iv. bintang
Wanita itu duduk di pinggiran gazebo, mengayunkan kakinya ke arah depan dan belakang sembari bersenandung kecil. Binar cerah tersirat dari matanya. Dia mendongak, menatap hamparan bintang yang memenuhi langit malam.
Uap napasnya kentara jelas berwarna putih di antara udara malam nan dingin. Sesekali tangan disatukan, saling digosokkan satu sama lain seiring ditiup-tiup pelan, mencoba meminimalisir hawa dingin yang menusuk kulitnya.
Sebuah atasan bercorak abu-abu terlampir pada bahu ketika tangan mungil itu hendak beranjak untuk memeluk diri, buat sang empunya menoleh ke belakang.
"Kenapa Io selalu berhasil menemukanku sih?" protes kecil meluncur keluar dari bibir Vezia.
Perempuan itu bergeser, memberikan tempat agar suaminya bisa duduk.
"Tempat persembunyianmu hanya dua, studio dan halaman belakang. Aku tidak menemukanmu di studio, makanya aku langsung kemari."
Vezia bersidekap, tapi tubuhnya semakin berat ke samping lalu akhirnya menyandar sepenuhnya pada pundak Riou. Perasaan rindu menelusup dalam dada Vezia sebab telah lama dirinya tidak bertemu dengan Rio karena jadwal kerja yang berselisih, padahal biasanya mereka sering menikmati langit malam bersama-sama.
"Baguslah, kita sudah lama tidak begini gara-gara sama-sama sibuk," ujarnya.
"Maaf."
Sepotong kata spontan diutarakan disertai rasa bersalah di dalamnya.
Vezia mengerling kemudian melepaskan suara tawanya, "sudah-sudah, yang penting sekarang kita nikmati saja bintangnya."
Keheningan melanda mereka setelah Vezia berucap. Sibuk satu sama lain mencari-cari rasi bintang yang terbentuk, kemudian saling memamerkannya jika salah satunya berhasil temukan rasi yang jarang tersusun atau membanggakan bintang paling terang yang mereka dapati.
Percakapan ringan terjadi tanpa bertatap muka, hingga sebuah objek yang melesat menyita perhatian mereka berdua.
"Ah ... "
"Nagareboshi! Ayo, ayo, buat permintaan!"
Pekikan girang dari Vezia riuh terdengar. Vezia mulai merapalkan keinginannya tanpa suara, begitu pula Rio yang memohon dalam hati.
"Sudah lama tidak melihat bintang jatuh, mungkin itu berkat kita berdua di sini bersama ya?" goda Vezia terkikik geli, "apa permintaanmu, Io?"
Rio tersenyum singkat untuk sesaat, "akan kuberitahu setelah kau mengatakan permintaanmu."
"Aku memohon agar Io bisa memasak dengan bahan yang normal!" Vezia berkata lantang, seolah tidak mempedulikan kesempatan mengajukan permohonan yang jarang bisa terwujud dengan membuang kesempatannya sia-sia.
Rio tidak bisa tidak tersenyum merespon istrinya. Dia mencubit pipi Vezia dan menariknya seperti menarik adonan agar melar.
"Aw, aww--"
Vezia mencoba melepaskan tangan Riou dari pipinya. Cukup, pipinya itu sudah terlalu lebar, jangan sampai melebar lagi.
"Sebenarnya aku bisa memasak normal."
Iris Vezia seketika melebar, "Benarkah? Bahan-bahannya juga normal?"
Rio menahan senyumnya, "Tentu, tapi ada syaratnya."
Vezia mengernyit-memutar otaknya tetapi tetap tidak terpikirkan alasan yang bisa memaksa Rio untuk memasak dengan bahan normal.
"Apa syaratnya? Keadaan mendesak? Tidak ada hutan terdekat? Beritahukan padaku, apapun akan kulakukan supaya sekali-kali Io bisa menggantikan aku memasak kalau hari Jumat atau Sabtu, ya?"
"Aku tidak mau membaginya."
"Ehh, kenapa?"
"Karena Zia hanya milikku."
Vezia mencerna perkataan Rio, sedikit bingung dengan maksudnya sampai dia menangkap makna sesungguhnya. Dengan wajah yang hampir memerah sepenuhnya, Vezia memberanikan diri bertanya.
"Jadi ... maksudnya aku bahan utamanya?"
Riou menyeringai, memicu nyalanya alarm bahaya dalam diri Vezia.
"You said you'll do anything for it, right? What if we try it after this?"
Sip, berbahaya.
Vezia segera berdiri, mau melarikan diri dari Rio namun kalah cepat dengan tangannya yang ditangkap oleh Riou. Lelaki itu mengangkat dan menggendong Vezia di pelukannya.
"Also, I'll tell you my wish—it's about us who will spend our time together for the entire night without nothing intrude."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top