•Payne Sister•End

Dalam semua kisah--entah itu sebuah kisah hasil karangan manusia dengan imajinasi setinggi langit ataupun kisah nyata dengan Tuhan sebagai scriptwriter-nya--aku tahu bahwa semua masalah akan ada solusinya yang membawa kebahagiaan sendiri. Kata orang-orang melankolis; kau akan menemukan pelangi setelah hujan. Aku percaya, aku merasakannya. Setelah semua konflik antara aku dan Liam dan konflik antara aku dan fake friend akhirnya aku menemukam solusi yang tepat dan konflik itu tak membelengguku lagi.

Tapi, kali ini, kasusnya beda. Kasus antara aku dan Niall semuanya terasa beda. Aku merasa seperti tidak ada solusi yang kudapatkan. Niall tiba-tiba datang dalam hidupku, memporak-porandakanku dengan sebuah perasaan asing dan tiba-tiba menghilang ketika aku dilanda stress dan tidak kembali lagi sampai sekarang. Ya, sampai sekarang. Sampai di detik dimana aku sudah mendapatkan gelar sarjanaku.

Waktu berjalan dengan cepat, orang bilang hidup manusia akan selalu berubah dalam waktu ke waktu. Dinamis, tidak statis. Begitupula dengan sebuah perasaan, perasaan bisa berubah. Tapi, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk perasaan yang kurasakan pada Niall.

Well, aku memang sudah tahu perasaan aneh apa yang kurasakan bersama Niall. Bree yang memberitaukannya, ia bilang ini jenis rasa sayang atau malah cinta. Aku tak percaya pada awalnya tapi lama kelamaan aku mempercayainya.

Perasaanku pada Niall tak kunjung berubah, masih ada rasa sakit yang tak kunjung hilang ketika sadar aku kehilangan sesosok Niall James Horan. Masih ada kupu-kupu berterbangan ketika mengingat hal-hal kecil yang kulalui dengannya. Semuanya masih sama, Bree bilang aku sudah benar-benar jatuh cinta padanya.

Ini tidak baik. Aku benar-benar jatuh pada seseorang yang bahkan keberadaannya tak kuketahui. Aku selalu mencoba untuk menghapusnya meski aku tahu itu hal itu sangat sulit mengingat aku tidak sedang mencoba menghapus tulisan di papan tulis. Tapi, seperti yang pernah Bree katakan padaku, ini tidak berhasil! Sama sekali tidak berhasil.

Akhirnya aku tiba di titik di mana aku merasa lelah. Lelah melawan semua perasaan yang menggebu-gebu di dalam hatiku. Pada akhirnya aku menyerah, membiarkan perasaan ini tumbuh semakin lebat.

Aku harap, perasaan ini tak menyakitiku lebih dalam.

###

Aku berjalan memasuki sebuah ruangan di mana seorang gadis cantik berada dengan gaun putih panjangnya dan juga flower crown yang menghiasi rambut hitamnya yang tergerai panjang. Gadis itu menatapku dari pantulan cermin besar yang ada di hadapannya dan melemparkan senyuman manis yang kurasa sudah menjadi opium bagi seorang Liam Payne.

Dia adalah Caramel, gadis yang tiba-tiba datang ke rumah dan mencari kakak tiriku. Caramel yang beberapa menit lagi akan resmi menjadi kakak iparku. Ya, kakak ipar. Kalau kau tidak bisa mempercayainya, tenang saja, aku yang selama ini menjadi saksi perjalanan cinta mereka yang penuh dengan 'rasa canggung' saja masih belum bisa mempercayainya.

"Hai, Caramel. Kau cantik sekali, aku iri melihatmu," kataku sambil berjalan mendekati Caramel dan melihat wajahnya lebih dekat.

Caramel sangat cantik, wajahnya terpahat dengan baik. Pantas jika Liam menjadi sangat tergila-gila padanya. Aku yakin saat ini banyak pria patah hati karena Caramel akan benar-benar menjadi milik orang lain.

"Oh, jangan berkata seperti itu Alexa, kau juga cantik. Aku yakin siapapun yang bisa jadi pendampingmu kelak akan sangat bersyukur karena bisa bersama dengan gadis secantik dirimu. Berbicara soal pendamping, kapan kau akan menyusulku dan Liam? Aku tidak sabar melihat saat di mana Liam berjalan berdampingan denganmu untuk mendatangi pasanganmu."

Aku terkekeh pelan, bahasan ini sebenarnya bukan jenis bahasan yang kusukai. Pembicaraan soal pasangan sangat sensitif bagiku.

"Aku belum punya calonnya, kakak ipar, bersabarlah," kataku menaruh nada lelucon dan berusaha mengabaikan perasaan aneh dalam diriku.

Caramel nampaknya ingin menjawab ucapanku ketika akhirnya Liam's father in law datang dengan tuxedo hitam. Ayah Caramel memang sudah tua tapi hal itu tak menghilangkan ketegasan yang terpahat di wajahnya dan melihatnya memakai tuxedo seperti itu, ia terlihat makin berwibawa. Bagaimana ya jika dad memakai tuxedo saat ini? Aku sangat merindukannya.

"Ayo, Caramel. Liam sudah menunggu di altar," kata ayah Caramel membuat gadis itu segera bangkit dari posisi duduknya dan keluar ruangan bersama sang ayah yang mengatakan agar Caramel tak perlu gugup.

Tak mau kehilang momen paling berharga di hidup seorang Liam Payne, aku keluar dari ruangan juga dan segera duduk di barisan bangku tamu paling depan. Aku menatap sosok Caramel yang berjalan ke altar bersama sang ayah dan adiknya, Hazelnut (iya, konyol memang tapi kenyataannya mertua Liam selalu menamai anak mereka dengan nama makanan. Aku berusaha keras untuk tidak tertawa ketika berkenalan dengan Hazelnut) yang baru berumur 10 tahun. Sebenarnya aku diminta ikut bersama Hazel--nama panggilan Hazelnut--tapi kupikir itu konyol karena perbedaan umur kami yang terlihat mencolok dan lagipula aku ingin menonton acara janji suci ini dengan duduk di bangku para tamu bersama tamu yang lain.

Caramel kemudian diserahkan pada Liam dan sebelumnya ayahnya nampak mengatakan sesuatu kepada Liam. Aku tidak peduli apa yang dikatakan oleh pria itu tapi aku yakin bahwa itu tak jauh-jauh dari Liam yang harus menjaga Caramel dan tidak boleh membuatnya nenangis.

Diam-diam aku membayangkan bagaimana jika Caramel itu aku, Liam adalah Niall dan ayah Caramel adalah Liam yang mendampingiku. Mungkin itu akan sangat membahagiakan karena aku bisa bersama Niall. Tapi, setelah itu aku sadar bahwa tak seharusnya aku tidak membayangkan hal itu, Niall mungkin sudah punya gadis lain. Gadis yang ia cintai dan mencintai dirinya seperti Liam yang sudah punya Caramel.

###

"Al, ayo keluar. Makan siang," kata Bree tiba-tiba tepat di hadapanku.

Aku memang bekerja di satu perusahaan yang sama dengan Bree, kami bahkan ditempatkan di bagian yang sama. Jika Bree tidak makan siang dengan kekasihnya, dia akan makan siang bersamaku. Namun, hal semacam itu jarang terjadi karena lovebird itu sering menghabiskan waktu berdua seperti dunia hanya milik mereka berdua. Ck, menjijikkan!

Mungkin, Bree dan kekasihnya tidak menjijikkam, akunya saja yang terlalu kesal dengan hal-hal klise semcam cinta akibat Niall yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar.

"Ayo!" kataku semangat sambil menata sebentar meja kerjaku sebelum akhirnya berjalan bersama Bree. "Kita makan siang di mana?"

"Mc. Donald?"

"Sound good, ayo kita ke sana!"

Kami keluar dari gedung tempat kami bekerja dan berjalan menuju Mc. Donald. Iya, berjalan karena memang letak Mc. D dan kantorku bersebelahan.

Mc. D di jam makan siang nampak sangat ramai. Ada banyak pegawai sepertiku dan beberapa kawula muda. Tapi, aku bersyukur Mc. D ini mempunya tempat yang sangat luas dan bangku yang banyak sehingga aku dan Bree tidak kehabisan tempat. Kami memilih makan di lantai atas tepatnya di balkon. Entahlah, kurasa outdoor akan nyaman.

"Lilly," aku bergumam pelan begitu melihat sosok yang tidak asing bagiku.

Lilly juga ada di Mc. D ini. Dia makan sendirian dengan tasnya yang ia letakkan di bangku samping. Aku tidak tahu bagaimana keadaan Lilly sekarang dan pekerjaan macam apa yang ia lakoni, sejak kejadian tempo lalu aku memang tidak lagi bisa berteman dengan Lilly. Karena, kau tahu, Lilly sudah sangat mengecewakanku. Dia benar-benar fake.

Beberapa hari setelah keadaanku dan Liam membaik, Lilly datang lagi padaku mengatakan sesuatu yang tidak pernah kubayangkan akan keluar dari mulutnya. Ternyata, ia yang meminta Harry untuk membunuhku. Lilly bilang ini bagai bentuk pembalasan dendam. Aku memang sebenarnya adalah musuh Lilly dulu dan kita berteman setelah Lilly dan aku melakukan genjatan senjata. Kami lelah terus bertengkar, bertengkar bukanlah hal yang benar.

Musim panas saat itu bisa dibilang adalah musim panas terburuk dalam hidupku tapi juga baik karena hubunganku dan Liam membaik. Namun, bagaimanapun juga, musim panas saat itu juga merupakan bagian masa laluku yang tidak pernah bisa dihilangkan dari hidupku tapi aku selalu mencoba untuk terus maju, melupakan semua kejadian saat itu dengan Liam yang selalu men-support-ku.

"Aku malas sekali, kenapa sih harus ada rapat setelah makan siang? Dasar bos-bos itu!pa mereka tak pernah berpikir bahwa mereka itu menyiksa pegawai-pegawainya?!" Bree terus mengoceh perihal rapat yang akan diadakan nanti setelah makan siang.

Aku juga tidak suka dengan ide rapat setelah makan siang. Yang benar saja, kau baru memasukkan asupan dalam tubuhmu lalu otakmu dipaksa berpikir untuk kemajuan perusahaan yang bukan milikmu. Tapi, aku tidak berpikir untuk mengeluh terus-terusan seperti Bree, selain itu hanya menguras tenaga hal itu juga tidak berguna karena bagaimanapun juga, bos kami tidak akan merubah jadwal yang ada.

Sedang enak-enaknya memasukan pepsi ke dalam mulutku, aku merasakam ponsel yang kuletakkan di atas meja bergetar. Kupikir itu ponsel Bree tapi ternyata itu ponselku. Ketika ku cek ternyata ada sebuah pesan dari nomer yang tak kukenal.

Unknown number

Hi, Al! Kau bisa bilang aku sebagai pecundang, aku sudah lama menghilang tapi tiba-tiba kembali dengan mengirimu pesan. Tapi, aku ingin bertemu denganmu. Malam ini 7p.m, di London Eye, aku sangat mengharap kehadiranmu, Al. -N.J.H xx

Aku mengerutkan keningku,  N.J.H? Siapa itu N.J.H? Aku mencoba mengingat-ingat dan satu nama muncul di kepalaku.

Niall James Horan!!

###

"Kau mau pergi k emana? Kau bahkan baru sampai," tanya Caramel ketika aku melewatinya yang sedang duduk di pangkuan Liam di ruang tamu. Aku agak jijik dengan pasangan ini tapi aku mencoba menghilangkannya karena bagaimanapun juga itu wajar bagi mereka yang sudah menikah.

Aku memang tinggal di rumah Liam dan Caramel yang Liam beli sekitar sebulan sebelum pernikahan mereka. Aku sebenarnya menolak karena bagaimanapun juga dua pasangan yang baru menikah membutuhkan privasi 'kan? Tapi, memang dasar Liam yang overprotective, aku tidak punya pilihan lain selain mengikuti kehendak kakak tiriku itu.

"Biarkan dia, babe. Dia hendak bertemu dengan cinta matinya," kata Liam diiringi dengan nada humor yang membuat Caramel terkekeh pelan tapi tidak denganku.

"Oh, ya? Jadi, kau akan bertemu lagi dengan--siapa itu?--Naill? Neill? Nayel?"

"Niall kakak ipar," jawabku, mengoreksi ucapan Caramel dan kakak iparku itu hanya terkekeh sebagai tanggapan.

Tidak mau terus-menerus menjadi bahan bullying hot-couple-of-the-year, aku langsung bergegas menuju London Eye dengan mobilku yang kubeli dari gaji pertamaku dan ditambah dengan uang peninggalan mom dan dad. Aku bersyukur, jalanan kota London tidak begitu padat malam ini hingga aku bisa sampai di London Eye di waktu yang tepat yaitu 7p.m

Ponselku bergetar dan begitu mengeceknya aku disambut dengan sebuah pesan yang dibawa oleh seorang Niall.

Niall Horan

Kau dimana? Kau datang 'kan? -N.J.H xx

Tidak ingin membuat Niall salah paham dan mengiraku tidak datang, aku segera membalasnya.

Alexa Payne

Tentu, Irish Boy! Aku sudah sampai, di mana kau? -Al xx

"Alexa?"

Aku mendongak dan tersenyum lebar pada sosok di hadapanku. Akhirnya, setelah sekian lama, aku bisa bertemu dengan Niall lagi. Bisa melihat senyum bodoh itu lagi. Astaga, rasanya aku ingin memeluknya sekarang jika saja aku tidak bisa mengontrol gerakanku sendiri.

###

Niall kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar London Eye. Sambil berjalan kami membicarakan banyak hal yang membuat kami menjadi sering tertawa, tawa keras. Aku membicarakan soal beberapa kejadian konyol di Royal Academy saat ia sudah tak ada ditempat itu dan Niall menceritakan beberapa kebodohannya saat ia sekolah di salah satu sekolahan yang ada di Mulingar, Irlandia. Niall mengaku bahwa ia senang menghabiskan waktu di Irlandia, tempat ia dilahirkan.

Kurasa, Niall menikmati waktunya di Irlandia tanpa aku. Berbeda denganku yang justru tersiksa dengan perasaan rindu yang membuncah. Berbeda denganku yang justru merasa tidak senang berada di Inggris yang jelas-jelas menjadi tempat kelahiranku.

"Kau tahu tidak apa alasanku tiba-tiba kembali ke Irlandia padahal sebenarnya aku sedikit tidak ingin kembali ke sana?" tanya Niall tiba-tiba, matanya melirik ke arah jalanan sedangkan kakinya menedang krikil-krikil yang ada.

Aku mengangkat bahuku. "Tidak tau, memangnya kenapa?"

"Coba tebak!"

"Ah, malas. Cepat jawab, Nialler."

Mata Niall tiba-tiba membulat, "what?! Kau tadi memanggilku apa? Nialler?"

"Iya, kenapa? Tidak boleh?"

"Itu terdengar cute."

Aku tidak menjawab. Tadi itu sebenarnya aku salah merapalkan namanya, tapi jika ia beranggapan itu cute, tak apalah.

"Jadi, kenapa?" Aku kembali ke topik awal, tidak berniat untuk membelokkan topik yang ada.

"Cass meninggal dunia. Ternyata benar ya, kita tidak akan tahu kapan dewa kematian datang merenggut nyawa berharga kita. Rasanya baru kemarin dia menyakitimu tapi sekarang dia sudah berpulang," kata Niall, ia terlihat sangat terpukul atas kematian saudara kembarnya itu. "Ia meninggal akibat kecelakaan dan yang membuatku kesal adalah kenyataan bahwa penabraknya lari dan tidak mau bertanggung jawab atas apa yang sudah ia lakukan."

Aku tidak menjawab hanya saja tanganku tiba-tiba menggenggam tangannya dan mengelusnya sejenak. Aku berharap bahwa kekuatan yang ada di diriku teralirkan padanya melalaui sentuhanku ini.

"Ketika dad bilang bahwa Cass meninggal aku benar-benar pusing. Satu sisi aku mengkhawtirakan keadaanmu yang kacau tapi d isisi lain aku juga tidak bisa tidak menghadiri upacara pemakaman saudara kembarku sendiri. Setelah aku berkonsultasi dengan Liam, aku akhirnya memilih untuk pulang Irlandia.

"Awalnya, kepulanganku ke Irlandia hanya untuk menghadiri upacara pemakaman Cass tapi tidak tahunya dad memutuskan untuk pindah ke Mulingar dan menjalani hidup di sana. Aku tidak punya pilihan lain, selain ikut."

Aku mengangguk-anggukan kepalaku, sangat paham dengan semua ucapan Niall dan sekarang terungkap sudah ke mana perginya Niall.

Niall menghentikan langkahnya tiba-tiba. Jemariku yang masih terkait dengan jemarinya ia eratkan. Mata birunya yang menenangkan menatap mataku dalam membuatku hanyut dengan perasaan tenang dari mata indah itu.

Wajah Niall mendekat ke arah wajahku menyisahkan sedikit jarak di antara kami. Jaraknya sangat sedikit bahkan sekarang hidung kami saling bertemu dan aku bisa merasakan napas segarnya yang menerpa wajahku.

"Aku rindu padamu, Al. Sangat rindu. Aku benar-benar tersiksa dengan rasa rindu ini," kata Niall dan belum sempat aku mencerna ucapannya aku bisa merasakan bibir Niall bertemu dengan bibirku, meleburkan semua perasaan rindu yang menyiksa.

Aku tidak bisa bilang bahwa ini adalah akhir dari kisahku dan kisah pemuda berdarah Irlandia bernama Niall Horan tapi yang aku tahu akhirnya aku bisa menemukan solusi dari semua konflik antara aku dan Niall.

Aku tidak bisa bilang bahwa ini adalah akhir yang indah karena bagaimanapun juga ini adalah modern fairytale, no happy ending, aku yakin masih ada masalah yang akan menunggu kami di depan. Tapi, saat ini dan sampai nanti aku percaya bahwa setiap konflik akan menemukan solusinya meski solusi itu datang di kurun waktu yang lama.

END-

Jangan dihapus dulu, akan ada beberapa yang nyusul kayak bonchap dan unseen moment /ehe, kayak apaan aja/, terus juga ada funfact.

Bye! /naik unicorn sama Niall, ehe/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top