Chapter 9 - Ikatan
Selama Ios belum sadar. Aku, Iras dan Hoshi diperintahkan untuk saling menjaga. Karena sekarang giliranku berjaga. Aku duduk terkantuk-kantuk di tepi ranjang.
Iras sedang pergi mengambil makanan kecil, sedangkan Hoshi bergantian membersihkan diri.
Aku tidak tahu cara membuat orang bisa segera siuman. Buku petunjuk yang kucari di kantor pengobatan lebih merujuk ke teknik pengobatan sihir dan aku sendiri belum ahli di bidang itu.
Nalu sempat berkunjung untuk memeriksa suhu tubuh Ios. Katanya Ios akan segera sadar. Namun, dia butuh asupan berupa obat untuk mempercepat penyembuhan.
Berkat bantuan Hoshi, dia tadi menitipkan beberapa buku referensi tentang pengobatan. Dia bilang cuma beberapa. Tetapi yang datang di ruang rawat Ios itu ada tiga tumpukan.
"Hey, gadis laut."
Aku berbalik. Iras datang dengan kedua tangan penuh kantung plastik berwarna hitam. Lalu menyodorkan satu padaku.
"Dia belum siuman?"
Aku menerima pemberiannya. Lalu menggeleng. Iras lalu berjalan ke dekat nakas yang masih kosong. Kemudian meletakkan kantong sisanya di sana.
"Aku punya cara untuk membangunkannya."
Seringai jahat terpatri di wajah Putra Ares.
"Jangan gila, Iras. Aku tidak ingin kena masalah," tegurku segera. Pria ini malah tersenyum mengejek padaku.
"Lihat saja." Dia berjalan mendekat ke arah sisi tempat tidur yang berlawanan denganku. "Kau akan mengucapkan terima kasih padaku."
Mulutku terbuka lebar. Mataku terbelalak tidak percaya. Bunyi tamparan keras terdengar sangat nyaring saat Iras menampar pipi Ios. Putra Ares ini, benar-benar kurang ajar menurutku.
"Iras!" geramku. Namun sekonyong-konyong, kelopak mata Ios terbuka. Awalnya tatapan matanya mengarah ke arah langit-langit. Lalu ia perlahan menyorot padaku dan Iras secara bergantian.
"Ugh." Suara rintihan terdengar.
"Istirahatlah. Lukamu belum sembuh," ujarku dengan nada serak. Mencoba sedikit mengalihkan perhatiannya.
"Kau yang menamparku?" Ios malah bertanya padaku.
"Buk---"
"Benar! Si Putri Poseidon yang melakukannya. Padahal aku sudah mencegahnya dari tadi. Ck, dasar gadis tidak tahu diri."
Mulutku terganga lebar. Karena merasa kesal. Aku melemparkan bungkusan plastik yang sebelumnya pada wajah Iras.
"Dasar bekicot! Kau yang melakukannya!" marahku. "Kenapa kau terus saja menggangguku?"
"Apa?" Iras malah balik menantangku.
Sikapnya seolah tidak takut apapun. Lalu aku tersadar, dia sepertinya takut dengan laut. Buktinya saja, tadi dia enggan mendekat ke tepian buritan untuk melihat para duyung. Jika pun dia berani, dia pasti sudah mengejek para duyung itu.
"Aku berharap kau ....," Kalimatku tercekat. Aku tiba-tiba ingat perkataan Hoshi untuk tidak mengklaim apapun. Apalagi menyumpah seseorang.
Kucoba menarik napas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya secara perlahan.
"Kalau kau percaya pada Iras. Kau akan masuk neraka," jelasku pada Ios. Pria itu malah menyergit menatapku.
"Dan jika aku percaya padamu. Apa aku akan masuk nirwana?"
"Tidak!" sanggahku cepat.
"Lalu apa?"
"Kau sudah cukup sehat, 'kan? Kalau begitu aku balik duluan ke kamar. Bye!"
Tanpa mempedulikan respon mereka berdua. Aku memilih pergi secepat mungkin dari ruangan tersebut. Di lorong, aku malah bertemu Hoshi.
"Ada apa? Wajahmu terlihat kesal. Apa Iras menjahilimu lagi?"
"Kenapa dia selalu menggangguku?" tanyaku balik pada Hoshi.
"Emm ....," Hoshi nampak berpikir sejenak. "Mungkin dia kurang kasih sayang. Makanya dia menggangu orang lain untuk mendapatkan perhatian."
Aku termanggu beberapa saat.
"Dia sudah sadar. Aku balik duluan."
Lalu kembali melanjutkan langkah. Aku sudah tidak ingin berlama-lama di ruang pengobatan.
.
.
.
Hari Kamis, berdasarkan jadwal pelajaran yang kudapatkan di ruang belajar. Kelas pertama adalah Runne Kuno. Lalu sisanya di isi dengan kegiatan Ekstrakurikuler.
Sejak Kapten Maru memulangkan banyak anak demigod. Aku menjadi jarang bertemu orang lain. Kapal ini mendadak sepi, bahkan saat kami pergi sarapan bersama.
Suasana hatiku pun buruk, begitu melihat Iras muncul di pintu masuk. Buru-buru, aku membuang wajah ke tempat lain. Tetapi, tahu-tahu sebuah nampan misterius malah hadir di sisi kananku.
"Kau?" seruku takjub. "Kenapa kau duduk di sini?" tanyaku sarkas pada Ios.
Pagi ini, dia kelihatan jauh lebih baik. Hanya saja, warna kulit putihnya agak sedikit memucat.
"Kita berdua perlu melurusi sesuatu." Ios berkata tanpa berpaling padaku.
"Tentang apa?"
"Hubungan kita."
Kini, dia berbalik menatapku dalam. Sorot ink nya begitu menyorot netraku. Seakan-akan dia bisa menyelam ke dalam manik ocean milikku.
"A-- Apa?" ucapku tergagap.
"Kau mengklaim diriku. Aku ingin kau bertanggung jawab soal itu."
Jantungku mendadak memompa begitu cepat. Jari-jemariku terasa dingin. Napasku bahkan terdengar memburu.
"A-- Aku harus apa?"
Ios tampak gemas melihat tingkahku. Kutelan saliva dengan perasaan berdebar-debar.
"Kita menjalin hubungan. Kau dan aku. Hubungan ini tidak bisa putus begitu saja. Kecuali kau yang mengucap telah sampai di nirwana. Dan harusnya kau tahu. Aku tidak bisa membunuhmu. Itu akan menbuat para Dewa berperang."
Kepalaku mendadak pusing. Rasanya seperti baru dihantam batu keras. Belum selesai rasa kepanikannku. Iras si menyebalkan ini malah duduk di sisi kiriku yang kosong.
"Apa aku menggangu kencan kalian berdua?" Dia bertanya dengan senyum yang ingin membuatku menamparnya.
"Kalau iya. Lanjutkan saja."
Aku kembali menarik napas. Lalu menghembuskannya secara perlahan.
"Pakai ini."
Tanpa permisi. Aku menoleh panik ke samping kanan. Saat Ios malah memakaikan jari manisku sebuah cincin dengan batu ouval berwarna hitam.
"Apa-apaan ini?" Aku mencoba melepaskannya. "Kau melamarku?"
"Tanda ikatan kita berdua. Detik ini. Kau dan aku akan jadi sasaran beberapa makhluk."
Aku memasang wajah tidak mengerti.
"Apa yang coba kau bicarakan padaku Ios?"
"Poseidon dan Hades telah mengetahui hal ini. Ayahku mungkin akan mengincar dirimu untuk dibunuh."
"Lalu kenapa kau mencoba melindungiku?"
"Aku ... aku ....,"
"Aku apa?"
"Dia juga menyukaimu." Iras bercelutuk dengan santai. Aku menoleh dengan mata melotot padanya.
"Bagi keturunan Hades, dicintai kaum atas adalah hal yang mereka inginkan. Itu membuat bangsa mereka bisa naik ke atas permukaan. Salahmu sendiri mengklaim Ios. Kenapa kau tidak mengklaim diriku saja?" Dia menaikkan alis matanya. "Bagaimana?"
"Tunggu."
Aku memijat pelipisku. Rasanya rencana awal ku pergi ke sekolah bukan untuk ini. Tetapi mengapa kesialan terus saja menerjangku.
_/__/__///___
Tbc
Aku merasa ada yang kurang. Tapi sekeras apapun aku berpikir. Aku malah merasa pusing dan stres sendiri. Jadi, biarkan saja dan masalah perbaikan. Lebih baik di urus di akhir.
Karena kalau terus memikirkan. Kurang, kurang, dan kurang. Aku sendiri yang bisa gila.
Hmm, tolong semangatkan diriku. Jika kau menyukai cerita ini. Iras mungkin akan semakin senang. Karena masih hidup di sini untuk menggangu Kaia.
Oke, ayo semangat... Semangat...
Hmmm, oke semangat banyak-banyak
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top