v. cuaca
Berita di televisi mengatakan cuaca hari ini akan cerah.
Hahah, bullshit. Apanya yang cerah?
Termakan ramalan cuaca yang ditayangkan benda elektronik di rumah mereka, Vezia dan Rio memutuskan untuk menghabiskan waktu pagi di luar. Jogging sebentar di luar, sehat katanya, apalagi bagi Vezia yang harus menjaga badan—mengingat perempuan satu ini kalau makan tidak tanggung-tanggung porsinya—buatnya peroleh jadwal berolahraga yang ketat dari sang suami.
Udah mantan polisi sih, jadi kadang lupa diri sama kegiatan fisik.
Pagi ini mereka baru muter-muter sesaat, belom sampai ke target yang diberikan Rio untuk Vezia, tapi langit sudah lebih dahulu mendung, kemudian tanpa aba-aba mencurahkan ribuan pasukan air pada keduanya yang tengah berlari-lari santai.
Begitu merasakan titik-titik air menghujani kepalanya, Vezia dalam hati memekik senang. Sudah lama dia tidak hujan-hujanan, ditambah fakta bahwa kegiatan olahraga mereka tidak akan dilanjutkan membuat girang gadis itu berkali-kali lipat. Merentangkan tangan, mau bersiap-siap lari menikmati hujan, badan Vezia terlanjur ditarik sama Riou mendekat. Sang pria berusaha melindungi istri mungilnya dari hujan, meminimalisir efek basah di pakaian wanita itu.
Vezia merengut, dia enggak terima niatannya digagalkan Riou.
"Lepas, Io, aku kan mau hujan-hujanan!"
"Nanti kau sakit."
"Cih."
Tidak ada untungnya melawan Rio. Meski kekuatan fisik Vezia di atas rata-rata perempuan lain, namun tetap saja kalah kalau dibandingkan dengan mantan tentara yang tingginya nyaris dua meter tersebut.
Ngelawan juga enggak ada gunanya, yaudah nurut aja deh.
Pasutri itu buru-buru mencari tempat berteduh di sekitar. Lantas kala mengingat rumah mereka berada di pelosok kota Yokohama, tanpa pilihan keduanya mempercepat langkah kaki guna pulang tuju rumah tercinta.
Begitu memasuki pekarangan rumah, tidak ada lagi pasukan air hujan yang menimpa mereka. Vezia menunduk, mengecek keadaannya sendiri. Bagian lengan dan pundak cropped hoodienya basah kuyup, sementara rambut hitamnya kusut terkena air.
Lha, udah dilindungi Io aja basahnya masih kemana-mana gini, gimana Io dong?
Ketika Vezia menoleh demi dapati kondisi Rio, lelaki itu terpergok sedang mengangkat kaosnya—yang basah seluruhnya dari mulai pundak hingga punggung—menampilkan otot perut yang sukses buat Vezia salah fokus.
Oh, shit.
Perempuan itu salah tingkah, melupakan apa yang ingin dikatakan pada Rio setelah melihat pemandangan yang menyejukkan mata. Di sisi lain, Riou menyadari tatapan mata Vezia yang ditujukan padanya.
"Kenapa?"
"Ahm, eng--enggak papa kok! Masuk yuk!"
Vezia berbalik badan, meraih gagang pintu seiring mendorong pelan pintu depan rumah mereka.
Satu kali.
Dua kali.
Keringat dingin mulai membanjiri wajah Vezia, dia memikirkan skenario terburuk jika seandainya spekulasi anggapan diri benar-benar nyata.
Rio mendekati Vezia, ikut mempertanyakan keadaan usai melihat sang wanita terdiam cukup lama.
"Pintunya kenapa?"
Tangan besar Rio turut menggenggam handel pintu, mencoba membuka dengan cara yang sama seperti Vezia. Vezia melirik-lirik cemas, semoga saja hanya tangannya yang tidak kuat membuka pintu dan bukan pintunya yang bermasalah.
Namun ternyata sama saja, pintu tetap tidak mau terbuka.
Mampus.
"Io." Vezia memanggil dengan nada suara yang bergetar, "Kayaknya pintunya kekunci deh."
Rio yang mendengar ucapan Vezia tidak merubah air mukanya. Sang lelaki mempertahankan ekspresi netralmya dan tidak memberikan reaksi yang berlebihan menanggapi Vezia.
Vezia memijit pangkal hidungnya, mereka ulang kegiatan mereka sejak pagi dan mencari-cari dukungan akan pendapat yang baru saja dia lontarkan.
Bangun terlalu pagi, masak sarapan sendiri, seenaknya keluar rumah, dan dengan bodohnya lupa menanyakan jadwal dua pasutri lainnya. Ini sebenarnya keteledoran mereka karena lupa membawa kunci rumah, padahal biasanya Vezia akan meraup kunci dengan sigap.
Tiga pasangan suami-istri di rumah memiliki masing-masing satu kunci pintu depan. Padatnya jadwal pribadi tidak menutup kemungkinan terjadi bentrok kalau kuncinya tidak diduplikat. Vezia ingat dia melihat kunci miliknya yang diberi gantungan macaron green tea berada di atas nakas, tetapi sekali lagi dia lupa mengambilnya.
Perempuan itu bersidekap, memikirkan cara apa yang harus mereka ambil supaya bisa masuk ke dalam rumah saat tiba-tiba Rio menyeletuk.
"Tidak bisa kutendang saja pintunya agar kita bisa masuk?"
"JANGAN!"
Vezia menolak saran Rio dengan seruan sekuat tenaga serta menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"No, no, no, dilarang merusak barang-barang rumah semudah itu," tandasnya.
"Kalau begitu kita mau menunggu di sini saja?"
Vezia menimang-nimang ucapan Rio. Ingin mengutarakan pendapat mengenai mereka bisa bertanya siapa yang lebih dahulu pulang, lalu teringat alat komunikasi saja ditinggalkan di samping kunci. Ngenes sekali mereka sekarang.
Pemikiran pun tak kunjung berujung, jadi tidak ada salahnya kan menyetujui usulan suaminya ini?
"Sepertinya begitu .... "
Rio tidak mempermasalahkan keputusan mana yang dipilih Vezia, hanya satu masalah pria tersebut, yaitu tidak ingin istrinya sakit. Rio segera mencermati keadaan Vezia. Bibir yang bergetar kedinginan serta tubuh yang menggigil, nanti jika dibiarkan akan benar-benar sakit.
Rio pun merengkuh Vezia, membenturkan gadis itu pada dada bidangnya selembut mungkin.
"Maafkan aku, dingin ya?"
Vezia melengkungkan bibir, sang wanita menggeleng, "Enggak papa kok, ini salah cuaca, bukan salah Io."
Sebelah tangan mengelus pelan pucuk hitam Vezia, kedua manusia yang tadinya berdiri itu perlahan merosot jatuh, berakhir menyandarkan pinggung di pintu depan. Rio setia memeluk Vezia, menyalurkan kehangatan dan meredakan badan sang wanita yang menggigil.
Udah sama-sama basah, jadi biarin aja deh pelukan gini.
Tidak menemukan aktivitas berfaedah yang bisa dilakukan juga didukung cuaca yang nyaman, alhasil keduanya pun malah tertidur lelap di depan pintu, menunggu sampai salah satu pasutri MTC lainnya untuk pulang.
Sampai Mina pulang dan dengan cerewetnya mengomeli kecerobohan mereka usai membukakan pintu, lebih tepatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top