ii. surat

   "Vezia-san!"

   Vezia menengok, dilihatnya salah seorang pelayan cafe tempatnya bekerja berlari terburu-buru ke arahnya.

   "Ya, ada apa?"

   Gadis itu menyapa sang pelayan dengan sebuah pertanyaan, menanyakan ada apa gerangan dirinya berlari demi mencapai sang gadis. Apakah karena suatu hal penting atau urusan lainnya?

   "Ini."

   Pelayan tersebut menyodorkan sebuah surat beramplop biru dengan cap tsuru berwarna hitam.

   "Seseorang memintaku menyampaikan ini padamu, dia meminta identitasnya dirahasiakan darimu."

   Vezia menerima surat tersebut, memandanginya selama sesaat dengan tatapan curiga.

   Lagi? Sudah yang keberapa kalinya ini?

   "Oke, terima kasih, Eri."

   Mengulas senyum tipis, Vezia memasukkan amplop tak bernama tersebut ke dalam tas yang menggantung di bahunya, kemudian melanjutkan langkahnya.

   Selalu saja begini.

   Akhir-akhir ini memang ada sebuah surat yang dikirimkan kepadanya setiap kali Vezia selesai mengisi kesunyian cafe dengan gema suara miliknya. Setiap kali dirinya mengemasi barang dan bersiap pulang, salah satu pelayan akan menghampiri dan memberinya surat berbeda-beda warna.

   Vezia tahu surat-surat itu dikirim dari orang yang sama karena meski sang penulis tidak menorehkan identitasnya pada kertas, dia bisa menandai sosoknya melalui stempel bangau kertas yang digunakan sebagai perekat. Dia heran, kok masih saja ada orang yang menggunakan stampel di zaman sekarang?

   Tidak aneh kalau dirinya mendapatkan penggemar. Ini bukan yang pertama Vezia pulang membawa surat anonim, namun rasanya yang ini bebeda. Vezia tidak bermaksud untuk berpikiran buruk, tapi nyatanya mendapatkan surat secara beruntun tanpa disertai identitas sang penulis cukup membuatnya bertanya-tanya. Apakah ini semacam teror atau hal lain yang mengancam karirnya? 

   Vezia menghela napas, memijit pelipisnya yang pening menanggapi masalah surat ini.

   "Kenapa?"

   Suara bass yang mengalun menyapa indera pendengaran Vezia yang tengah kalut. Sang gadis mendongak, temukan wajah sang suami yang memberinya raut datar, namun tersirat rasa khawatir di dalamnya.

   Vezia menggeleng lemah, "Tidak apa-apa, hanya masalah biasa--" kilahnya.

   "Jangan berbohong," tandas Rio memotong ucapan Vezia, "Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu, Zia."

   Vezia tertohok, sasuga seperti yang diharapkan dari suaminya sendiri.

   Rio menyerahkan helm kepada Vezia-yang menerima dan langsung memakainya. Dengan berpegangan pada bahu Rio, Vezia berancang-ancang naik ke atas motor yang dibawa sang lelaki.

   "Menyebalkan sekali sih, aku sama sekali enggak bisa bohong ke Io, ya." Vezia mengeluh saat dia sudah duduk di atas motor, mengambil napas dalam-dalam lalu tersenyum kecut.

   "Ceritakan saja."

   "Surat."

   Vezia mengawali ceritanya dengan sebuah kata, menyisakan Riou diam mendengarkan cerita lanjutan dari Vezia secara seksama. Mesin motor dihidupkan oleh Rio. Suaranya membelah kota Yokohama seiring pasangan muda tersebut menelusuri pelosok kota.

   Pemandangan kota Yokohama di malam hari terbilang cukup mempesona. Lampu-lampu jalanan menemani malam yang sunyi, sementara keramaian jalanan membuai para pengendara untuk menepi dan ikut membaur bersama.

   Tidak perlu waktu lama bagi keduanya untuk sampai di rumah mereka melalui seluk-beluk jalan yang sudah dikenal. Begitu Rio memarkirkan motornya, Vezia melepas pelukannya dan turun, lalu dia meregangkan otot-ototnya yang pegal. Perempuan itu akan berjalan mendahului untuk masuk ke dalam rumah jika pergelangan tangannya tidak diraih oleh Rio—membuat Vezia berputar menghadap ke arah sang lelaki.

   "Io?"
  
   "Tentang ceritamu tadi, panggil aku kalau kau merasa ada sesuatu yang tidak beres."

   Vezia melebarkan matanya, tidak menyangka kata-kata semanis itu akan dikatakan oleh suaminya.

   Lengkung lebar terbentuk di wajah, Vezia balik meraih tangan Rio, menariknya mendekat seraya berjinjit untuk mengecup singkat pipi Rio.

   "Tenang saja, aku pasti akan mengabarimu kalau ada apa-apa. Terima kasih sudah khawatir, Io~" ucapnya memberi tanda ok dengan tangan lainnya.

   Rio yang sekian lama mengenal Vezia tidak menunjukkan tanda-tanda terkejut akan tingkah spontan yang selalu dilakukannya, pria itu justru mengangguk singkat mendengar jawaban Vezia.

   "Eh, dingin nih, masuk yuk?"

   "Kau kedinginan? Mau kuhangatkan?"

   "Heh, jangan mulai ih!"

   "... Maksudku nanti akan kubuatkan cokelat panas, itu kalau kau mau," jelas Rio dengan nada datarnya.

    Rona merah menjalar di pipi sang wanita sebab hal lainlah yang terbayang dalam benaknya, " ... sial, kata-katamu itu memang berbahaya."

***

Edisi mengetik asupan demi mengosongkan sedikit ruang di otak untuk dijejali dua pelajaran hafalan lainnya :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top