Breakfast
"Maaf aku terlambat, Grey."
Grey yang semula tertunduk tekun dengan ponsel pintarnya, langsung mengangkat dagunya begitu suara pagi Sarah menyapa gendang telinganya. Pria itu sudah berpakaian rapi dan sedang menikmati secangkir kopi instan di ruang makan. Ia hanya mengangkat alis kemudian tertunduk lagi menekuri ponsel pintarnya. Seolah menganggap keterlambatan Sarah adalah sebuah angin lalu.
Sarah mendesah berat. Ia mencoba menahan perih yang kini bersarang di dalam dadanya melihat reaksi dingin Grey. Gadis itu melangkah pelan ke dapur untuk menyiapkan sarapan ala kadarnya untuk Grey. Sarah tak akan punya waktu untuk memasak sesuatu untuk Grey atau ia akan terlambat pergi ke kantor.
"Harusnya kamu membangunkanku, Grey."
Sarah kembali ke meja makan dan meletakkan sebungkus roti tawar di sana bersama selai nanas dan keju cheddar. Ia melirik sekilas ke arah Grey yang sepertinya tidak memasang telinga dengan baik. Entah pria itu mendegar suaranya atau tidak, yang jelas bibir Grey bungkam.
"Kau mau sarapan?" tawar Sarah mencoba mengalihkan perhatian Grey dari ponsel pintarnya. Tapi, selang beberapa detik kemudian, Grey masih bergeming dengan posisinya semula sehingga gadis itu terpaksa harus memanggil nama pria itu. "Grey."
Grey tersentak. Seolah baru terbangun dari tidur, ia mengangkat dagu dan menatap Sarah dengan ekspresi heran. Sebuah tanda tanya terpasang jelas di sana.
"Apa?" tanya Grey linglung.
Sarah melenguh kecewa.
"Kau mau sarapan?" tawar Sarah sekali lagi seraya menunjuk lembar-lembar roti tawar di hadapannya. Ia sudah siap membuatkan roti isi selai nanas untuk Grey kapan saja. Jika ia menginginkannya.
Tapi, gelengan dari kepala Grey malah yang didapat Sarah kali ini. Menggoreskan kecewa sekali lagi di hati gadis itu.
"Aku mau minum kopi saja," ucap Grey memperjelas maksud hatinya.
"Baiklah." Akhirnya Sarah mencoba untuk memaklumi keinginan Grey dan bergegas membuat sarapan untuk dirinya sendiri sebagai penawar rasa kecewa di hatinya. Gadis itu juga mengambil susu rasa pisang dalam kemasan karton dari dalam kulkas sebagai pelengkap sarapannya.
Grey tak begitu mempedulikan sikap Sarah pagi ini. Juga pada penampilan kusutnya usai bangun tidur. Rambut sebahunya masih tampak berantakan sama seperti saat ia menegurnya pertama kali pagi ini. Ia pasti tidak berpikiran untuk menyisirnya sebelum keluar dari kamar. Gadis itu juga belum mencuci muka dan ia tampak acuh dengan penampilannya di pagi hari. Tapi, saat ia mulai mengunyah sarapannya, barulah Grey kembali mengangkat dagunya untuk menatap ke arah Sarah.
Menggelikan sekali, batin Grey. Gadis itu bahkan sudah berumur 21 tahun sekarang, tapi, ia belum juga menghilangkan kebiasaannya menyantap roti tawar dengan sehelai keju cheddar seperti dalam iklan. Ia bukan anak-anak lagi dan selama ini gadis itu belum pernah melewatkan seharipun tanpa makan sarapan kecil itu. Dan juga susu rasa pisang dalam kemasan karton itu. Sampai kapan gadis itu akan merubah perilakunya?
Grey melenguh pelan. Ia hanya bisa mengeluh dalam hati. Kenapa ia bisa menikah dengan gadis yang memiliki kebiasaan sarapan yang cukup aneh seperti itu?
Grey menyesap isi cangkir di hadapannya pelan sampai tak bersisa. Kopi hasil buatannya sendiri itu sudah mulai dingin setelah terlalu lama ia abaikan karena terlalu asyik memperhatikan tingkah Sarah.
"Aku akan berangkat sekarang."
Sarah mendongakkan kepala mendengar suara Grey yang terkesan datar. Ia bahkan belum menelan kunyahan roti terakhirnya saat Grey berpamitan. Gadis itu buru-buru menyelesaikan makan dan minumnya lalu mengejar langkah Grey.
"Mau kubuatkan makan malam apa, Grey?" tanya Sarah begitu sampai di ruang tamu di mana Grey sedang mengenakan sepatunya di sana. Gadis itu berdiri kaku di sebelah pria itu.
"Terserah."
Hanya satu kata itu yang keluar dari bibir Grey. Pria itu sudah selesai dengan sepasang sepatunya dan bersiap hendak melesat pergi dari hadapan Sarah.
Sarah sedikit kecewa mendengar jawaban singkat Grey. Selama setahun hidup berdua dengan Grey, ia bahkan tak pernah tahu apa makanan kesukaan pria itu. Apapun yang ia sajikan di atas meja makan selalu dilahap Grey meski Sarah sempat tak percaya diri dengan hasil masakannya.
"Aku pergi dulu," pamit Grey sejurus kemudian. Meremukkan kebisuan di bibir Sarah.
"Hati-hati, Grey." Gadis itu menggumam pelan. Seperti yang selalu ia ucapkan saat mengantar kepergian Grey.
Grey hanya mengangguk, membuka pintu apartemen, dan menutupnya kembali. Pria itu menghilang di baliknya, meninggalkan Sarah yang berdiri bergeming di tempatnya semula. Tanpa senyum perpisahan atau sebuah kecupan hangat di kening seperti yang orang lain lakukan. Sungguh, jauh di lubuk hati Sarah yang paling dalam mendambakan hal-hal kecil semacam itu. Bisa mendapat kecupan manis di kening atau pipinya, mungkin pelukan hangat saat Grey akan berangkat ke kantor, merupakan hal terindah yang pernah hadir dalam mimpinya.
Sarah memutar tubuh dan melangkah dengan lesu ke meja makan. Gadis itu duduk kembali di atas kursi yang sempat ia tinggalkan selama beberapa menit untuk mengantar kepergian Grey.
Ia baru tersadar jika penampilannya sangat berantakan pagi ini. Karena terlalu terburu-buru dan takut Grey sudah berangkat ke kantor, Sarah lupa untuk membenahi tatanan rambutnya. Kenapa ia begitu ceroboh pada hal-hal sekecil itu? Padahal ia selalu berusaha tampil sebaik mungkin di depan Grey pada setiap kesempatan.
Sarah menghela napas panjang dan menyandarkan punggung di sandaran kursi. Sepasang matanya menatap ke langit-langit apartemen.
Apa hari ini akan turun hujan? batinnya sembari merentangkan kedua tangan sekadar melemaskan otot-otot. Ia hanya ingin menikmati hujan sore ini setelah melakukan aktifitas rutinnya sebagai ibu rumah tangga. Cucian menumpuk, berbelanja ke supermarket, dan memasak makan malam untuk Grey. Di dalam pikirannya semua kegiatan itu sudah tertulis rapi dan hanya perlu di realisasikan.
Bersemangat, Sarah! bisik gadis itu dalam hati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top