•Payne Sister•Bonus Chapter

"Niall!" aku berteriak pada Niall yang masih tidur di atas kasur.

Niall menggeliat namun tidak bangun bahkan berdehem untuk menanggapiku saja tidak! Aku mendengus, seharusnya aku ingat bahwa Niall tidak pernah mudah dibangunkan.

Aku bergerak mendekat kemudian mengguncang tubuhnya. Niall menggeram sambil menggeliat namun aku tidak menyerah, aku terus mengguncang tubuh Niall yang shirtless.

"Alexa! Ini hari Minggu, kumohon! Aku butuh tidur!" kata Niall dengan suara parau khas orang baru bangun tidur. Ia menepis tanganku dan bergelung ke sisi lain tempat tidur.

Tidak menyerah, aku berjalan ke arah jendela dan menyikap gorden, mengijinkan cahaya matahari menjelajahi kamar kami. Niall semakin menggeram, ia menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Aku kembali berjalan ke arah Niall dan menarik selimut tersebut.

"Alexa! Kumohon!" Niall berteriak kemudian menggeram. Ia membalikkan tubuhnya, menenggelamkan wajahnya pada bantal.

Sejujurnya, aku tidak tega. Dia kemarin baru saja lembur dan baru tidur tengah malam, ini adalah hari Minggu dan seharusnya dia bisa tidur sampai kapanpun dia mau. Tapi, ada satu masalah di sini.

"Niall kumohon! Jangan tidur dulu! Ada masalah!" aku merengek sambil menarik-narik kakinya.

Niall menggeram lagi namun akhirnya merubah posisi tidurnya menjadi duduk. Ia menatapku dengan mata setengah terpejam dan wajah menampakkan kekesalan.

"Ada apa?" tanya Niall, terdengar ketus. Kurasa dia sangat mengantuk sampai tidak peduli rengekanku tadi.

"Aku ... aku ... aku terlambat menstruasi 2 minggu! Bagaimana ini?!" tanyaku sambil berjalan mondar-mandir dan melarikan jemariku pada rambut panjangku.

"Apa masalahnya?"

"Kau tidak lulus tes biologi bab reproduksi?"

"Aku tahu, Alexa, maksudku, lalu kenapa? Apa ada masalah jika kau benar-benar hamil?"

Aku menggeram dan menghentakkan kakiku ke atas lantai. "Aku tidak mau hamil!"

Mata Niall yang tadinya setengah terpejam sontak membulat. Matanya memandangku marah. Ia bangkit dan berjalan mendekat ke arahku.

"Kau bilang apa?"

"Aku tidak mau hamil!"

Mata Niall semakin menatapku tajam, ia berjalan semakin mendekat ke arahku.

"Jadi, kau tidak mau hamil?! Kau pikir kau ini apa?! Kau seharusnya hamil, Alexa! Beri aku keturunan! Bagaimana bisa kau berani mengatakan hal itu?!" Suara Niall memang tenang, tapi ada sebuah penekanan. Aku bergidik mendengarnya. "Apa alasanmu?"

Aku menatap ke bawah, ke arah jemari tanganku yang saling bertaut. "Aku ... aku masih mau bekerja Niall."

"Damn!" Niall mengumpat, ia kemudian berbalik dan berjalan menjauh dariku.

Niall mengambil kaosnya yang tergeletak di lantai sebelum kembali berjalan menjauh tanpa mengatakan apapun. Aku masih berdiri di tempatku, memandang pintu kamar dengan kosong.

-

"Kau tidak seharusnya berkata seperti itu." Caramel menuangkan teh ke dalam cangkirku dan meletakkan tekonya kembali ke atas meja.

"Tapi bagaimana? Aku takut, kakak ipar."

Caramel tersenyum tipis. "Kau seharusnya berkata jujur, bukannya membuat alasan lain. Jika kau berkata seperti itu, jelas dia akan marah padamu. Jujur itu lebih baik di saat seperti ini, Alexa."

Aku terdiam, memandang ke arah Niall yang sedang berbincang santai bersama Liam di perkarangan belakang melalui kaca yang menjadi penghalang antara ruang makan dan perkarangan. Di sana, Niall tidak hanya bersama Liam. Ada Sharon, keponakanku, ia bermain bersama mereka dan kulihat sorot kebahagiaan dan lekungan senyuman pada wajah Niall.

Sesuatu menghantam hatiku telak.

Mataku teralih dari Niall ke Caramel. Kakak iparku itu nampak dengan tenang meminum tehnya sambil sesekali melihat Sharon.

"Lihat! Dia sangat ingin punya anak."

"Aku tahu. Tapi, aku takut."

Caramel menghela napas. Ia menaruh cangkir teh di tangannya kembali ke atas meja dengan gerakan anggun. Bunyi tuk pelan terdengar saat cangkir teh bertemu dengan permukaan meja kayu.

"Aku tahu perasaanmu, awalnya memang menakutkan tapi percayalah, itu akan hilang secara perlahan. Kau tidak bisa egois, Alexa, Niall ingin anak dan aku tahu kau sebenarnya juga. Omong-omong, bagaimana? Apa kau memang positif hamil?"

Aku menggeleng. "Tidak tahu."

Aku terlalu takut dengan kehamilan hingga untuk mengecek test pack saja rasanya sangat berat. Aku takut jika hasilnya positif.

Caramel mengulurkan tangannya, ia meraih tanganku yang saling bertaut satu sama lain berharap dengan itu sebuah kekuatan tercipta dalam diriku.

"Tidak perlu takut, Alexa. Bayangkan kau memiliki anak, bayangkan kebahagiaannya, bayangkan kebahagiaan Niall. Aku jamin perasaan takut itu hilang."

Aku diam memandang tanganku yang masih digenggam Caramel. Tangan kanan Caramel tiba-tiba terangkat, ia kemudian mengelus rambutku dengan pelan.

"Begini saja, kita cek apa kau hamil atau tidak, apapun hasilnya katakan itu pada Niall! Katakan ketakutanmu dan katakan kau tidak serius soal tidak menginginkan anak! Bagaimana?"

Aku memandang Caramel. Ia terlihat sangat puas dengan idenya sendiri sekaligus yakin. Meski ragu, akhirnya aku mengangguk.

-

Keadaan malam ini begitu canggung. Kami bahkan tidak berani untuk menatap satu sama lain.

Setelah Niall keluar dari kamar mandi, aku mengangkat kepalaku dan memberanikan diri untuk menatapnya.

"Niall, aku ingin bicara," kataku, nyaris berbisik.

Niall terlihat terkejut, ia menoleh ke arahku sambil menaikkan alisnya. "Apa? Apa tidak bisa besok saja? Aku lelah."

Aku menggeleng. "Tidak, harus sekarang."

"Apa?" Niall terlihat tidak peduli, ia sibuk mengusap rambutnya dengan handuk sambil menatap pantulan dirinya di depan cermin. Meski begitu, aku tahu dia penasaran.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Sesuatu membuat jantungku mengedarkan darah lebih cepat dan membuat perutku terasa melilit.

"Aku...." Aku menarik nafas. "Aku hamil."

Niall menoleh dengan cepat ke arahku. Matanya membulat penuh keterkejutan dan bisa kulihat pancaran kebahagiaan pada kedua bola matanya.

"Serius?" tanya Niall, ia berjalan mendekat ke arahku dengan senyum merekah.

Aku menunduk. "Iya. Tapi--"

"Oh, iya, kau tidak ingin punya anak," gumam Niall namun sampai pada kedua telingaku.

Aku mendongak dan meggeleng. "Tidak. Aku bohong, aku juga ingin punya anak. Hanya saja ... aku takut Niall."

"Takut?"

"Bagaimana jika akhirnya aku menyakiti dia? Bagaimana jika ini semua tidak berjalan dengan baik?" kataku, air mata sukses menuruni pipiku.

Niall berlutut di hadapanku yang sedang duduk di tepian kasur. Tangannya menggenggam tanganku sedangkan matanya memandangku lembut.

"Semuanya akan baik-baik saja, Alexa, aku janji."

"Tapi--"

"Semuanya akan baik-baik saja. Kita akan menjaganya bersama, kita akan melewati ini dengan baik," bisik Niall, ia membuat pola melingkar pada punggung tanganku membuat aku menjadi lebih tenang.

"Benarkah?"

"Tentu!"

Niall mengulas senyum lebar. Ia kemudian mendekat ke arahku, mengecup ujung hidungku sekilas kemudian melingkarkan tangannya pada tubuhku sontak aku ikut melingkarkan tanganku pada tubuhnya. Kami diam dalam posisi tersebut sampai Niall melepas pelukan kami dan mengecup bibirku.

"Kita akan punya anak," bisik Niall. Senyumnya semakin lebar membuatku tertawa kecil.

Kurasa Caramel benar, rasa takut itu secara perlahan menguap. Melihat Niall bahagia berhasil membuat rasa takutku terkalahkan.

Semua akan baik-baik saja.

FIN

Aku sebenernya gk ada niat bikin part ini. Tapi tiba-tiba aja aku gabut, daripada pantengin TL yg gitu-gitu aja, atau nonton TV yg acaranya gitu-gitu aja plus ada iklan sirup menggoda (btw aku bikinnya waktu bulan puasa), aku akhirnya terpikirkan bikin ini.

Huh, semoga suka deh! Gue tahu ini parah banget anehnya!

28th June, 2016
Sincerely,

Yossi

P.s : there's funfact and unseen momment after this.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top