DUA

Satu setengah bulan yang lalu...

Entah sudah berapa batang yang Rosa habiskan. Namun yang jelas, asbak di depannya yang semula kosong, kini bahkan tak ada tempat untuknya untuk meletakkan satu putung lagi.

Ponsel Rosa bergetar tanpa suara. Dengan enggan Rosa meraih ponsel hitamnya.

"Di mana?"

"Kenapa?"

"Lo kebiasaan deh kalau ditanya malah tanya balik."

Rosa mematikan rokoknya dan membuang sisanya ke sembarang tempat karena ia tak tahu bagaimana menjejalkan putung rokok tersebut di asbak. "Ada apa sih?"

"Meryta ngajak cabut nih."

"Gue sibuk."

"Jangan bo'ong deh! Gue di depan kandang lo, dan di sini nggak terlihat adanya kehidupan."

Seorang pengemis perempuan yang berjalan di trotoar seberang jalan tempat Rosa duduk entah mengapa lebih menyita perhatiaannya.

"Oca!"

"Gue lagi males, Re."

"Taik lo! Kemarin lusa napa lo ninggal club gitu aja? Nggak pamit, nggak apa. Brengsek banget lo!"

Rosa menutup sambungan ponselnya sepihak. Mendengar temannya berceloteh sama sekali tak mampu mereda pening di kepalanya.

Tak lama, ponsel Rosa kembali bergetar kecil. Nama Refina terpampang di sana.

Refina S. : Sorry Ca... Gampar gue deh ntar kalau ketemu, gue ikhlas. Gue tunggu cerita lo.

Nah, inilah yang Rosa suka dari teman baiknya. Selalu paham dan tahu posisi tentang keadaannya.

"Nunggu lama?"

Kepala Rosa terangkat. Didapatinya pria yang ia ajak untuk bertemu sejak lebih dari dua jam tiba di tempat ini. "Dari jam dua gue udah di sini."

"Kita janjian jam berapa sih?"

Rosa mendengus kecil. "Santai aja, lo cuma telat sepuluh menit kok."

Pria tersebut menarik kursi di depan Rosa, dan duduk seraya menatap Rosa heran.

"Udah makan?" Tangan Rosa terulur untuk menggeser buku menu di atas meja.

"Udah. Ada apa lo minta gue kesini?"

Satu kesimpulan yang ditarik Rosa, pria di depannya tak suka berbasa-basi. "Sebelumnya makasih karena udah bawa Mama gue ke rumah sakit waktu itu. Tapi... lo ini siapa? Kenapa lo lebih tau penyakit Mama gue?"

"Karena Mama lo selalu minta anter gue tiap kali periksa, sebelum dinyatakan positif."

"Dan kenapa harus lo?"

Rolan tersenyum, menampilkan cekukan lesung di kedua pipinya. "Mungkin... karena anaknya pada sibuk."

"Lo siapanya Mama gue sih?" Jujur, itulah yang menggelitik Rosa sejak pertama kali ia mendengar nama Rolan disebut dalam hidupnya.

"Gue anak dari temen Mama lo. Sejak gue umur sebelas tahun dan ditinggal meninggal Ibu gue, Mama lo yang gantiin peran Ibu gue."

Rosa diam, memilih untuk mendengarkan lebih lanjut cerita Rolan.

"Semuanya Tante Rahma berikan buat gue. Uang, pendidikan, dan yang lebih penting adalah kasih sayang." Rolan menatap lurus kedua mata Rosa. "Meskipun nggak tinggal serumah, kasih sayang Mama lo yang buat gue nggak pernah kehilangan sosok Ibu."

"Jadi selama ini Mama gue punya anak angkat?"

Rolan mengangguk. "Gue tahu lo dari kecil, dari lo umur tiga tahun."

Rosa hanya membuka mulutnya tanpa bersuara. Semua terlalu mengejutkan sekarang, bahkan fakta pria di depannya ini yang sudah mengenalnya sejak dia berumur tiga tahun.

"Oke... sekarang kita bahas yang lain. Ini tentang permintaan Mama gue tempo hari." Rosa menjeda kalimatnya, berusaha menangkap reaksi awal lawan bicaranya. "Lo tau nggak kalo Mama gue minta gue nikah sama lo?"

"Tau."

"Dan tanggepan lo?"

"Gue iya in."

"Lo gila?" Rosa sudah mulai kehilangan attitude-nya.

Rolan tak menyahut. Mata pria gondrong itu hanya menatap Rosa tanpa arti.

"Apa yang Mama gue tawarkan ke lo?"

Sudut bibir Rolan terangkat. Pria itu mengambil sebatang rokok dari bungkus rokok Rosa yang tergeletak di atas meja. Hisapan pertama setelah rokok menyala, Rolan menewarang menatap dedaunan yang menggantung di atasnya. "Tante Rahma udah ngasih semua yang gue butuh selama ini."

"Trus hubungannya apa sama lo terima permintaan Mama buat nikahin gue?"

Rolan yang tak segera menjawab dan malah terlihat bermain-main dengan asap rokok yang ia hembuskan membuat Rosa kembali membuka suara.

"Lo punya kehidupan kan? Nikah sama gue sama sekali nggak akan ada untungnya buat lo." Sebisa mungkin Rosa memilih diksi kata yang sanggup membuat Rolan menolak permintaan Rahma saat ini juga. "Lo masih muda, dan lo pasti punya mimpi. It's better you get your dream than marry me."

"Satu hal yang perlu lo tahu." Rolan melempar batang rokoknya yang belum benar-benar habis dan menatap Rosa lurus. "Sedikit pun Tante Rahma nggak pernah meminta apapun dari gue sebelumnya. Dan permintaan ini, gue anggap sebagai suatu kewajiban yang harus gue laksanakan tanpa penolakan."

Dahi Rosa berkerut. Sama sekali ia tak menyangka pria di depannya ini akan mempersulit keadaannya. "Dan satu hal yang lo perlu tahu juga..." Tak peduli apapun yang terjadi, inilah cara terakhir yang Rosa pikirkan sejak tadi. Resiko apapun bisa ia tampung setelah ini. "I don't like a man. Gue nggak doyan, sama sekali. Dan gue punya pasangan sendiri." Rosa memilih untuk berdusta di akhir kalimatnya.

Rolan tersenyum, dan Rosa mengira ini bukanlah pertanda baik. "Gue nggak bego, Ca. Gue tahu siapa lo."

"Trus buat apa lo nerima semua taik ini, Lan?" Lepas sudah emosi Rosa. Ia bahkan menggebrak meja dan membuat kopinya tumpah. "Dari awal ini nggak ada gunanya. Useless!!! Dan lo milih terjebak dalam ketidakgunaan ini daripada ngelanjutin hidup lo?"

"Gue ngelakuin ini buat Tante Rahma, Ca." Sahut Rolan tenang. "Tenang... bukan buat lo kok."

"Brengsek!"

Umpatan Rosa terdengar begitu jelas di semua penjuru café pinggir jalan itu. Tanpa menunggu jarum detik berpindah, Rosa menyambar dompetnya dan meninggalkan Rolan begitu saja daripada ia tak mampu menahan diri untuk tidak memukul kepala pria itu dengan asbak marmer yang penuh dengan putung rokoknya.

.

.

"Hai sayang, udah ketemu Olan?"

Rosa yang baru saja meraih botol air mineral dari kulkas dapur rumahnya menoleh Rahma. Mamanya itu tengah duduk di sofa ruang tengah yang bersebelahan dengan ruang makan.

Setelah Rahma keluar dari rumah sakit, Rosa memilih untuk lebih sering berada di rumah daripada menggeluti pekerjaannya. Dengan berada di rumah, Rosa bisa memantau Rahma yang lebih sering berada di rumah sendirian karena Benny dan Vonny yang sibuk dengan kegiatan kuliahnya masing-masing.

"Udah."

Rosa memilih duduk di samping Rahma. "Ngobrolin apa emang tadi?"

"Nggak usah pengen tahu banget deh, Ma..."

Tampang Rahma berubah memelas. "Ya kan Mama cuma nanya. Siapa tau kalian udah mulai ngomongin pernikahan.

"Ma!!!"

Rahma merapatkan bibirnya, memilih game fruit ninja yang ia mainkan di tabletnya.

Dalam keheningan ruang tengah itu, hanya suara game yang Rahma mainkan lah yang mendominasi. Otak Rosa berputar, menimbulkan berbagai pertanyaan untuk Rahma yang ingin ia sampaikan sekarang.

"Ma?"

"Hm? Ngajak Mama ngomong kamu?"

Rosa mendengus kecil, lalu mendecak. "Kenapa sih pengen banget aku nikah sama Rolan?"

Gerakan tangan Rahma terhenti begitu saja, dan melewatkan beberapa buah yang harusnya ia tebas dalam permainan itu. Ia menoleh, menatap putrinya penuh perasaan. "Karena Mama yakin sama Olan."

"Mama yakin. Rolan?" Pertanyaan retoris sebenarnya, karena Rosa sudah mengetahuinya langsung dari Rolan.

"Mau kok dia."

"Karena terpaksa? Sama aja Ma." Rosa membuang pandangannya ke depan. "Emang Rolan bisa nerima Oca yang kayak gini?"

"Kamu kenapa emangnya?" Tangan Rahma terulur untuk membelai rambut Rosa. "Anak Mama cantik kok walaupun tomboy. Pinter. Berani. Mandiri lagi sampai kadang lupa sama Mama."

Rosa kembali menatap Rahma dengan tatapan 'Udah deeeh, nggak usah bahas itu'.

Rahma tersenyum, menyerongkan tubuhnya untuk menatap Rosa dalam-dalam. "Mama percaya Olan karena Mama tau bagaimana dia, Ca."

"Karena dia anak angkat Mama, kan?"

Kening Rahma berkerut. "Olan cerita ya?" Rahma melanjutkan karena Rosa tak menjawab pertanyaannya langsung. "Salah satu alasannya, ini sebagai tanggung jawab Mama juga untuk nyariin pasangan hidup yang terbaik buat Olan."

"Oca bukan yang terbaik buat Rolan, Ma."

"Kata siapa? Yang benar-benar tahu kalian adalah Mama, Ca."

Rosa menghela nafas lelah. Perbincangan ini tak akan ada ujungnya. Dengan malas ia bangkit. "Oca nggak mau nikah," ucapnya dingin.

"Ca-"

"Obatnya udah diminum belum, Ma?"

"Oca... sayang... dengerin Mama, dipikir-pikir dulu-"

"Oca ngantuk. Kalau Mama udah minum obat, Oca naik ke atas."

Rahma menghela nafas. Menunduk dan memandangi permainannya yang sudah benar-benar kalah. "Udah," lirihnya kemudian.

Tanpa basa-basi lagi, Rosa mengecup pipi Rahma sebelum beranjak dari sana.

.

.

.

Dua minggu setelah itu, Rosa tak merasa hubungannya dengan Rahma membaik. Malah lebih buruk dari saat ia sering tak berada di rumah.

Rosa mencoba untuk berbakti kepada Rahma dengan melayani dan merawat Mamanya di masa-masa sakit seperti ini. Namun tetap, menuruti permintaan konyol Rahma yang hampir setiap hari memintanya untuk menikah dengan pria yang baru bertemu dua kali dengannya, semakin lama semakin membuatnya muak.

Ia merasa... kembali tak memiliki selera untuk menempati rumahnya sendiri.

.

.

Sepasang mata kecokelatan Rosa fokus mengikuti pergerakan tangannya yang menyapukan kuas kecil di patungnya, demi membentuk motif dengan tingkat kedetilan yang tinggi. Alunan musik folk yang mendayu pelan di setiap sudut, serta suara rintikkan gerimis di atas atap studio tanpa plafon ini seakan-akan menjadi surga tersendiri bagi Rosa. Seniman dan suasana seperti ini, perpaduan antara apa yang Rosa tekuni dan senangi.

Cantik sekali...

Rosa menjauhkan kepala dan mengamati hasil karyanya yang belum selesai. Senyumnya terangkat tipis, baru saja ia ingin melanjutkan lukisannya di atas guci tersebut, ponselnya bergetar tanpa suara.

"Ya, Ma?"

"Kamu di studio?"

"Iya."

"Oke."

Rosa mengerutkan alis. Oke? Panggilan Rahma pun terputus, dan feeling sebagai seorang anak segera membuatnya gundah.

"Oca?"

Dan... benar saja. Suara Rahma terdengar bersamaan dengan pintu studio yang dibuka. Rosa menghela nafas panjang seraya memperhatikan Rahma yang berjalan mendekatinya.

"Ngapain ke sini, Ma?"

Rahma tak menanggapinya, dan memilih duduk di sofa yang biasa Rosa gunakan untuk menjamu klien atau teman-temannya.

"Mama mending istirahat daripada kelayapan kesini."

"Apaan sih, Ca? Mama Cuma mau mampir ke tempat kerja anak Mama. Nggak boleh?"

Rosa memutar bola matanya dan kembali meraih kuas. Rahma memang begitu keras kepala, dan sialnya hal tersbeut menurun kepada dirinya.

Saat Rosa mulai tak memperhatikan Rahma karena pekerjaannya, suara tak asing segera masuk di indera pendengarannya. Dengan segera, Rosa membalikkan tubuhnya.

"Mama masih ngerokok?"

Rahma yang baru menghembuskan asap pertama rokoknya menoleh. "Hm?"

Oca bangkit dan meraih rokok Rahma. "Inget kondisi, Ma!"

"Mama baru aja makan di warung Padang depan, Ca. Belum sempet-"

"Mama mau mati lebih cepet?" potong Rosa kasar.

Tak disangka, Rahma malah mengembangkan senyumnya. Senyum keibuan yang membuat Rosa semakin tak habis pikir dengan kelakuan Mamanya.

"Nggak ada gunanya juga kan, Mama hidup lebih lama lagi?"

Rosa terdiam.

"Ada kamu yang bisa jaga diri kamu sendiri dan adek-adek kamu." Air muka Rahma melorot sedih. "Nggak ada hal lagi yang bisa Mama lakuin untuk kalian."

"Kalau mau mati cepet bunuh diri aja sana sekalian, Ma. Nggak usah nyinetron kaya gini deh."

Rahma tercengang. Wanita itu memilih untuk pergi dari sana tanpa berbicara lagi, dan Rosa sedikit menyesali ucapannya.

Awalnya Rosa tak ingin memperpanjang rasa bersalahnya. Ia melanjutkan kegiatannya yang tertunda hingga menghabiskan sebatang rokok mint kesayangannya. Namun tak lama ia terlena dengan situasi dan kegiatan yang disukainya, sebuah pesan dari sosok pria yang ia temui beberapa hari sebelumnya, dengan cepat membuyarkan konsentrasinya.

Rolansyah W. : Lo di mana? Mama lo di rumah sakit.

.

.

.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top