Silent Nite
Sarah membuka kembali kedua matanya yang setelah beberapa lama terpejam. Tapi, rupanya gadis itu belum jatuh tidur juga setelah berusaha mati-matian untuk melelapkan diri. Selalu dan nyaris setiap malam ia mengalami hal yang sama. Kesulitan untuk tidur. Tapi, Sarah enggan untuk menyebutnya sebagai insomnia.
Hal pertama yang bisa ditangkap oleh sepasang mata Sarah saat ia membukanya untuk pertama kali adalah punggung Grey. Memang, ini bukan kali pertama ia melihat punggung milik Grey. Bahkan nyaris setiap malam ia bisa menikmati pemandangan semacam ini. Punggung Grey yang terbungkus selembar sweater tebal yang pastinya bisa memberi kehangatan pada si pemiliknya.
Begitulah. Setiap malam, Grey akan tidur pada posisi yang sama. Menghadap tembok seolah sengaja ingin membelakangi Sarah dan menyajikan kesan betapa dinginnya punggung miliknya. Dan Sarah malah memilih berbaring dengan menghadap ke tubuh Grey, tak peduli pria itu akan memunggunginya atau tidak. Ia cukup puas hanya dengan menatap punggung itu meski dengan diam-diam. Tanpa pernah berpikir bisa menyentuh apalagi memeluknya. Tak pernah. Sarah tidak akan pernah membiarkan batinnya begitu lancang berpikir seperti itu.
Grey dan segala yang yang ada pada dirinya, semuanya, adalah hak Sarah. Secara hukum, pernikahan yang telah resmi mereka lakukan setahun yang lalu adalah pengikatnya. Bukan hal yang salah atau dosa jika Sarah menyentuh punggung itu. Sejatinya punggung itu adalah milik Sarah dan ia berhak melakukan apa saja pada punggung itu. Tapi, ia tidak pernah berpikir meski hanya untuk menyentuhnya. Kenapa? Karena hatinya yang melarang.
Pernikahan yang mereka lakukan setahun yang lalu memang bukan kehendak Sarah. Juga bukan kehendak Grey. Tapi, kesepakatan bisnis di antara kedua orang tua Sarah dan Grey-lah sehingga terlaksana pernikahan itu. Sebagian besar orang menyebut ini adalah sebuah perjodohan. Tapi, bagi Sarah semua ini bukan hanya sekedar perjodohan melainkan takdir. Baginya menikah dengan Grey adalah sebuah takdir. Dan Grey adalah jodoh dari Tuhan untuknya meski melalui proses yang lazim disebut perjodohan.
Tapi, sepertinya Grey tidak sependapat dengan pemikiran Sarah. Pria itu masih belum bisa menerima kenyataan yang sudah terjadi pada dirinya. Menikahi seorang gadis bernama Sarah yang menurutnya hanyalah seorang gadis biasa. Bukan gadis istimewa yang selama ini selalu menghuni ruang mimpinya. Gadis cantik berambut panjang, bersifat keibuan, lemah lembut, dan bisa membuat hati Grey luluh lantak. Grey hanya ingin seorang gadis seperti itu. Ia mendambakan seseorang yang bisa membuatnya kagum dan jatuh hati, itu saja. Bukan seperti Sarah, yang Grey tidak tahu di mana letak keistimewaannya. Gadis yang betah sendirian di dalam kamar, tidak melakukan apa-apa, memandang keluar jendela yang terbuka, mungkin bercengkerama dengan lamunannya sendiri. Sarah bahkan bukan seseorang yang menyukai kegiatan membaca dan lebih suka menatap ke arah hujan dalam kebisuannya. Dan Grey tidak pernah bisa menerima kehadiran Sarah dalam hidupnya bahkan sampai detik ini.
Malam telah beranjak kian larut. Bahkan jarum jam nyaris merapat ke angka satu. Tapi, kedua mata Sarah masih terbuka dan menatap lurus ke arah punggung Grey. Berharap agar si pemilik punggung itu bisa memutar posisi dan balas menatapanya. Tapi, hal itu hanya bisa tersimpan rapi dalam angan-angan Sarah dan belum terwujud sampai hari ini.
Jikalau angan-angan itu terlalu mustahil, Sarah hanya ingin sekadar menatapnya. Andai saja ia bisa berbincang dengan punggung itu, maka gadis itu pasti tak akan kesepian di setiap malamnya. Ia hanya ingin menumpahkan segenap perasaan dan kegelisahan yang kerap menyerang pikirannya. Ada banyak hal yang sangat ingin ia ungkap pada si pemilik punggung itu. Tentang cinta dan isi hatinya.
Sarah menyukai Grey sejak pertama mereka dipertemukan pada acara pertemuan keluarga. Bagaimana ia mencuri pandang pada Grey yang begitu santun dan kepandaiannya menempatkan diri di tengah-tengah para orang tua. Cara bicaranya yang lugas dan ramah telah menarik simpati Sarah. Bukan hanya Sarah, tapi, seluruh gadis di negeri ini pasti akan jatuh cinta pada sosok Grey.
Dan Sarah masih menyukai pria itu meski sosok Grey yang dulu tidak pernah ia temukan pada Grey yang kini sedang berbaring memunggunginya. Grey yang ramah dan santun itu sudah lama tidak ditemuinya, bahkan nyaris membuat Sarah percaya jika sosok itu telah menghilang dan digantikan oleh seseorang yang dingin dan kaku. Grey yang sekarang hanyalah seseorang berhati dingin, acuh, tak banyak bicara, dan nyaris tak pernah tersenyum. Bahkan Sarah sudah lupa kapan terakhir ia melihat senyum tersungging di bibir indah Grey.
Sarah sadar jika ia tidak benar-benar menjalani sebuah kehidupan pernikahan bersama Grey. Ia hanya hidup di bawah atap yang sama dengan pria itu, melewati hari demi hari seperti dua orang asing yang menjalani kehidupan pribadi masing-masing. Tapi, sesungguhnya Sarah berusaha menjalankan perannya dengan baik. Menjadi seorang ibu rumah tangga meski hanya setengahnya. Namun, apa Grey pernah menghargai usahanya? Apa Grey pernah melakukan hal yang sama? Apa Grey pernah menganggapnya ada di dunia ini, bahkan saat mereka berdua berbaring di atas tempat tidur yang sama?
Tidak pernah!
Grey hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Ego dan kesibukannya lebih penting dari apapun di sekitarnya termasuk Sarah. Pria itu tidak pernah berusaha menerima takdir bernama Sarah. Karena ia tidak pernah mencintai Sarah seperti gadis itu mencintainya!
Sarah sadar. Gadis itu tahu semua yang menghuni pikiran Grey. Bahkan ia juga tahu jika Grey tidak pernah mencintainya barang secuilpun. Tapi, ia masih ingin bertahan sembari berharap ada sebuah keajaiban kecil yang bisa melelehkan gunung es di dalam hati Grey. Sampai kapan ia akan bertahan dan menjalani kehidupan yang kerap membuat dadanya sesak seperti itu, Sarah tidak pernah tahu. Mungkin sampai ia sudah benar-benar tidak sanggup berada pada jalan yang sedang dilaluinya sekarang. Sampai ia merasa lelah dan harus melepaskan semuanya. Grey, hati, dan cintanya.
Sarah mengerjapkan sepasang matanya yang berkabut dan mengalirlah tetesan bening mirip air hujan yang turun sore tadi ke atas pipinya. Lalu tetes itu bergerak bebas ke bawah dan berhasil membuat bantal di bawah kepala Sarah basah dan membentuk pola mirip awan.
Andai saja punggung itu bisa berbicara, Sarah pasti sudah membagi keluh kesahnya saat ini...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top