Chapter 18 - Kutukan

Kepalaku terasa pusing, sesak di dada semakin menguat. Hanya butuh beberapa detik sebelum aku menemui ajal. 

Pandangan mataku yang buram, mulai menangkap sosok yang berenang mendekat. Di detik di mana kupikir semuanya akan berakhir, sebuah gelembung baru memerangkap kepalaku bagai sebuah helm. Aku menarik napas dan menghirup oksigen dengan rakus. Lalu terbelalak mendapati wajah setengah tengkorak sedang menertawaiku dari jarak super dekat.

"Tidak!!!"

Aku mendorong tubuhku menjauh. Namun sesuatu menahan pergerakkanku. Aku kembali menjerit saat mendapati tulang-tulang jari mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat.

"Kau Putri Poseidon, ya?"

Aku tidak akan menjawab pertanyaanya. Lebih baik menghindar sesegera mungkin.

"Menarik, tidak kusangka Poseidon memiliki anak semanis dirimu."

Demi darah leluhur! Aku tidak sudi saat tulang jari buruk rupa itu menyentuh kulit pipiku.

"Kenapa? Kau merasa jijik?"

Kali ini, dia malah meraih rahang wajahku dan mencengkramnnya erat.

"Kalian ini cari mati melewati wilayahku. Mari kita lihat, apa yang bisa Poseidon lakukan jika putrinya. Kuberi kutukan---"

Tanganku yang bebas mendadak menampar pipi yang menampilkan tulang rahang. Aku mengiris, karena tersadar bahwa yang kutampar bukan wajah yang memiliki daging dan otot.

"Kaia!"

Sontak, aku menoleh pada sumber suara. Nalu tengah berenang menghampiriku. Cengkraman si manusia aneh terlepas dari wajahku. Sekonyong-konyong ia meniupkan sesuatu dalam buih lautan.

"Sekarang!"

Bersamaan dengan teriakan Nalu. Seseorang menarik mundur kerah bajuku. Si tengkorak yang sadar, bahwa dirinya sedang di permainkan menggeram kesal.

"Dasar bocah sialan! Kalian pikir bisa menipuku!"

Laut di sekeliling kami mendadak berwarna kehijauan, gelembung aneh yang tadi melindungi kepalaku pecah. Baik diriku, Nalu dan si Kakak Lautku yang menyebalkan sekonyong-konyong merasa kalau leher kami dicekik oleh tangan tak kasat mata.

"Anak-anak seperti kalian akan menanggung ini."

Dia kembali melayangkan tangannya ke dua sisi dengan cahaya kehijauan yang berpendar keluar dari telapak tangannya.

Kemudian, tiba-tiba saja, aku merasakan sensasi aneh menggelayar di telapak tanganku. Rasanya panas dengan rasa nyeri yang membuat diriku ingin menggaruk-garuknya.

"Oh, sial!" Kudengar Rigel menggerutu. "Akan kubalas kau Kapten Brengsek!"

Tahu-tahu saja, sesuatu seperti tornado berputar di dalam air lalu menerjang dada si tengkorak. Aku tersadar, jika pria tengkorak itu memakai topi tricone di kepalanya.

Aneh, jika aku baru sadar sekarang. Sejak tadi, aku terlalu fokus menatap wajahnya. Dialah, sosok yang dikenal sebagai The Flying Dutchman Si Kapten Decken.

Pria itu terdorong beberapa radius dalam kami. Aku menggeliat pada sesuatu yang tidak diketahui pada leherku. Perubahan warna air laut, sepertinya berperan penting dalam rasa sakit yang menyerang kami.

Kulihat Rigel membuat gelembung aneh untuk dirinya. Lalu membuatkan gelembung baru bagiku agar dapat bernapas.

"Cepat berenang ke atas!" Si Kakak Laut memerintah.

"Tetapi aku tidak tahu caranya berenang?"

"Jangan bercanda! Cepat naik!"

Sekonyong-konyong, Rigel mendorong tubuhku naik. Bingung dengan cara berenang yang benar. Aku justru membayangkan sesekor katak yang sedang berenang dalam kolam.

Ya, bayangkan saja diriku adalah katak. Lalu aku memang benar-benar membayangkan diriku menjadi katak ... katak ... dan katak. Itu cukup berhasil, saat aku menengok ke bawah Nalu dan Rigel saling melemparkan serangan yang terlihat seperti tornado air.

Di detik di mana fokus Kapten Decken teralihkan. Keduanya pun buru-buru berenang naik ke permukaan.

"Jadilah katak ... jadilah katak," lirihku secara berulang. Permukaan hampir tercapai aku tidak bisa membayangkan bahwa membayangkan diri sendiri adalah seekor katak bisa menyelamatkanku. Namun....

"Apa yang kau lakukan?" Rigel menantapku sengit, dia tahu-tahu sudah berenang di sampingku. Lalu tanpa aba-aba dia menarik kerah bajuku sambil terus berenang ke atas. Umpatan kesal Kapten Decken terdengar menggema di bawah kaki.

"Jangan dilihat!" Keinginanku untuk menoleh dihentikan oleh Nalu.

"Kami sedang memerangkapnya. Tetapi efek tersebut tidak bertahan lama. Kita harus segera naik. Kita bertiga kena kutukan."

"A- Apa?!"

.
.
.

Begitu kepala kami bertiga menyembul dari dalam air. Hanya Ursa Mayor yang terlihat. Tidak ada kapal asing, bahkan awak-awak tengkorak yang tadi sibuk menyerang. Penampakannya telah lenyap.

Wajah-wajah penuh kecemasan tertangkap di pelupuk mataku. Ios, pria yang netra matanya tidak bisa kuabaikan terlihat cemas menatapku dari pagar kapal.

"Aku akan menolong kalian." Dia berteriak.

"Tidak!" Rigel segera membantah. "Kami bertiga tidak bisa naik."

Mata cokelat Kapten Maru memincing tajam. Pria itu sepertinya bisa menebak apa yang terjadi.

"Ada apa Rigel?" Sang Kapten akhirnya buka suara.

Rigel dengan satu tangan masih meraih kerah belakang bajuku tampak tertunduk sekilas. Dia seperti mengumpulkan sebuah kekuatan besar sebelum berucap.

"Kami bertiga ... dikutuk The Flying Dutchman."

Aku tersentak, tetapi tidak mengerti.

"Tetap di sana." Kapten Maru lalu melangkah pergi meninggalkan pagar kapal. Begitu saja?

Semua awak yang tersisa saling berbisik-bisik dalam kecemasan. Kulihat raut wajah Ios semakin terlihat cemas, gusar dan aku tidak bisa menebaknya lagi.

"Putri Poisedon tidak bisa berenang?" Rigel tahu-tahu berkomentar.

"Aku kan tadi sudah bilang," sahutku sebal.

"Dan apa kau tadi sedang menjadi seekor katak?"

"Ya!"

"Pfftt!"

"Apa yang kau tertawakan?"

Aku sedang tidak dalam suasana hati yang bagus. Ini pertama kali aku menyentuh laut dan hampir tenggelam bersama tengkorak hidup.

"Kaia!" Suara Ios yang memanggil, mengalihkan atensiku.

"Apa kau baik-baik saja?"

Aku mengganguk

"Dia terlihat sangat payah. Diculik kru The Flying Dutcman dan sekarang kena kutukannya. Ahahahah."

Sepertinya, hobi Iras adalah melihat orang lain susah.

"Aku minta maaf." Hoshi malah ikut berkomentar. Aku bingung mengapa dia harus minta maaf padaku.

"Maafkan aku. Aku tidak bisa membantu. Tetapi yakin, buku-buku di perpustakaan akan membantu," serunya lagi.

"Bodoh! Buku-buku itu tidak terlalu banyak membantu." Iros kembali menyela.

"Semuanya bubar!" Kapten Maru datang lagi. "Thalia! Siapkan sekoci untuk mereka di belakang buritan. Jangan biarkan ketiganya mendekati Ursa Mayor!"

Thalia mengganguk takzim. Lalu segera pergi setelah menerima perintah. Iras dan yang lain ikut bubar, tetapi tidak dengan Hoshi dan Ios.

"Apa yang kalian berdua tunggu?" Kapten Maru menanyai mereka.

"Kapten, apa penyelidikan tentang---"

"Tidak!" Kalimat Hoshi langsung dipotong Kapten Maru. "Rencana tetap berjalan. Kau sekarang menjadi ahli kemudi menggantikan Nalu dan kau Putra Hades!" Dia menunjuk Ios.

"Kembali ke tempatmu. Ini perintah!"

Putra Hades itu hanya terdiam, lalu melangkah pergi. Sedangkan Hoshi, mulutnya terbuka kemudian tertutup. Terlihat ingin membicarakan sesuatu. Tetapi tidak ada satupun kata yang terucap. Pada akhirnya, dia juga pergi. Menyisakan Kapten Maru yang menatap kami.

"Berapa lama kalian dapat bertahan?"

"Paling lama tiga hari sebelun kami berubah menjadi seperti awak The Flying Dutchman."

"Ap- apa?!" Aku tidak percaya dengan hal yang baru saja diungkapkan Rigel.

"Kita tidak bisa naik ke atas kapal, Kaia." Nalu ikut nimbrung. Aku menoleh menatapnya.

"Kutukan akan menyebar, jika kita berdiri di atas kapal. Satu-satunya cara agar selamat adalah menginjak daratan."

"Kalau begitu, ayo cari daratan--- Auw!"

Aku berdengus kasar pada Rigel yang baru saja menyentil keningku.

"Tidak ada daratan di Laut Atlas, anak bodoh! Satu-satunya cara menghilangkan kutukan adalah membunuh sang pemberi."

__/_/_/____

Tbc

Terlalu panjang, dan aku rasa... Ini terlalu bertele-teleಥ⌣ಥ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top