TIGA
Rosa berhenti di sudut lorong ruang tunggu di salah satu poli rumah sakit itu. Nafasnya memburu karena sejak membayar dengan uang yang ia temukan di saku celananya kepada pengemudi motor ojek online yang ia tumpagi tadi, ia berlari dari gerbang rumah sakit hingga ke sini. Keringatnya juga nampak jelas mengalir di kulit tan-nya. Namun nafas dan keringatnya nampaknya terbayar sia-sia saat ia melihat Rahma dan Rolan tengah duduk di deretan kursi ruang tunggu rumah sakit itu. Rahma tak nampak pucat atau setipe dengan orang-orang sakit pada umumnya. Lebih dari itu, Rahma yang masih mengenakan pakaian yang digunakannya untuk berkunjung di studio Rosa beberapa saat yang lalu, bahkan terlihat tertawa saat Rolan terlihat mengatakan sesuatu padanya.
Brengsek!
Dengan langkah penuh amarah, Rosa berdiri di depan Rolan dan menampar pipi pria berjambang itu dengan keras.
"Ca!" teriak Rahma kaget.
"Brengsek lo! Mau lo apa sih ngibulin gue segala?"
Rahma segera berdiri dan memeluk putri sulungnya. Sedangkan Rolan masih terlihat bingung dengan apa yang baru ia alami barusan.
"Oca ini rumah sakit," geram Rahma seraya menolehkan kepalanya ke pengunjung rumah sakit yang tengah memperhatikan kelakukan Rosa.
Rosa menarik leher kaos Rolan. "Ngapain lo bilang Nyokap gue masuk rumah sakit?"
"Ini kan emang di rumah sakit," jawab Rolan.
"Rosaline!" Rahma melepas cengkeraman Rosa di kaos Rolan. "Mama yang nyuruh Olan kasih kamu kabar kalau Mama di sini."
"Tapi Mama sehat-sehat aja di sini." Nada tinggi Rosa bahkan tak menurun kala membalas perkataan Rahma.
"Memangnya kamu pengen Mama apa? Langsung koit?" Rahma tak percaya dengan pernyataan anaknya. "Mama ke sini untuk kontrol, Oca. Tadi Mama mau ngajak kamu, tapi kamu malah bikin Mama sakit hati duluan."
Giliran Rosa yang kini mulai nampak bingung. Di tatapnya pipi Rolan yang kini sedikit ternodai cat lukis dari tangannya. "Trus ngapain lo tanya gue dimana?"
"Mama lo yang minta," ketus Rolan.
Rahma turut menimpali. "Kalau kamu masih di studio, tolong beliin lauk buat makan malam nanti karena Mama nggak yakin kontrol ini bakal cepet."
Rosa menatap Rahma tak percaya. Ya ampun, ingin sekali rasanya Rosa menenggelamkan wajahnya di lantai rumah sakit ini.
"Kamu ini kebiasaan deh. Jangan keburu emosi kenapa sih, Ca?" Rahma mengusap segaris cat hijau di pipi anaknya. "Dijaga emosinya."
"Ibu Rahma Wulaningsih?"
Baik Rolan, Rosa dan Rahma menoleh ke arah sumber suara.
"Silahkan masuk, Bu. Sudah ditunggu dokter di dalam." Perawat berhijab itu menujuk pintu ruangan di sebelehnya.
"Iya sus, terimakasih." Rahma menoleh Rosa. "Kamu mau nemenin Mama? Kalau nggak biar Olan yang nemenin."
"Nggak usah aku aja."
Setelah Rahma berpamitan kepada Rolan, Rosa mengikuti langkah Ibunya itu untuk masuk ke dalam ruangan yang sudah ditunjuk.
.
.
Rosa hanya diam saat ia duduk sendirian di kursi penumpang di dalam mobil Hilux milik Rolan. Apa yang ia rasakan kali ini adalah perpaduan emosinya yang belum sepenuhnya reda, dan rasa malu yang semakin menjadi. Bagaimana tidak? Setelah menampar Rolan dengan kekuatan yang biasa membuat Benny sempoyongan ketika adik laki-lakinya itu tak menurut, kini ia malah menumpang di mobil Rolan dalam perjalanan pulang.
Ah... seandainya saja tadi ia tidak terlalu terburu-buru ke rumah sakit dan melupakan dompetnya, ia akan lebih memilih untuk memaksa Rahma naik taksi.
"Jadi cari makan, Ma?"
Mata Rosa melotot mengetahui panggilan Rolan kepada Mamanya.
"Jadi Lan. Kasian Benny kalau pulang malem, Vonny juga mana bisa nahan lapar anak itu. Tempat biasa ya?"
Mobil Rolan berhenti di salah satu depot tak jauh dari rumah Rahma. Rosa tahu masakan depot yang Rolan pilih sangat enak karena Rahma sering pula membeli lauk di sana jika ia sedang malas memasak.
"Kamu mau dibungkusin juga, Lan?" Rahma melepas seat bealt dan bersiap untuk turun.
"Yang biasa aja, Ma. Dua porsi ya?"
Rolan ikut turun, namun tak mengikuti Rahma karena pria itu terlihat sedang menelepon seseorang di samping pintu mobil.
Rosa menyandarkan punggungnya. Kepalanya terasa pening mengurai keanehan demi keanehan yang ia alami akhir-akhir ini. Dan semua keanehan ini bersumber dari pria bernama Rolan yang kini terlihat tertawa lepas dengan ponsel yang masih berada di telinganya.
Entahlah... bagaimana bisa Mamanya begitu dekat dengan Rolan hingga mengetahui kebiasaan masing-masing tanpa sedikitpun ia ketahui?
.
"Mau kemana kamu?"
Rosa yang baru saja memakai kemeja flenel hitam putihnya menoleh Rahma yang berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Ambil dompet. Ketinggalan di studio."
"Tapi udah malem ini, Ca."
"Yaelah Ma, kaya baru pertama ini aja Oca keluar malem."
Rahma menghela nafas, memandang cemas putri sulungnya. "Ajak Benny gih, jangan sendirian. Musim begal nih."
"Udah molor juga dia Ma. Tuh anak kan datang ke rumah cuma makan malam sama numpang tidur. Besoknya juga udah ilang habis sarapan."
"Kaya kamu nggak gitu aja." Rahma tau Rosa mendengar ucapannya walaupun putrinya tersebut sedang memunggunginya. "Kamu bahkan sampai sekarang masih kayak gitu."
Rosa tak menjawab, melainkan berjalan menghampiri Rahma dan mengecup pipinya. "Rosa berangkat, Ma."
"Caa..."
Kaki Rosa berhenti di ujung tangga.
"Hidup yang bener ya, Nak. Sakit hati dan membiarkannya menggerogoti seluruh hidup itu nggak enak, Ca. Jangan kayak Mama."
.
.
"Kamu harus bahagia, mau itu sekarang atau nanti."
Kalimat penutup Rahma sebelum Rosa meninggalkan perempuan itu di depan pintu kamarnya terngiang tanpa henti di telinga Rosa. Walaupun dentuman musik di belakangnya berbunyi seolah ingin menyumpal telinga hingga saraf otaknya, suara Rahma jauh terdengar lebih jelas bagi Rosa.
Dan terasa memukul telak ulu hatinya.
"Nggak turun lo?"
Rosa menoleh, mengamati Meryta yang mulai menguncir rendah rambutnya. Peluh nampak jelas membasahi leher hingga dadanya yang terbuka.
"Bete dia. Nyokapnya minta aneh-aneh," sahut Refina yang duduk di samping Rosa yang lain. Kini Rosa diapit oleh kedua sahabatnya.
"Emang minta apa?" tanya Meryta.
"Tauk. Belum cerita dia."
Rosa menenggak sisa vodkanya dalam sekali tenggak. Lalu menoleh Meryta. "Cindy gimana kabarnya?"
Mata Meryta melebar. "OMG Caaaa... lo kok masih nanyain dia sih? Udah bahagia dia sama suaminya."
"Move on, Ca..." timpal Refina. "Tadi Sharon bawa temen. Lugu gitu anaknya. Lucu, lo coba deh."
Rosa menoleh Refina enggan. "Gue males ngemong anak baru."
"Tapi keliatannya dia ada bibit belok sih."
Tak ada jawaban dari Rosa. Ia lebih memilih untuk memperhatikan bartender di depannya dengan pikiran yang mencabang kemana-mana.
Cindy, gadis pendiam dan pasrah yang perlahan berhasil ia rubah menjadi gadis pemberontak yang berani mengutarakan apa yang dia rasa.
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu saat Rosa mengenal Cindy sejak di bangku SMA. Keluguan Cindy pada saat itu serta ketidakberdayaannya, perlahan memunculkan sikap heroik Rosa yang tak Rosa sangka berkembang menjadi sebuah rasa posesif yang tentunya terasa sangat berbeda.
Setahun merasakannya, Rosa sadar ia tak ingin kehilangan Cindy mulai dari sana. Perasaan itu berkembang semakin tak dapat dijabarkan dengan logika. Menjelang akhir masa kelulusan SMA, Rosa dengan berani mengutarakan apa yang ia rasa.
Cindy ternyata menyambutnya. Walau tanpa ada kesepakatan ikatan, perempuan itu memilih untuk tetap berada di dekat Rosa. Menentang arus, mereka berdua memilih untuk merapatkan genggaman melewati segala kemungkinan cacian manusia dan pandangan miring terhadap mereka.
"Lo kok susah banget move on dari Cindy sih, Ca?"
"Lima tahun kita, Mer."
"Tapi kan kalian udah pisah tiga tahun yang lalu."
Rosa kembali diam dan kini memilih mengamati gelasnya.
Ya, ia dan Cindy memang tak lagi bersama sejak lama. Sejak Cindy mengutarakan kejujuran bahwa perempuan itu merasakan sebuah kepercayaan yang lebih besar dari rasa percayanya dengan Rosa.
Dan itu, pada seorang pria.
Rosa melepasnya. Sebesar apapun keinginannya untuk tetap bersam Cindy, ia harus logis bahwa jalan yang benar bagi Cindy adalah hidup dengan pria itu, membangun sebuah keluarga, dan saling percaya hingga mereka tua.
Bukan dengan dirinya. Bukan hidup bersama dengan Rosa seraya terus memimpikan angan yang Rosa tahu bahwa, mustahil ia dapat mewujudkannya.
.
.
Rosa menghentikan langkahnya saat ia menangkap pintu kamar Rahma sedikit terbuka. Setelah menghampirinya, dapat Rosa lihat Rahma tengah duduk di pinggiran ranjang seraya memijat-mijat pelipisnya. Kepala Rosa reflek menunduk untuk memperhatikan jarum terkecil di jam tangannya.
Pukul setengah empat pagi.
"Mama nggak tidur?"
Rahma mengangkat kepalanya, dan menunjukkan wajah lelahnya. "Kamu mampir ke diskotik ya?"
Rosa tak menjawab, melainkan duduk di sebelah Rahma dan memijat pundak perempuan tersebut.
"Mama nungguin kamu pulang tadi, sampai ketiduran di ruang tamu. Jam satu Mama naik, tapi jam tiga bangun lagi. Pusing."
"Ya nggak usah ditunggu. Tumben amat nunggu Oca pulang."
Rahma mendengus. "Kamu ini kok semakin sombong sih, Ca?"
Tangan Rosa terhenti. "Maksud Mama?"
"Kamu selalu merasa nggak butuh bantuan dan simpati orang lain. Selalu merasa bisa ngapa-ngapain sendiri."
"Karena emang Oca bisa, Ma."
"Nggak, Sayang. Nggak ada manusia yang seperti itu. Mama contohnya."
Selama beberapa saat Rosa diam. Ingatannya tadi siang saat menjelaskan penuturan dokter yang memeriksa Rahma terbayang di kepalanya.
"Ma?"
"Hm?"
"Kenapa Rolan lebih tau keadaan Mama daripada Oca?"
Perlahan Rahma menoleh.
"Apa Mama nggak ada kepercayaan sama anak Mama sendiri?"
"Olan... anak Mama juga, Ca."
"Secara harafiah, Ma! Bukan anggapan Mama!"
Rahma mengusap rambut Rosa dengan sayang. Temperamen Rosa sangat mirip dengan Ayah kandungnya, dan usapan di kepala lah yang sanggup meluluhkan sifat itu.
"Mama sayang kamu. Sayang Benny sama Vonny. Nggak bisa Mama terlalu banyak melibatkan kalian dalam hal ini."
"Lalu membiarkan orang asing yang mengambil alih?"
"Olan bukan orang asing, Ca. Mama kenal dia dari kecil. Mama orang pertama yang meluk dia saat Ibunya meninggal. Dan Mama-" Rahma mengambil nafas pendek saat merasa tenggorokkannya tercekat. "Mama yang janji akan selalu jaga Olan, karena dia tidak diinginkan oleh sipapun di keluarganya sendiri saat itu."
Rosa terdiam di tempatnya. Tidak tahu harus menanggapi seperti apa.
"Olan terbiasa kuat dari kecil, Ca. Itu yang buat Mama percaya dia bisa melindungi kamu, Benny dan Vonny." Tangan Rahma turun untuk menggenggam tangan putrinya. "Ketika Mama meminta kamu untuk menikah dengan Olan, itu tandanya Mama sudah nggak sanggup jaga kalian."
Bibir Rosa sedikit terbuka, namun hanya untuk mengambil nafas lewat bibirnya. Kemungkinan-kemungkinan mengerikan yang dokter ucapkan saat memeriksa Rahma tadi kembali berputar di kepala Rosa hingga membuatnya bingung untuk mendahulukan apa yang harus ia pikirkan terlebih dahulu.
"Kenapa..." Pada akhirnya Rosa kembali menemukan apa yang harus ia pertanyakan. "Kenapa dengan harus menikahi Oca, Ma?"
Kedua mata Rahma memerah. Genangan air dengan cepat tercipta di sana. Dengan gemetar, Rahma menangkup kedua sisi wajah Rosa dengan tangannya. "Sayaaaang... Mama tau Mama bukan wanita baik-baik. Tapi melihat kamu-" Perkataan Rahma terpotong karena isakannya. "Kamu yang- yang... Dengan sesama per-... Ma-Mama nggak sanggup, Naaaaaak."
Jantung Rosa terasa turun begitu saja dari dalam rongga dadanya. Apa maksud perkataaan Rahma?
"Ma? Maksudnya apa?"
Rahma menarik bahu Rosa dan menangis sekencang mungkin yang ia bisa. "Maafkan Mama, Naaaaaak... Maaf."
Jika tadi Rosa merasa jantungnya luruh, kini ia merasa semua organ tubuhnya anjlok seketika. Rosa terdiam, tubuhnya mendadak lemas berada di pelukan Rahma. Sebrutal-brutalnya ia, mengetahui Rahma yang tahu orientasi seksualnya adalah hal terakhir yang ia hindari di dunia ini sebelum ia mati.
"Mama nggak pernah maksa apapun dari kamu, Ca. Tapi Mama mohon, maafkan Mama yang sudah nggak becus mendidik kamu."
.
.
.
Bukan. Bukan Rahma yang harus meminta maaf di sini.
Rosa lah penyebab semuanya. Rosa lah yang menentang semuanya.
Dalam kusutnya pikiran Rosa, perempuan itu membalas pelukan Rahma dan membisik.
.
"Ma... Oca mau nikah sama Rolan."
.
.
Dan perkataan itu, tanpa Rosa pikir panjang lagi, telah mengantarkan kehidupannya pada gerbang yang baru yang tentutnya akan merubah seluruh hidupnya.
Cepat atau lambat.
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Sometimes saya merasa tulisan saya mbingungisasi....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top