Dreams Garden
Seperti mimpi!
Itulah sekarang yang bisa digambarkan Sarah dalam pikirannya. Gadis itu girang bukan main, tapi, ia hanya sanggup bersorak dalam hati. Bagaimana ia tidak girang jika sejak turun dari mobil tadi, tangan Grey terus menerus memegang tangan miliknya seperti yang dilakukan pasangan-pasangan lain yang datang di pesta pernikahan teman pria itu. Bahkan saat memasuki ruangan pesta, tangan Grey masih menggenggamnya dengan erat. Menambah kepercayaan dalam diri Sarah meski ia merasa penampilannya kurang sempurna.
Beberapa orang yang kebetulan mengenal Grey, menyapa pria itu begitu ia memasuki ruangan pesta yang sudah di dekorasi secantik mungkin. Entah itu teman sekolah atau relasi bisnis, Sarah tidak begitu tahu. Ia hanya mengikuti langkah Grey kemana pria itu membawanya.
"Hei, Grey!"
Seorang pria seumuran dengan Grey tampak melambaikan tangannya dari kejauhan. Ke sanalah akhirnya Grey mengajak Sarah.
"Hei, apa kabar?!" Grey nyaris berteriak saat menyapa pria yang baru saja melambaikan tangannya. Ia menyalami pria itu dan menepuk pundaknya dengan hangat. Seorang wanita yang berdiri di sebelah pria itu turut disalami Grey.
"Dia istrimu, Grey?" tanya pria itu sembari menyikut lengan Grey. Sepertinya mereka berdua sangat akrab.
"Iya. Perkenalkan dia Sarah."
Sarah yang semula bergeming beberapa detik lamanya demi menyaksikan adegan itu akhirnya tersenyum dan menyalami teman Grey. Ia berusaha menunjukkan sikap ramah dan hangat pada siapapun yang mengenal Grey. Demi Grey dan nama baiknya.
"Aku tidak tahu kau sudah menikah, Grey." Wanita di samping pria itu berkomentar seraya tergelak. Tanpa bermaksud menyinggung atau sejenisnya. Ia tampak sebagai wanita baik-baik.
Grey tak menyahut. Hanya mengulas senyum tipis. Dan Grey terselamatkan kali ini karena seseorang tiba-tiba muncul dan menengahi perbincangan itu. Tampaknya ia juga salah satu teman dekat dari Grey, menilik dari betapa akrabnya mereka bertanya kabar satu sama lain.
Tubuh Sarah menegang di samping Grey saat genggaman tangan pria itu terlepas perlahan. Mungkin ia tak menyadari hal itu karena tidak terbiasa menggenggam tangan Sarah atau kemungkinan lainnya Grey sengaja melepaskan tangan gadis itu agar lebih leluasa mengobrol bersama ketiga rekannya.
Sarah hanya terpaku pada sosok Grey yang kini sedang sibuk berbincang bersama teman-temannya. Tenggelam dalam perbincangan seputar persahabatan, nostalgia masa sekolah, dan sesekali menyinggung soal bisnis. Gadis itu dengan teliti memperhatikan setiap ekspresi yang dilukis wajah Grey. Tutur kata, pemilihan kalimat, senyum yang sesekali mengiringi ucapannya, dan tawa yang akan merebak manakala teman-temannya melempar sebuah candaan lucu. Semua itu tak luput dari perhatian Sarah.
Benarkah itu dirimu, Grey?
Sebuah pertanyaan dengan tanda tanya besar menggantung di dalam kepala Sarah saat ia menatap Grey dan segala tingkah lakunya. Sumpah demi Tuhan, Sarah seperti melihat orang lain bersarang dalam diri Grey saat ini. Ia bukanlah Grey yang dingin dan minim kalimat saat bicara dengan Sarah. Sosok itu bukan Grey yang ia temui setiap hari, yang tak pernah mengukir seulas senyum di bibirnya. Bahkan Grey yang dikenalnya selama ini tak sekalipun pernah meledakkan sebuah tawa renyah.
Kenapa Grey?
Batin Sarah menjerit hebat. Apakah saat bersama Sarah, Grey berubah menjadi orang lain? Dan saat ia bersama orang lain lagi, Grey menjadi sosok yang berbeda. Sebenarnya mana pribadi Grey yang sebenarnya? Grey yang dingin atau Grey yang supel dan ramah? Atau apa karena kehadiran Sarah-lah yang membuat pribadi Grey terkekang sehingga memaksanya menjadi orang lain?
Tubuh Sarah bergetar saat pemikiran semacam itu dicapai oleh otaknya. Gadis itu merasakan kepalanya berdenyut mengingat semua yang berhubungan dengan Grey dan dua kepribadiannya.
Sarah melangkah mundur perlahan dari sisi Grey dan mencari celah untuk pergi. Gadis itu nyaris menabrak seseorang manakala ia melangkah dan kurang memperhatikan sekitar. Dan ia baru berhenti di sebuah petak kosong nan sempit di sudut ruangan pesta.
Gadis itu mencoba menyandarkan punggungnya pada dinding ruangan sekadar menopang berat tubuhnya. Ia berusaha mengambil napas dalam-dalam karena tiba-tiba saja ruangan itu menjadi pengap dan nyaris tak ada oksigen untuk dihirupnya.
Oh, Tuhan!
Sarah hanya bisa mengeluh dalam hati. Gadis itu baru saja sadar jika ia berada di sebuah tempat asing dan sedang terjebak di dalamnya sendirian. Tak ada satupun orang yang dikenal ataupun mengenalnya. Lalu di mana Grey?
Sepasang mata Sarah celingukan ke sana kemari mencari sosok Grey. Satu-satunya orang yang dikenalnya di sini. Tapi, kerumunan orang-orang yang nyaris menjejali ruangan pesta menghalangi pandangan matanya. Terlebih lagi, sebagian dari mereka berlalu-lalang bertegur sapa satu sama lain, tertawa lepas, ditambah lagi suara iringan musik dan master of ceremony seakan ingin memekakkan telinga gadis itu. Suhu di ruangan itu juga perlahan-lahan meningkat dan menyebabkan tetes demi tetes keringat berjatuhan dari pelipis gadis itu. Pengap, panas, dan bising bercampur aduk jadi satu seolah ingin menyiksa Sarah.
Grey, tolong aku!
Sarah memejamkan mata dan mencoba berteriak sekeras-kerasnya dalam hati memanggil Grey. Berharap sinyal yang ia kirimkan lewat pikirannya bisa diterima oleh Grey meski hal semacam itu hanya ada dalam dunia khayalan saja. Ia hanya ingin pulang dan duduk di depan jendela seraya menikmati pemandangan di luar. Sarah hanya akan merasa aman jika berada di sana.
Tapi, harapannya kosong tanpa pernah terwujud. Sampai beberapa saat lamanya Grey tak datang jua seperti keinginannya. Grey tidak punya kemampuan mendengar suara batin Sarah. Ia bukan manusia super. Ia hanya manusia biasa yang hanya ingin menikmati kebebasan bersama teman-temannya. Berbagi cerita, canda, dan tawa. Manusia normal butuh semua itu, tapi, tidak bagi Sarah. Ia hanya butuh Grey. Sekali lagi Grey! Bukan yang lain!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top