Chapter 15 - Kakak Laut
Bersyukur atau justru aku harus merasa senang?
Di dekat pagar pembatas buritan. Hoshi sedang bersusah payah memegang pergelangan tanganku. Entah bagaimana caranya dia bisa tahu aku di sini.
"Lepaskan!" seruku.
"Tidak! Apa yang kau lakukan?!"
"Kubilang lepaskan saja. Aku baik-baik saja."
Hoshi terlihat susah payah menahan bobotku. Wajahnya memerah dengan urat-urat yang mencuat dari lapisan epidermis kulitnya. Cepat atau lambat, pegangan kami akan terlepas.
Bagian ketiakku mulai terasa nyeri. Rasanya urat dan otot-ototku ditarik-tarik secara bersamaan.
"Lepas---"
Pegangan kami benar-benar terlepas. Aku tersenyum lebar saat mendekati air laut. Bau asinnya menyeruak ke dalam hidungku. Tetapi, sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi.
Ada sesuatu yang tak kasat mata melingkar dipinggulku dalam kabut. Jarak air laut yang awalnya terlihat dekat, malah semakin menjauh.
"Tidak!" Aku berteriak nyaring. Tubuhku sekonyong-konyong malah kini sudah melewati pagar pembatas buritan dan aku bisa berdiri tegak di atasnya.
Mata sappire Rigel menyorotku tajam. Wajahnya merah padam, seolah-olah dia baru saja terlihat menelan tungku api.
"Sudah bosan hidup?" ujarnya sarkas.
"Tidak!" jawabku sambil menggeleng.
"Lalu apa yang kau lakukan hingga terjatuh?"
"Aku melompat."
"Melompat dari buritan?"
Aku mengganguk takzim. Sorot mata sappire Rigel terlihat berkedut. Dia lalu berkacak pinggang padaku dan kusadari tangan kanannya malah menjewer telingaku.
"Auwww! Apa yang kau lakukan?" jeritku.
"Hukuman untuk seorang adik kecil."
Aku mengerang kesakitan, lalu Rigel malah menariku berjalan menjauhi buritan. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini. Rasanya seperti saja menjadi anak nakal.
Dadaku sesak dan mataku terasa perih. Aku menangis begitu tiba di geladak utama. Sekarang, matahari benar-benar terasa tenggelam di barat. Cahaya kunang-kunang mulai menerangi seisi geladak.
"Jangan bersikap bodoh!"
Aku mengacuhkan Rigel dan lebih memilih mengusap daun telingaku yang kurasa sudah memerah. Hoshi menatapku dengan miris.
"Berhenti menangis adik kecil."
Sekarang, aku benar-benar tidak ingin menatap Rigel.
"Masih untung aku sedang berpatroli dan menyaksikannya. Jika tidak, aku tidak tahu apa yang terjadi. Beruntung, Hoshi menemukanmu."
Mataku mendelik kasar pada Hoshi. Lalu beralih pada Rigel.
"Aku hanya ingin mengunjungi laut," bohongku.
"Kau berada di atasnya."
"Ya, aku tahu itu. Aku hanya ingin menyapa."
Alis Rigel malah bertaut. Dia terlihat menangkap sesuatu yang mencurigakan padaku. Lalu sedetik kemudian dia malah menoleh pada Hoshi.
"Bisa tinggalkan kami berdua?"
Hoshi menatapku sekilas. Lalu mengganguk takzim.
"Baiklah. Kaia, aku akan menunggumu di ruang makan. Sampai jumpa."
Aku tersenyum kecil dengan sebuah anggukan akan kepergian Hoshi. Lalu menghela napas berat.
"Jangan bilang kau ingin terjun ke laut demi tantangan Siren itu."
Seketika saja, aku menelan salivaku dengan terkejut. Benar dugaanku, Rigel telah mencurigaiku.
"Emm ... kurasa tidak," elakku dengan melempar pandangan ke arah lain.
"Malam ini kita akan memasuki wilayah laut Atlas. Akan banyak monster laut dan makluk kegelapan yang mendiami wilayah ini. Ayahmu, Ayahku dan Ayah Nalu tidak memiliki kuasa di sini. Hanya hukum laut yang ada di sini. Siapa yang kuat, dialah pemenangnya. Apa kau ingin membuat semua orang menjadi susah seperti tempo lalu?"
Sekonyong-konyong aku menggelengkan kepala. Aku tidak ingin membuat semua orang melompat ke dalam laut demi menyelamatkanku.
"Bagus jika kau sadar. Dari pada melakukan hal bodoh. Temukan bakat sihirmu."
"Aku tidak tahu, Rigel."
"Panggil aku Kakak Laut."
"Apa?"
"Kakak Laut, adik kecil. Apa jeweranku membuat telingamu tuli?"
Selain Iras, sekarang ada lagi yang sama menyebalkannya dengan dia.
"Nalu tidak pernah memintaku memanggilnya seperti itu," kilahku.
"Tentu saja. Aku dan dia berbeda. Di sini, aku yang memimpin selain Kapten Maru. Jadi jika kau ingin aman-aman saja. Panggi aku Kakak Laut, adik kecil."
Adik kecil, mungkin aku harus melakukan sesuatu dengan panggilan tersebut. Aku hanya bisa menggigit bibir bawah dengan usaha keras mencari solusi dalam kepalaku.
"Baiklah," lirihku dengan rasa malas.
"Coba ulangi. Aku tidak dengar."
"Baik, Kakak Laut!" semprotku dengan gusar. Rigel melipat kedua tangannya di depan dada. Lalu tersenyum puas padaku.
"Akan kujelaskan beberapa hal padamu. Agar kau mengerti."
Dalam hati, aku tidak mau mendengarkannya berbicara. Telingaku terasa panas.
"Putra Ares memiliki kekuatan mengendalikan api. " Sekonyong-konyong kalimat ini membuatku merasa tertarik.
"Aku dan Nalu sama-sama bisa mengendalikan air. Tetapi kemampuan Nalu lebih ke arah menjadi Demigod Astrologi. Dia memamahi ilmu perbintangan dan dapat menggunakan energi bintang dan planet. Singkatnya, dia adalah seseorang yang dapat mengendalikan cahaya."
"Dan kau Kakak Laut. Kekuatan apa yang kau miliki?"
Senyum di wajah Rigel terlihat mengembang.
"Aku?" serunya bangga. "Aku dapat mengendalikan cuaca. Kabut, es, hujan bahkan petir. Aku bisa."
"Jadi yang tadi menggulung di pinggangku ... kabut sihirmu?"
Rigel mengganguk takzim.
"Jika kau ingin mengetahui bakat sihirmu. Selepas makan malam temui Nalu di stren. Dia ada di sana."
Mendadak, aku langsung berbalik arah. Untuk apa menunggu selepas makan malam. Kalau bisa sekarang, kenapa tidak. Namun sekonyong-konyong, seseorang malah menahan lenganku.
"Lepaskan aku Rig--- Ios?" seruku takjub.
Sepasang ink hitam menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa kuartikan.
"Apa kau ingin bunuh diri tadi?"
"Ap- Apa?"
"Tidak akan kubiarkan kau melakukan itu Kaia. Akulah sang pemegang kunci kematian. Tidak ada yang bisa mengambil nyawamu tanpa seizinku, bahkan kau sendiri!"
Bibirku terkatup rapat. Rencana bodohku, semakin membuatku dalam masalah.
_/_/___
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top