•Payne Sister•Part 13
Duduk di kursi malas yang ada di kamarku, aku memandang langit kemerahan dari jendela sambil memikirkan betapa bosannya aku saat ini padahal aku baru saja keluar bersama Niall tadi. Jika saja Niall ada di sini mungkin aku sudah mengajak makhluk itu bermain jenga atau permainan lain yang setidaknya mampu untuk mengusir rasa bosan yang melanda. Namun, aku harus menerima kenyataan bahwa saat ini Niall tidak ada disini, pemuda Irlandia itu kini bersama Liam entah kemana dan entah melakukan apa--karena memang Liam tak mengatakan apapun ketika menarik Niall tadi.
Sedang melamun, aku mendengar suara ponselku yang berbunyi nyaring minta diperhatikan. Aku meliriknya sekilas dan bisa kulihat nama Harry Styles terpampang di sana dan memberikan dua pilihan; antara me-reject-nya atau menerimanya.
Kuambil ponsel yang kuletakkan di meja samping kursi malasku, menekan tombol bergambar telpon berwarna hijau dan kemudian meletakkannya disamping telinga. Dalam hati berharap Harry membicarakan hal yang penting tak seperti kemarin yang hanya menanyakan apa aku sudah pulang?
"Halo?"
"Halo Al, kau ada di mana sekarang?"
"Menunggu menjadi lumut di rumah," jawabku sambil bangkit dari posisi duduk di kursi malas kemudian duduk di kasur empukku.
"Apa kau tidak mau menemuiku dan Lilly atau yang lain?"
"Tentu saja aku mau! Aku rindu kalian dan kalian sudah lama tak menghubungiku! Kemana saja kalian selama ini?! Mati huh?" kataku, menaruh nada sarkastik di akhir kalimat.
Aku bisa mendengar Harry terkekeh di ujung sana. Bisa kubayangkan wajah Harry dengan lesung pipinya yang selalu berhasil membuatnya terlihat berkali-kali lipat lebih manis.
"Kami tidak mati, Al. Dan jika memang kami mati mana mungkin aku bisa menelponmu? Jadi, bagaimana kalau kau pergi ketempat kita biasa kumpul sekarang?"
Aku tersenyum lebar, merasa senang dengan penawaran yang diajukan oleh Harry. Yah, ini cukup menyenangkan, bertemu dengan kawan lama sekaligus mengusir bosan.
"Tapi tidak ada yang menangantarku?"
Aku bisa mendengar kekehan Harry, "memangnya siapa yang biasa mengantarmu kalau kau mau ke sana? Aku akan ke sana dalam tiga puluh menit," kata Harry kemudian memutuskan sambungan secara sepihak.
Aku tersenyum, Harry memang yang selama ini mengantarku pergi ke tempat kami biasa berkumpul atau jika kami sedang ingin pergi ke pesta. Dia juga yang selalu membantuku kabur dari Liam.
Sebenarnya, Liam selalu melarangku dekat-dekat dengan Harry mengingat Harry memiliki banyak tato di umurnya yang baru delapan belas tahun ini. Selain itu, Liam juga tau bahwa Harry sering mabuk. Tapi, bukan Alexa Payne namanya kalau tidak suka menentang Liam. Ya aku akui bahwa aku suka menentang.
Aku kemudian mengganti baju santai yang kukenakan dengan baju yang biasa kupakai jika pergi ke pesta. Bukan, ini bukan jenis baju yang kekurangan bahannya keterlaluan karena memang aku tak punya yang modelnya seperti itu. Hanya sebuah dress sedikit dibawah lutut berwarna cream dengan lengan tiga per empat.
Setelah mengganti baju aku memoleskan wajahku dengan sedikit make up agar wajahku masih tampak natural. Aku memang bukan tipe gadis yang memakai make up tebal karena itu terlihat sangat menjijikkan. Sedangkan rambut hijauku kubiarkan tergerai bebas.
Oh, astaga! aku lupa! Aku harus mengecat ulang rambutku menjadi cokelat kembali!
Belum sampai tiga puluh menit aku bisa mendengar suara klakson mobil milik Harry yang menandakan bahwa si keriting itu sudah siap membawaku pergi. Aku meraih tasku dan mengenakan sepatu hak tiga senti sebelum berlari membuka pintu rumah dan menguncinya.
Setelah memastikan rumah terkunci, aku pergi mendekati mobil Harry dan merangkak masuk. Harry sudah siap di balik kemudinya dengan kaos berwarna putih dan celana jeans hitam. Rambut keritingnya nampak sedikit acak-acakan namun itu membuatnya terlihat semakin tampan.
"Hai! Lama tak jumpa," kata Harry dengan senyuman manisnya sambil menginjak pedal gas kemudian membawa mobil ini menjauh dari perkarangan rumahku.
"Yeah, lama tak jumpa. Kupikir kau sudah mati karena terlalu banyak menegak alkohol atau overdosis ekstasi. Jadi, bagaimana kabarmu?"
"Aku tidak akan mati karena terlalu banyak minum alkohol dan juga, aku tidak mengonsumsi ekstasi. Kabarku baik. Kau sendiri?"
Aku mencibir. Harry selalu bilang bahwa ia bukanlah pengguna ekstasi padahal aku tahu betul bahwa ia sering sekali pergi ke pesta ekstasi dan juga ia menyembunyikan banyak sekali ganja di bawah bantalnya agar ibunya tidak tahu bahwa dia adalah pengguna obat-obatan haram itu. Aku kasihan pada ibunya sebenarnya. Wanita itu tidak tahu bahwa ketika Harry meminta uang, uang itu akan dibelikan ganja atau ekstasi lainnya.
"Kau bisa melihat sendiri bahwa aku baik-baik saja meski ada banyak masalah di tempat terkutuk itu. Oh, ya, bagaimana? Kau sudah punya kekasih?"
Harry mengerutkan keningnya sedangkan kakinya menginjak pedal rem hingga mobil secara pelan berhenti. Ada lampu merah rupanya.
"Kenapa kau tanya soal kekasih? Kau cemburu ya karena kau tidak bisa menjadi kekasihku padahal kita sudah sangat dekat dan pernah hampir berciuman kalau saja saat itu tidak ada yang melemparkan botol kearah dekat kita?"
Aku bisa merasakan bahwa saat ini pipiku memanas. Reaksiku selalu seperti ini jika mengingat soal kami yang hampir berciuman di salah satu pesta teman kami. Ya, hampir karena ketika bibir Harry hendak menyentuh bibirku ada salah seorang yang melempar botol birnya di dekat kami. Aku sangat kesal pada waktu itu, sampai sekarang.
"Aku tidak cemburu. Well, memangnya aku tidak boleh bertanya?"
"Sebenarnya kau boleh saja bertanya, tapi jangan tanyakan hal yang seperti itu!"
Keningku membentuk kerutan horizontal. "Memangnya kenapa?"
"Lupakan, kita bicarakan hal lain."
Aku hanya mengangguk tak ingin melanjutkan percakapan dengan topik kekasih karena aku tak mau Harry marah. Dari yang aku dengar, Harry sangat menakutkan jika sedang marah. Ia bisa melempar apa saja yang ada di dekatnya.
Akhirnya kami berbicara hal-hal random yang membuat kami sesekali tertawa. Namun, tetap, Harry fokus mengemudikan mobil.
Setelah beberapa menit duduk diam di mobil, akhirnya kami sampai ditempat aku dan yang lain biasa kumpul. Tempat itu bukanlah kelab malam, hanya sebuah kafe yang memberikan pertunjukan band rock atau DJ. Suasananya hampir sama dengan kelab malam, kau bisa menemukan orang-orang yang mengonsumsi ekstasi. Di sini juga ada alkohol. Yang membedakan tempat ini dengan kelab adalah kau tidak bisa bebas make out di sini.
"Ayo masuk," kata Harry ketika aku dan dia sudah keluar dari mobil.
Aku mengangguk kemudian berjalan berdampingan dengan Harry memasuki kafe ini sambil sesekali menyapa orang yang kukenal.
"Yo Cathy!" sapaku pada seorang gadis dengan rambut merah muda yang saat ini terlihat sibuk berbincang dengan Lilly sambil membawa gelas di tangan kanannya dan rokok di tangan kirinya.
Cathy tersenyum lebar ketika ia berbalik dan mendapati diriku kemudian ia memelukku setelah meletakkan botol alkohol dan mematikan rokoknya.
"Alexa! Kau masih hidup rupanya! Astaga! Aku rindu padamu!! Kau tahu, sejak kau pergi aku tak tau kepada siapa aku membuang segala curhatanku tentang Rex bajingan itu!" kata Cathy masih memelukku dan kini lebih erat.
Cathy memang suka mencurahkan isi hatinya di hadapanku terutama hal-hal tentang Rex. Rex itu kekasihnya, kekasih bajingan menurutku karena ia masih saja pergi bersama seorang jalang padahal ia sudah terikat dengan seorang gadis dan gadis itu adalah Cathy. Sudah kubilang pada gadis yang memelukku ini untuk memutuskan si bajingan itu tapi dia menolak dan berkata bahwa cintanya kepada Rex terlalu besar, dia tidak bisa memutuskannya.
Ternyata benar, cinta memang membuat semua orang gila bahkan orang jenius sekalipun.
"Hey! Jadi, kau hanya ingat pada Cathy dan tidak ingat padaku?" kata seseorang dengan nada sarkastik.
Cathy melepaskan pelukannya dan tersenyum aneh pada Lilly yang kini melipat kedua tangannya di depan dada dan mengerucutkan bibirnya.
Aku terkekeh. "Astaga! Bagaimana bisa aku lupa pada temanku yang kupikir sudah mati karena sudah lama tak mengubungiku."
Lilly memukul kepalaku pelan sebelum membawaku ke dalam pelukannya.
"Maaf ya, aku tidak menghubungimu. Aku sibuk."
Aku berdecak. "Sejak kapan seorang Lilly jadi sibuk, huh?"
Lilly hanya tertawa tanpa membalas perkataanku. Beberapa detik kemudian ia melepaskan pelukanku dan bisa kulihat mata sahabatku itu berkaca-kaca.
Aku mengangkat satu alisku,l. "Lilly, kau menangis?"
Lilly menggeleng. "Tidak! Lagipula untuk apa aku menangis?"
Aku terdiam, tidak menjawab perkatannya. Dalam hati membenarkan, Lilly tidak punya alasan untuk menangis. Di sisi lain, mataku tak mungkin salah melihat meski penerangan di kafe yang ada di pinggiran kota London ini sangat minim--remang-remang lebih tepatnya.
"Kau mau minum?" tanya Harry sambil menyerahkan gelas kecil berisi minuman padaku.
"Apa itu? Kalau itu alkohol aku tak mau."
Aku memang tak pernah minum alkohol selama ini pasalnya Liam bisa saja membunuhku jika ada bau alkohol yang tertangkap di indera penciumannya. Bagaimanapun juga, aku masih sayang pada nyawaku. Aku tak mau mati muda dengan alasan konyol.
"Ini alkohol, tapi berkadar rendah. Kau tak akan mabuk jika hanya minum beberapa botol," kata Harry kali ini sambil menggoyakan gelas minuman itu dengan pelan.
Aku meneguk ludahku secara susah payah sebelum menerima gelas tersebut. Aku agak tak yakin sebenarnya karena (sekali lagi) aku tidak pernah minum alkohol.
"Bagaimana jika baunya tercium?"
"Tidak akan," kata Harry dengan gaya yang meyakinkan.
Aku menghela napas pelan, menenangkan diriku dan meyakinkan diriku sendiri bahwa setelah ini semuanya akan baik-baik saja, Liam tidak akan tahu bahwa aku menegak alkohol.
Setelah merasa yakin, aku mendekatkan mulut gelas dengan mulutku, bersiap untuk memasukan cairan itu ke dalam perutku. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Harry yang terus meyakinkanku untuk meminumnya.
Aku akhirnya berhasil memasukan cairan yang selama ini tak pernah kucoba. Bisa kurasakan bahwa tenggorakan sedikit terasa panas dan ada sensasi aneh. Aku bisa merasakan bahwa rasa alkohol ini sangat enak. Astaga! Aku sedikit menyesal selama ini tak pernah mencoba minuman ini!
"Kau mau tambah?" tanya Harry ketika aku menatapnya terus. Aku bersyukur, Harry punya tingkat kepekaan yang cukup tinggi.
Aku mengangguk dengan senyuman lebar.
Harry kemudian memberikan segelas alkohol lagi. Aku menerima gelas tersebut dan menegak isinya sampai habis. Aku ketagihan dan tanpa sadar aku terus meminta tambah hingga aku tak tahu lagi sudah berapa gelas alkohol yang sudah kutefak. Bisa kulihat Harry menyeringai sedangkan Lilly nampak ketakutan.
Apa yang membuat dia ketakutan?
"Mau tambah lagi?"
"Tidak perlu, kepalaku pusing."
Aku duduk di kursi samping Cathy dan merasakan bahwa kepalaku pusing. Rasanya seperti bumi berputar walau memang bumi terus berputar karena jika tidak, kiamat sudah. Hanya saja, bukankah selama ini kita tidak bisa merasakan putaran bumi? Tapi, sekarang ini aku merasakannya.
Aku memegang kepalaku dengan tangan kanan sedang tangan kiriku mengenggam erat kursi berharap dengan itu pusing yang saat ini melanda perlahan-lahan menghilang.
Percuma, pusingnya tak kunjung hilang dan semakin pusing saja. Sial!
Kenapa aku jadi pusing seperti ini? Sial! Apa karena aku minum alkohol? Astaga! Aku tak pernah tau jika efek dari minum alkohol seperti ini. Jika aku tahu, akan kutolak tawan Harry tadi.
"Apa masih pusing?" Harry bertanya dengan tangannya yang memelukku dari samping. Bisa kulihat ekspresi khawatir yang terpampang jelas di wajahnya.
Aku menangguk pelan.
"Kita pulang saja ya?"
"Tapi, bagaimana jika Liam tahu aku minum alkohol? Aku bisa mati Harry!"
"Ah, sial! Aku lupa dengan kakak tirimu yang tidak tahu cara bersenang-senang itu. Kalau begitu, pulang ke rumahku saja ya? Mom tidak akan marah. Dia sudah biasa melihatku pulang dengan mabuk."
Aku mengangguk. Kupikir, pulang ke rumah Harry bukanlah opsi yang buruk, itu lebih baik daripada harus terus berada di kafe ini atau pulang ke rumah.
Harry kemudian membantuku bangkit dari posisi dudukku. Dia memapahku di sepanjang jalan menuju mobilnya yang tadi terparkir dengan manis didepan kafe.
Sesampainya di mobil, aku merangkak masuk dan memasang sabuk pengaman dengan susah payah. Tubuhku kuhempaskan ke sandaran kursi dan mulai memejamkan mataku yang terasa berat. Kurasa tak ada salahnya aku mencoba tidur, itu bisa saja mengurangi rasa sakit di bagian kepalaku
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top