Chapter 22 - Siren

Pino menghilang ke dalam lautan. Sementara itu, aku mendongak ke atas buritan. Tatapan Ios terus terarah padaku. Putra Hades itu, aku sangat menyesal telah mengklaim hubungan dengannya. Tetapi, hingga detik ini. Jujur, aku hanya menggapnya sebagai teman sekapal. Tidak lebih.

"Makan siang!" Hoshi berteriak lantang. Atensi langsung teralihkan pada sebuah keranjang rotan yang dibawa turun menggunakan tali tambang.

"Bagaimana? Apa kalian masih bertahan? Siang ini cukup panas loh."

Aku mendelik malas pada Iras. Cuaca telah cukup panas untuk membuat anak tiga dewa laut menjadi cumi kering. Ditambah ocehannya, membuat telingaku semakin terasa panas.

Ketika keranjang diturunkan. Ada tiga botol air mineral dan tiga kotak bekal. Saat Nalu mengeluarkan satu. Dia menyerahkannya padaku. Tetapi, ada sebuah pesan yang tertulis di atasnya.

Untuk milik Putra Hades.

Jelas, kalimat ini ditunjukkan padaku. Dia ... cukup perhatian. Aku merasa sedikit merona, lalu memberanikan diri menengok ke atas.

"Makanlah."

Iras yang berdiri di samping, memeragakan ucapan Ios dengan gerakan mencibir.

"Emm ... terima kasih."

Aku agak malu mengucapkannya. Kulirik Rigel dan Nalu. Masing-masing mendapatkan sekotak makan siang dengan isi yang sama.

Saat aku membuka milikku. Tangan Rigel malah mencomot sosis goreng berbentuk guritaku dengan sangat cepat.

Dia menguyah, lalu berbicara di sela-sela makannya.

"Bumbunya jelas berbeda. Untung saja kau mengklaim Putra Hades sebagai milikmu. Kau bisa makan enak setiap hari."

Aku memilih tidak berkomentar. Membalas perkataan Rigel akan membuat kami berdua adu mulut. Saat aku mendongak ke atas buritan. Tiga bayangan demigod telah menghilang. Mungkin saja, Kapten Maru memanggil mereka.

"Mereka pasti kerepotan," seruku dengan mulai mengambil sendok dan mulai menyuap.

Awan mulai bergerak menutupi matahari. Kami bertiga bernapas lega bersamaan. Tetapi, aku agak tidak nyaman pada bercak di telapak tanganku, kutukan itu terasa lengket dan berbau amis.

Kulihat Rigel dan Nalu tampak baik-baik saja dengan tanda di telapak tangan mereka. Kami makan dalam diam, tetapi aku menjadi khawatir melihat keduanya.

.
.
.

Waktu berjalan begitu cepat. Tahu-tahu saja matahari telah tenggelam. Iras tadi sore telah menurunkan lentera yang berisi cahaya kunang-kunang. Kami masih terombang-ambing di atas lautan.

Pino belum kembali sejak siang dan tidak ada lagi yang datang mengunjungi kami. Tidak ada yang ingin memulai pembicaraan. Aku sendiri mulai merasa cukup kelelahan. Rasa kantuk mulai menyerangku. Tetapi aku berusaha untuk tidak tertidur.

Aaa ... Aaa ...🎵
Dengarlah suaraku di bawah laut🎵
Tidurlah dengan tenang di dasar laut🎵
Tidur untuk selamanya🎵

Sekonyong-konyong punggungku menjadi tegang. Sebuah nyanyian terdengar indah tetapi menakutkan. Aku buru-buru menengok ke sekitar. Beberapa kepala wanita muncul dari dalam permukaan. Cahaya bulan sabit cukup menerangi beberapa wajah yang berada di sekitar sekoci.

Ursa Mayor memang tengah mengapung di lautan. Jangkar telah diturunkan sejak senja.

Mendadak, aku terkejut mendapati telapak tanganku yang bersih dari kutukan digenggam erat oleh Nalu. Wajahnya berubah pucat dan panik.

Aku mungkin salah, tetapi ... tujuanku tadi menakuti Rigel perkara Siren, bukan ... Nalu.

"Siren!" Rigel mendesis waspada.

Hidup pelaut begitu gelisah🎵
Ikutlah denganku, tidurlah dengan tenang🎵
Dengarkan nyanyian Siren ini🎵
Jangan khawatir, tak ada yang salah🎵

Rigel bersikap waspada. Aku ramal, ia mungkin akan mengeluarkan sihirnya. Tetapi itu tidak mungkin, hal tersebut akan mempercepat proses kutukan menjadi kerangka tengkorak Kapten Decken.

"Pergi dari sini!" Rigel berusaha mengusir.

Nyanyian-nyanyian maut itu kembali di senandungkan. Mendadak, dari atas muncul seberkas cahaya yang sangat terang menyorot kami. Beberapa Siren memilih menenggelamkan kepala mereka ke dalam laut.

"Siren," desis Kapten Maru. Tatapan matanya memincing tajam. Di sampingnya berdiri kru-kru kapal yang lain. Kulihat wajah Iras dan Hoshi tampak berbinar-binar. Tidak, justru semua lelaki di atas sana tampak sangat antusias.

"Siapa yang mengundang Siren?"

Aku rasa, Kapten Maru sedang bertanya pada kita. Kuputuskan untuk tetap diam. Tetapi Kakak Lautku si Rigel malah menunjuk ke arahku.

"Dia."

"Hey!"

"Kau tadi siang berbicara soal Siren!" Nada bicaranya terdengar bergetar.

"Aku ... aku ingin ... tentang kutukan," seruku tergagap. Jantungku berdebar-debar tidak karuan. Apakah aku telah berbuat salah. Tetapi sebelum aku memikirkan yang lain. Sekoci kami terbalik ke dalam laut secara mendadak.

Tidak ada waktu untuk berteriak. Tetapi aku cukup tersentak dengan ini. Pemandangan di bawah air jauh lebih mengerikan dari yang kuduga. Tetapi sebelum aku menjabarkan apa yang kulihat.

Aku merasakan bahwa, tanpa gelembung balon yang menyelimuti kepalaku, aku dapat bernapas. Ditambah lagi, aku bisa melihat sangat jelas di dalam air.

Ya ... ini seperti sisik-sisik para Siren yang terlihat biru pucat agak gelap. Ekor dan sirip mereka menari-nari dalam air. Sungguh ... itu terlihat sangat indah.

"Kaia!"

Aku tersentak, lalu menoleh ke arah belakang.

"Nalu!"

Seorang Siren membawa lari Nalu dan secara bersamaan. Semua Siren ikut mengejar teman mereka yang membawa Nalu.

Tidak! Seharusnya bukan Nalu.

_///_/___/_/____
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top