•Payne Sister•Part 1

Untuk kesekian kalinya sejak lima menit yang lalu, Liam menghela napas berat. Dan untuk kesekian kalinya pula aku menahan diriku untuk tidak memutar kedua bola mataku.

Jika tatapan dapat membunuh, aku bertaruh bahwa aku sudah mati saat ini. Lihat saja betapa tajam tatapan Liam.

"Apa yang kau lakukan?" Adalah kalimat bernada tanya yang dikeluarkan Liam pertama kali sejak lima menit yang lalu.

Aku diam-diam menghela napas lega. Sebelumnya, aku sempat berpikir bahwa secara mendadak Liam mengalami kebisuan. Aku bersyukur, pemikiranku tadi tidaklah benar.

Kedua tangan Liam terlipat di depan dada. Pose Liam yang satu ini mengingatkanku pada sosok Mr. Corner, kepala sekolahku, yang selalu memasang pose seperti itu ketika marah padaku. Mengingat Mr. Corner aku jadi ingat tentang alasan Mr. Corner marah padaku yang menurutku irasional. Mr. Corner marah besar padaku hanya karena aku mengatai salah satu teman sekelasku di kelas bahasa inggris yang mengataiku terlebih dahulu. Aku berpikir, tindakanku tidaklah salah karena aku mencoba membela diriku sendiri.

"Aku bernapas," ujarku kemudian meniup permen karet hingga terbentuklah balon kecil yang kemudian meletus dan kembali kukunyah. "Dan mengunyah permen karet. Sumpah, Liam. Kupikir kau tidak bodoh."

"Rambutmu. Apa yang kau lakukan dengan rambutmu?" ujar Liam yang membuatku secara refleks menyentuh rambut lurusku yang tadinya berwarna cokelat namun kini bertransformasi menjadi warna hijau terang akibat ulah salah satu pegawai salon yang kudatangi tadi siang sepulang sekolah bersama Lilly, kawanku.

"Mengecatnya," jawabku santai sambil memilin rambutku. "Kupikir kau tidak bodoh, Li. Untuk apa kau tanya hal yang jelas?"

Aku senang, rambutku kini menjadi lebih keren dari sebelumnya. Dan tentunya aku senang karena akhirnya rambutku memiliki warna yang sama dengan warna kesukaanku. Tapi, sepertinya, Liam tidak sama senangnya denganku. Kakak tiriku yang satu ini nampak sangat marah, terbukti dengan matanya yang semakin menatapku tajam.

"Bukankah dad pernah bilang soal kau yang dilarang untuk mengecat rambutmu, Alexa?" tanya Liam dengan menekankan kata 'dad'.

"Dan bukankah dad pernah bilang agar kau tidak menatapku tajam Li?"

Aku tersenyum ketika melihat Liam terlihat semakin marah dengan ucapanku. Kakak tiriku itu nampak tidak suka karena aku berhasil membalikkan ucapannya.

Oh, soal ucapan dad, tentu saja aku tidak lupa. Aku ingat betul bahwa dad menyuruhku untuk menjaga rambut cokelatku dan tidak memperbolehkanku mengecat rambut hingga ajalku tiba. Tapi, Lilly berlakon bak setan yang menggodaku untuk mencat rambut. Dan faktanya, aku tidak pernah bisa tahan dengan godaan setan.

Omong-omong, Liam memang kakak tiriku. Setelah mom meninggal di umurku yang baru tiga tahun, dad menikah lagi dengan ibu Liam yang merupakan seorang janda karena ayah-nya menceraikan mom di umur Liam yang baru lima tahun. Jarak umurku dan Liam tidak terpaut jauh, hanya tiga tahun.

Dad dan Mom kemudian meninggal di umurku yang baru lima belas tahun akibat sebuah kecelakaan mobil saat keduanya menuju Irlandia. Keduanya meninggalkan banyak warisan untuk kami hingga kami tak begitu khawatir soal kehidupan kami pasca meninggalnya kedua orang tua kami.

Semenjak dad dan mom meninggal, Liam berubah. Liam menjadi sosok yang menakutkan bagiku. Dia juga sering marah-marah. Dan yang penting, Liam sering mengancam akan menyekolahkanku di sekolah asrama. Menyebalkan!

Liam kembali menghela napas berat.

"Aku berikan dua pilihan, mengecat rambutmu menjadi cokelat kembali atau kuberi hukuman?"

Aku mengeluh, merasakan bahwa pilihan yang Liam berikan padaku tidak ada yang menguntungkan. Aku tidak mau kembali mengecat rambutku, ini baru beberapa jam sejak aku mengecat rambutku menjadi hijau. Dan hukuman? Hey! Memangnya siapa pula yang suka diberi hukuman? Jika ada yang suka, dia harus dibawa ke sebuah rumah sakit yang berisi orang-orang kurang waras.

"Ayolah Liam! Kau gila! Pilihan apa itu?" rengekku sambil memasang wajah memelas.

Dulu, wajahku itu bisa meluluhkan hati Liam. Tapi, sepertinya sekarang tidak.

"Hidup itu pilihan, Al. Kau harus memilihnya sekarang."

Aku melipat kedua tanganku di depan dada. Bibirku kumajukan beberapa senti.

"Never in million year, Li."

"Al."

Aku menghentakkan kakiku kesal. Mataku menatap tajam Liam, berperang dengan tatapan tajam milik kakak tiriku itu.

"Al, cepat putuskan! Mau membalikan rambutmu atau hukuman?"

Aku kembali menghentakkan kakiku kesal. Sepertinya Liam tak akan mengubah opsinya.

"Baik. Hukuman saja!"

Liam tersenyum secara misterius. Aku merasakan bahwa hukuman ini akan sangat berat. Jika kau berpikir kenapa aku tidak mengecat lagi saja rambutku? Aku tidak akan melakukannya, gila saja! Mengecat rambut ini menjadi hijau sangat mahal dan memakan waktu lama.

"Kau akan kumasukkan dalam asrama."

###

Aku tidak pernah percaya bahwa Liam akan benar-benar memasukkanku dalam asrama. Tapi sepertinya, kini aku percaya.

Aku berdiri di depan sebuah gedung yang sedikit kuno namun terlihat masih sangat kokoh. Liam berdiri di sampingku dengan satu tangannya yang membawa salah satu dari dua koperku. Di tanganku juga sudah ada koperku yang lebih kecil dari koper yang dibawa Liam.

Liam kemudian berjalan dan aku tidak punya opsi lain selain mengekorinya. Aku tidak mau menunggu di depan semacam anak hilang.

Liam kemudian memasuki gedung ini. Melewati koridor yang dicat berwarna hijau hingga kemudian dia memasuki sebuah ruangan. Sepertinya ruangan pemilik asrama ini.

"Oh, Mr. Payne!" ujar seorang pria yang umurnya sudah empat puluh tahunan. Rambutnya sudah dipenuhi dengan warna putih. Tapi fisiknya nampak sangat kuat. Di sampingnya sudah ada seorang gadis seumuranku dengan rambut pirangnya yang curly.

"Selamat siang Mr. Walker. Ini adik saya, Alexa Edward Payne," ujar Liam sambil menunjukku.

Aku memaksakan senyum ketika kulihat pria yang disebut Mr. Walker tersenyum padaku.

"Selamat datang di Royal Academy Ms. Payne. Kau bisa langsung ke kamarmu dengan Cass. By the way, dia akan menjadi teman sekamarmu."

Aku melirik ke arah gadis pirang bernama Cass dan langsung disambut dengan senyum hangat gadis itu. Ia mengisyaratkan padaku untuk mengekorinya ketika ia beranjak pergi dari samping Mr. Walker.

Kemudian kami keluar dari ruangan Mr. Walker dengan aku yang membawa satu koperku dan Cass yang membawa koperku yang satu lagi dan kembali melewati koridor yang dipenuhi dengan warna hijau. Mata hazelku terus-terusan menatap sekitar.

Royal Academy tidak cukup buruk, walau tampilannya kuno namun ternyata tak sekuno itu. Lapangannya luas dan sangat lengkap. Ada lapangan basket, volli, lapangan softball dan lapangan bulu tangkis. Aku bisa melihat beberapa pemuda tampan sibuk bermain basket di lapangan dengan beberapa gadis sebagai pemandu sorak di tepi lapangan yang terus-terusan berteriak.

Asrama untuk para gadis ada di bagian utara Royal Academy. Tempatnya terpisah dengan gedung sekolah dan asrama untuk para cowok. Cass membawaku ke sebuah kamar untuk dua orang dengan dua single bed, dua almari dan dua meja belajar. Jika kusikap jendela kamar, aku akan disuguhkan dengan pemandangan taman yang tidak begitu menarik perhatianku. Omong-omong kamar ini ada di lantai empat.

"Tata dulu barangmu baru aku akan membawamu pada tour mengelilingi sekolah," kata Cass sambil menghempaskan dirinya di kasur miliknya.

Aku kemudian bergegas menata barang-barangku, sedikit enggan karena aku jarang melakukan hal semacam ini. Seandainya ada Liam, sudah pasti aku akan menyuruhnya untuk menata barang-barangku. Liam pasti mau walau sambil mengomel ini-itu.

[-][-][-]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top