Chapter 17- Tenggelam
Dingin, tentu saja. Air laut akan terasa dingin jika di malam hari. Seseorang bisa saja terkena hiportemia.
Peristiwa di masa lalu seolah berputar dan menampilkan tiap cuplikan dalam kepalaku. Aku melihat wajah ayah yang sedang mengajariku saat belajar, mengajakku berjalan-jalan di kota. Lalu memarahiku karena selalu bertanya tentang sosok ibu kandungku.
Kemudian aku melihat Roro sepupu jauhku. Bersamanya, dia mengajakku ke tempat-tempat yang tidak pernah ada di buku-buku perpustakaan.
Lalu kejadian mulai berpindah saat ayah mengusulkanku masuk sekolah di Pasific. Semua kejadian di Ursa Mayor silih berganti hingga kejadian di mana aku ingin menceburkan diri ke dalam laut.
Ios pernah berkata, bahwa ia memegang kunci kematian. Sekarang, apakah itu benar. Orang bilang, terkadang kematian terasa menyakitkan. Tetapi aku malah merasakan seperti sedang bermimpi.
Bisa saja aku berada dalam dunia bawah. Jika itu benar, bukankah aku akan bertemu ayah Ios yang seorang penguasa dunia bawah? Memikirkan Dewa Hades, membuat bulu kudukku meremang.
Tengkorak dan kematian, itu adalah hal paling menakutkan. Dan bayangan si penguasa dunia bawah yang mungkin saja jauh lebih menakutkan dari para tengkorak di atas kapal, memaksaku untuk segera membuka mata.
Napasku terengah-engah. Aku tersadar bahwa aku masih hidup. Tetapi aku juga merasa panik. Tubuhku masih mengambang di tengah-tengah kedalaman lautan.
Hanya saja, kini tubuhku di selimuti oleh sebuah gelembung raksasa.
"Halo? Ayah? Kau kah itu?"
Tidak ada sahutan. Jelas, karena suaraku hanya terdengar oleh diriku sendiri. Tetapi, bagaimana gelembung ini bisa tercipta. Tidak ada satu pun hewan laut yang tertangkap pelupuk mataku.
Perlahan, aku bergerak menepi untuk menghancurkan dinding gelembung. Satu-satunya bahwa aku bisa ke atas air adalah dengan berenang. Namun berada dalam gelembung membuatku seperti terpenjara.
Usahaku sia-sia. Gelembung aneh ini tidak bisa hancur sama sekali. Digerakkan pun tidak bisa. Aku harus memutar otak untuk mencari cara. Satu-satunya hal yang tertangkap di lemari penyimpanan otakku adalah pelajaran nyanyian Siren.
Ayah pernah menyinggung soal ini. Namun, nyanyian hanya bisa berhasil jika makhluk tersebut telah memiliki kontrak sihir dengan mereka. Bodoh, kalau kau ingin meminta Siren menolongmu.
Ide lain yang kudapatkan adalah memanggil lumba-lumba. Tetapi jangankan memanggil atau menyanyi. Suaraku bahkan tidak akan terdengar.
Aku semakin khawatir dengan kondisi Ursa Mayor dan awak kapal di atas laut Atlas. Beruntung tengkorak aneh yang tadi menangkapku tidak ikut menyelam atau mungkin menyusul.
Lulana....
Lulana....
Aku tersentak, sebuah suara misterius terdengar memanggil dalam kegelapan lautan. Suara itu mendayu dengan lembut.
Lulana...
Gelembung yang awalnya memerangkap diriku mendadak pecah. Dinginnya laut Altas, sekonyong-konyong membuat tubuhku menggigil. Ayah tidak pernah mengajariku berenang.
Tubuhku kaku dan otot lengan dan kakiku mati rasa. Aku menahan napas, harus dalam semenit aku sudah berenang ke permukaan. Tetapi sekuat apapun mencoba. Rasanya permukaan semakin menjauh.
Lulana...
Suara itu lagi. Mendengarnya saja sudah ingin membuatku lari. Tetapi di dalam air kau tidak dapat berlari. Yang bisa kulakukan hanya berenang.
Dadaku mulai terasa sesak. Aku tidak bisa menahan lebih lama lagi. Ayah, apakah aku akan mati? Apakah aku bisa meminta tolong padamu?
Dan kini ... semuanya terasa gelap.
.
.
.
Tanpa Kaia sadari. Sebuah tanda berbentuk bulatan di keningnya bercahaya kebiruan. Ios yang sedari tadi ingin melompat menyusul Kaia, urung saat melihat seluruh air di bawah kapal bercahaya terang.
Sontak kesempatan itu, ia manfaatkan untuk memukul mundur semua kru the Flying Dutcman. Tali-temali yang sebelumnya dipakai para perompak itu telah terputus habis saat Hoshi dan Rigel berayun untuk memutuskan tali-temali tersebut.
Kedua awak kapal tersebut menatap nanar ke bawah laut.
"Sesuatu telah terjadi," seru Ios.
Namun dirinya yang hendak melompat dari pagar kapal di tahan oleh Rigel.
"Jangan gegabah."
"Kaia jatuh ke sana!" bentak Ios
"Aku tahu. Kau tidak mungkin melompat ke dalam sana. Putra Hades ditolak oleh penguasa lautan."
"Dan di Atlas tidak ada satupun makhluk yang memiliki kuasa."
Cengkraman Rigel pada bahu Ios semakin menguat. Quartermaster itu tidak akan membiarkan seorang pun melompat menyusul Kaia.
Mereka masih memiliki musuh dan Rigel tentu saja membutuhkan Ios untuk menghadapi mereka.
"Sebaiknya kau putar haluan saja Kapten. Kapal akademimu tidak cocok berada di Atlas. Tampaknya kau ingin membuang waktu saja."
Kapten Decken menyerigai menatap Kapten Maru. Keduaya terlihat bagai rival.
Kapten Decken jauh lebih menakutkan dari pada anak buatnya. Satu sisinya tampak hancur hingga menampilkan sisi tengkorak wajahnya. Sedangkan sisanya, masih menampilkan penampilan manusia.
"Lebih baik kau mengkhawartikan kru dan kutukanmu," cibir Kapten Maru dengan sikap waspada.
Kapten Decken berdecak kasar. Ia cukup tersinggung dengan ungkapan kutukan yang dilayangkan Kapten Maru. Lalu sedetik kemudian dia menyeringai. Tungkainya bergerak mundur.
Kilauan cahaya dari dasar laut masih terlihat dan tanpa diduga semua orang. Sang Kapten pun melompat turun ke dasar laut.
__/_/_/_____
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top