yang satu ini meski Niall sudah terlalu sering mengajarkanku.

Mataku memandang ke arah langit yang membentang dengan awan putih yang berarak mengikuti arah angin. Langit terlihat damai ditambah dengan burung-burung yang berterbangan sambil berkicau. Liam pernah bilang padaku jika aku rindu pada mom dan dad aku hanya perlu mengadah menatap langit dan berbicara seperti saat aku berbicara dengan mom dan dad karena mom dan dad ada di sana.

Aku sangat merindukan mereka. Mereka sangat berarti bagiku dan aku sangat menyayangi mereka. Meski mom bukanlah wanita yang mengandungku, aku masih menyayanginya dan percaya bahwa ibu tiri yang kejam hanya ada di cerita fiktif.

Aku ingat, saat Liam berkata bahwa mom dan dad sudah tak lagi bisa bernapas dengan benar dan semua organ tubuhnya mati, aku langsung pingsan. Aku benar-benar tak bisa menerima kepergian keduanya bahkan sampai pada detik ini. Rasa kehilanganku pada mereka lebih besar dari rasa kehilanganku saat mom kandungku pergi mungkin karena saat itu aku masih terlalu kecil.

"Alexa?!"

Aku mendongak begitu mendengar namaku disebut diikuti sebuah tepukan pelan di bahuku. Bisa kulihat sosok Niall dengan senyuman lebarnya.

"Niall?! Bagaimana kau bisa masuk di sini?"

"Kamarmu tidak dikunci."

"Tapi kau tidak bisa langsung masuk 'kan?"

"Aku sudah mengetuknya tapi kau tak kunjung merespon. Ternyata kau melamun, apa yang kau pikirkan?" tanya Niall sembari duduk di ruang kosong yang ada di kursi yang kududuki sedangkan tangannya mengambil alih gitar di pangkuanku dan menaruhnya di sampingnya.

"Bukan sesuatu yang pentin? Tapi kau menangis?"

Aku menyentuh pipiku dan baru sadar bahwa ada air mata yang lolos dan membentuk aliran sungai kecil di pipiku. Ini sangat memalukan!

"Ceritakan saja!" kata Niall, mendorongku untuk menceritakan apa yang aku pikirkan saat ini.

Aku menghela napas berat kemudian menghempaskan kepalaku di atas bahunya. Entahlah, aku juga tidak tahu bagaimana bisa aku seberani ini. Aku merasa nyamn dibahu Niall ditambah lagi dengan tangan pemuda itu yang bergerak mengelus kepalaku secara pelan.

"Aku rindu dad dan mom. Meski mom bukan yang melahirkanku tapi aku sangat merindukannya bahkan aku tidak bisa merelakan kematiannya bahkan sampai pada detik ini. Aku merasa hidupku lebih sulit tanpa mereka. Aku masih ingin merasakan kasih sayang mereka."

Untuk beberapa detik Niall tak merespon tapi tangannya masih terus mengelus kepalaku secara perlahan. Aku semakin terbuai dengan rasa nyaman dan entah kenapa aku mulai membayangkan bahwa ini adalah tangan milik mom. Dulu dia juga sering melakukan hal ini kepadaku ketika aku merasa sedih.

"Kau tau Al? Liam mau menggantikan posisi dua orangtuamu. Kalau kau mau, Liam bisa menjadi mom atau kalau kau mau Liam bisa menjadi dad juga."

Aku mennggeleng, sama sekali tak setuju dengan ucapan Niall. Liam tidak mau. Bagaimana bisa kakak sekejam itu mau menggantikan posisi dua orangtuaku?

"Tidak, Ni. Liam itu kejam. Dia melarangku untuk melakukan ini-itu dan lihatlah! Dia membuangku ke Royal Academy. Dia itu kejam Niall! Sangat kejam! Dia tidak bisa menggantikan mom dan dad sampai kapanpun bahkan sampai ketika dunia ini kiamat Liam tidak akan seperti itu," kataku dengan nada yang lebih tinggi dan aku sudah tak lagi menaruh kepalaku di atas bahu Niall.

Aku bisa melihat bahwa Niall cukup kaget dengan apa yang kulontarkan.

"Tidak, Al. Kau salah! Liam tidak seperti itu."

"Kau baru mengenalnya, Ni dan aku mengenalnya sudah lama. Yang banyak tau soal Liam itu bukan kau tapi aku! Stop bertindak seolah-olah kau mengenal Liam lebih dalam dari aku!"

Niall hanya diam, matanya memandangku dengan tatapan yang sama sekali tak dapat kudeskripsikan. Pada akhirnya Niall hanya menghela napas, mengacak-acak rambutku sebelum akhirnya pergi dari kamarku. Ia tak berkata apapun tapi kupikir itu lebih baik dari pada ia terus mengoceh hal-hal baik tentang Liam seolah-olah dia yang lebih tahu di sini.

Aku menghela napas kemudian menyenderkan tubuhku pada senderan kursi dan mataku kembali menatap langit membayangkan wajah milik mom dan dad di sana.

TBC

Sudah masuk part 14 kawan-kawan. Mulai part 15 sampai epilog dan bonus chap, cerita akan diprivate. Jadi, pastikan kalian mem-follow-ku terlebih dahulu sebelum membacanya.

Terima kasih :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top