Werewolf Trickery
Partner Project : Clouchi dan Cacinggrama
Code Warna Ring : Nomor 03.
Genre : Psychological
Periode : Juli 2024.
🍀🍀
Part 1 ditulis oleh : Clouchi
Bagaimana ceritanya sampai aku memutuskan untuk bergabung dengan sekumpulan orang ini di tongkrongan mereka sepulang kampus? Oh, karena aku tidak mampu menolak ajakan dari cowok yang kutaksir.
Tenang saja. Mereka bukan anak-anak nakal. Mana mungkin aku menaruh hati pada seorang cowok berandalan. Aku hanya tidak cocok dengan mereka, sekumpulan ekstrovert. Rasanya aku seperti anomali dalam keramaian ini. Selain itu, ada seseorang pandai membuatku naik darah di sini.
Pandanganku bergulir ke kiri, mendapati orang yang kumaksud melenggang naik ke gazebo. Ada sebuah kotak kecil dalam genggamannya. Belum sempat menilik kotak tersebut, pandangan kami bertemu. Cewek itu tersenyum miring, membuatku ingin segera menonjoknya dan mendorongnya masuk ke kolam ikan.
Kalau bukan karena diajak Brian, cowok yang sukses mencuri hatiku, aku tidak akan pernah sudi duduk di satu tongkrongan dengan cewek itu. Bertemu tatap dengannya saja membuatku muak.
"Eh, kamu bawa apa tuh, Ya?" tanya Brian yang duduk di sebelahku.
Cewek itu, Alya, menghampiri meja dan menaruh kotak kecil yang dia bawa. Senyumnya kembali mengembang, katanya, "Card pack Werewolf. Biasanya kita main pakai kartu poker, 'kan? Biar lebih asik aku udah beliin ini, nih."
"Woah, mantep tuh!" Andi, teman dekat Brian, beranjak dari duduk. Didekatinya Alya, lantas meraih kotak kartu tersebut. "Advanced edition?" ucapnya, membaca apa yang tertulis di sana.
"Gebetan dateng, temen ditinggal," sindir Brian. Badannya sedikit condong padaku, membuat senyum tipis terukir.
Yang lain tertawa dan mulai menggoda dua orang yang sedang berdiri berdekatan itu. Tunggu, kenapa aku malah menceritakan mereka? Sudah, sudah, lupakan saja.
"Udah, ah. Pada mau main nggak?" tanya Alya sambil mengeluarkan setumpuk kartu dari kotak.
Mereka serentak berseru menyetujui, kedengaran begitu girang. Sudah dua kali aku ikut bermain dengan mereka. Namun, aku masih tidak mengerti apa yang menyenangkan dari permainan tuduh menuduh ini.
"Ei, Brian," panggil cowok yang seingatku namanya Izal. Dia mengode padaku hanya dengan alisnya. "Cewekmu ikut main lagi nggak?"
Brian menoleh padaku, tanyanya, "Main?"
Aku yang tadinya refleks menunduk langsung menoleh padanya. Salah tingkah karena menatap matanya, kupalingkan wajah, kemudian mengangguk. Telingaku memanas, menangkap bunyi "ooooooow" yang dibuat teman-teman Brian.
Pesonanya itu benar-benar tidak bisa ditolak. Pada akhirnya, aku ikut bermain game tuduh-tuduhan untuk ketiga kalinya. Aku harap tidak ada yang keempat karena ini sungguh melelahkan.
***
Semuanya mengambil jarak antara satu sama lain, duduk mengelilingi meja di tengah gazebo, kecuali Izal yang jadi moderator. Tidak ada yang memainkan ponsel, semuanya fokus pada permainan. Hanya pada saat seperti ini mereka tidak berisik.
Betapa senangnya aku saat Izal menyuruh semua pemain tutup mata supaya dia bisa membagikan kartu peran. Alya duduk berseberangan denganku dan aku tidak ingin terus-terusan melihat wajahnya.
Setelah beberapa waktu berlalu dalam hening, bahuku ditepuk. Kubuka mataku, lantas menoleh pada Izal di samping kiri. Cowok itu memberiku sebuah kartu, menunggu aku paham, baru berpindah pada pemain lain. Kartu peran itu kutaruh di atas meja dalam posisi tertutup, tidak lupa menaruh kerikil sebagai pemberat supaya angin tidak menerbangkannya.
Vigilante.
Selain werewolf, inilah peran yang kuharap tidak pernah kudapat. Kenapa? Karena merepotkan kalau harus mengambil keputusan untuk menembak.
Vigilante mirip dengan hunter. Hanya saja, kalau dia menembak seseorang dari pihak warga, dia akan ikut mati. Juga, dia hanya beraksi pada malam hari, tidak seperti hunter yang bisa menembak siang bolong sementara diskusi berlangsung.
"Peran selesai dibagikan," ujar Izal. Ada jeda sebentar yang membuatku sedikit gelisah. "Malam telah tiba. Buat orang-orang penting sama werewolf, silakan beraksi."
Aku tidak suka game ini. Sungguh, dari sekian banyak permainan, kenapa harus Werewolf? Kenapa bukan UNO saja? Walau sama-sama game perusak pertemanan.
Bahuku ditepuk lagi. Aku hanya menggelengkan kepala. Ini masih malam pertama, mana mungkin aku sembarang menembak. Ada-ada saja, begitu pikirku sebagai seorang yang mendapat peran vigilante. Tentu berbeda dari si werewolf.
"Pagi telah tiba," ujar Izal datar. Dari nada bicaranya itu, dia kedengaran seperti tidak mau berada di sini. Akan tetapi, semua orang di sini tahu-termasuk aku yang orang luar-kalau Izal menikmati waktunya sebagai moderator dari game perusak pertemanan ini.
Masih dengan nada datar, hanya ketambahan sedikit rasa antusias yang menurutku dibuat-buat, dia melanjutkan, "Werewolf kita hari ini kelaparan, guys. Kayaknya udah sebulan nggak makan."
Kudapati hampir semua pemain merasa tegang, termasuk diriku; terkecuali si Alya. Enam pasang mata tertuju pada Izal, menunggu cowok itu mengumumkan siapa yang menjadi korban.
Setelah puas membuat para pemain dag-dig-dug, Izal berdeham, dan akhirnya dia mengumumkan, "Malam tadi, seorang warga ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan hingga tak dapat dikenali."
Cewek di sebelah kiri Alya mendengkus sebal. "Langsung spill aja, lah! Lama banget pake narasi segala."
Bukannya segera menyelesaikan narasi, Izal justru berdecak-decak sambil geleng-geleng kepala. "Justru itu asiknya jadi moderator, Tan."
Intan, cewek yang paling sering komplain tiap kali bermain game ini bersedekap seraya memutar bola mata dengan malas. Sementara itu, cewek lain yang duduk di sampingnya (bukan Alya) tengah tertunduk lesu. "Hadeh ... pasti aku yang jadi korban pertama. Lagi."
Brian menepuk pundak cewek itu, membuatku sedikit cemburu. "Yang sabar, Vin."
"Yak!" seru Izal guna menarik perhatian kami. "Mayat tersebut ditemukan di dalam rumahnya sendiri, tepatnya di kamar."
"Wah, parah si werewolf ini sampai nyelonong masuk ke kamar," komentar Andi yang tak diindahkan sebagian besar pemain.
Senyum tipis terukir pada wajah Izal. "Intan, silakan keluar dari ruang diskusi," perintahnya sambil melakukan gestur tangan yang mempersilakan Intan keluar dari gazebo.
"Loh!?" Cewek tersebut sontak berdiri, menggebrak meja. Dia memelototi satu per satu pemain dan pandangannya jatuh pada Vina yang duduk di samping kirinya. "Kamu, ya, Vin! Kamu werewolf-nya, langsung ngincar aku gara-gara-"
"Hei," potong Izal sebagai moderator yang cukup baik, "udahan. Mayat nggak usah ngomong."
Sadar akan posisinya, Intan berhenti mengamuk dan akhirnya menyingkir juga dari gazebo. Dia memilih untuk mendinginkan kepalanya di bangku pendek dekat kolam ikan. Menjadi korban pertama di permainan ini memang menyebalkan. Aku paham.
"Silakan berdiskusi."
Alya, dengan senyum liciknya, mengedarkan pandangan. Terakhir dia menatap Vina cukup lama sebelum berkata, "Kayaknya tadi Intan mau bilang kalau werewolf-nya itu Vina karna dia yang mati pertama. Tapi kayaknya terlalu jelas nggak, sih?"
"Ya, kalau gitu siapa dong?" tanya Andi, menyilangkan tangan di atas meja. Badannya agak merunduk; matanya terpaku pada Alya.
Vina mengembuskan napas penat. "Bukan aku, serius."
"Terus kamu apa perannya?" tanya Andi.
"Orang nggak penting-penting amat. Tapi suaraku tetep berharga."
Andi manggut-manggut, hendak mengatakan sesuatu sebelum Brian menyela, "Jangan-jangan kau sendiri, Ndi."
"Maksud?"
"Werewolf-nya. Habis, kau kayak lagi berusaha ngegiring curiga kita ke Vina yang kebetulan lagi ada konflik sama Intan." Brian menurunkan tangannya, berhenti menopang dagu. "Menurut kalian gimana, guys?"
Aku bungkam, begitu juga yang lainnya. Semua saling bertukar pandang. Yang paling sengit itu antara Andi dan Brian, padahal mereka itu teman dekat. Dasar game terkutuk.
"Jadi, kalian mau vote siapa? Jangan kelamaan, lah," keluh Izal sebagai moderator. Cowok itu duduk di kelek-kelek gazebo, bersandar pada tiang. Belum lama dia sudah lelah berdiri.
"Hmn ... kayaknya bukan Vina, soalnya dari tadi keliatan pasrah bakal mati pertama...." Aku yang tengah bimbang tanpa sadar sudah kelepasan bicara. Kini berpasang-pasang mata tertuju padaku.
Langsung saja Andi menyanggah, "Tapi bisa aja itu acting doang. Kan game ini penuh sandiwara udah kayak film drama." Cowok itu kemudian menoleh pada moderator. "Aku vote Vina."
Vina yang namanya disebut hanya pasrah, kelihatan sudah siap untuk minggat dari ruang diskusi.
Setelah menimang-nimang, Alya juga menyebut nama Vina. Kasihan sekali.
Brian menaikkan bahu, tampak acuh tak acuh. "Aku vote Andi."
"Aku vote diri sendiri, boleh?" tanya Vina yang langsung dijawab dengan gelengan tegas dari Izal. "Oke, aku vote Andi."
"Kenapa?"
"Nyebelin, sembarangan nuduh."
Kini tersisa diriku. Mereka menunggu.
Sebenarnya aku curiga pada Alya, tetapi kalau aku pilih dia, aku harus memberikan alasan. Aku vote Alya karena gerak-gerik sama ekspresinya mencurigakan. Mana mungkin aku bilang begitu. Aku akan terdengar seperti orang bodoh.
Kondisinya seri. Aku adalah penentu hasil pemungutan suara di sini. Dengan berat hati, kuucapkan pilihanku, "Vina. Aku vote Vina."
Pemain harus dikurangi. Kalau memang Vina adalah werewolf-nya, permainkan akan berakhir. Kalau bukan, werewolf yang asli tidak akan bisa menjadikannya kambing hitam di sesi diskusi berikutnya dan terpaksa mengganti target. Aku harus waspada terhadap mereka yang menggiring opini.
🍀🍀🍀
Part 2 ditulis oleh : Cacinggrama
"Loh, kenapa? Jelas-jelas Andi yang mencurigakan," heran Brian padaku.
"Mentang-mentang dia pacarmu, kau ajak kerja sama? Ketahuan liciknya, ya," ceplos Andi.
"Menggiring opini kau, Andi." Brian menunjuk-nunjuk rivalnya.
Sudah kubilang sejuta kali. Permainan ini merusak pertemanan. Terkadang aku heran, kenapa yang suka sekali memfitnah temannya.
"Aku vote Vina, karena dia bilang sendiri kalau perannya tidak penting dan memang sudah siap mati di awal." Iya, berbohong. Bukan itu alasanya.
"Tapi-"
"Sudah ditentukan. Pada siang hari yang terik ini." Izal memotong perkataan Brian. "Warga desa mengarak seseorang ke alun-alun. Dia di pamerkan di tengah khalayak ramai sembari sebuah tali simpul terkalung pada lehernya. Kemudian, Vina dijatuhkan, membuat lehernya tercekik, sakit, dan tidak bisa bernafas-"
Bunyi bel berdering dengan nada indah tetiba saja terdengar. Rupanya itu dari gawai Andi, ada seseorang yang menelpon.
"Yaampun aku lupa," kaget Andi. Jantungnya 'tak karuan berdetak melihat nama pacarnya.
"Kenapa?" Rasa penasaran Brian mewakili kita semua.
"Ada janji yang kulupa. Sekarang harusnya aku ngedate," jelasnya. Dia berdiri, dan keluar gazebo dengan terburu. "Seperti katamu Brian, 'gebetan datang, teman ditinggal.'"
Setelah Andi menghilang, kami saling menatap. Kebingungan. Terkecuali Rizal.
"Ketika Vina mati di gantung, Andi merelakan tubuhnya kepada iblis agar dia bisa pergi ke neraka menemui kekasihnya. Karena tubuh itu kosong, arwah Vina lalu mengisinya," terang si moderator.
"Eh, aku gantiin Andi?"
"Iya, siapa lagi? Nanti perannya kukasih tau di malam hari."
"Okeh," desahnya. Namun senyum tipis terbersit, mungkin dia senang tidak jadi mati.
Ada ada saja moderator kita satu ini. Alya, Brian, dan Vina juga pasti berpikir sepertiku.
"Malam telah tiba."
Aku menutup mataku. Tetiba saja Vina bersuara. Dia kaget. Mungkin sekarang dia menjadi orang penting. Bahuku ditepuk, tapi kali ini aku membuka mata. Kulihat para pemain yang tersisa Brian, Alya, dan Vina.
Brian dari awal permainan-seperti kata Andi-mengajakku bekerja sama. Sebagai pacarnya, aku tahu kalau dia jadi werewolf, pasti akan menjauhiku.
Vina, orang yang penting, entah baik atau jahat. Tetapi dia itu tipe yang pesimis tidak cocok memerankan werewolf. Kalau benar, tinggal tunggu blunder saja.
Sedangkan Alya, orang santai sekali. Pasif, tapi argumennya membuat Brian dan Andi bertengkar. Jadi kutunjuk saja dihadapan Izal. Lagi pula dia juga sering membuatku kesal. Lalu mata kututup lagi.
"Pagi hari telah tiba." Izal seperti ayam yang berkokok. Suaranya membuat orang-orang bangun.
"Kemarin malam berisik sekali, banyak aktivitas. Aku jadi enggak bisa tidur tenang. Ketika bangun, aku menemukan tubuh terkapar bersimpuh darah. Dia adalah ...."
Kami berempat tegang. Ditambah dengan keheningan, bahkan aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.
"Brian."
"Hah, kok bisa?" seruku tidak sengaja.
"Pinter banget werewolf-nya sumpah," keluh Brian. "Maaf, ya, aku tunggu di tempat biasa." Dia memegang pundakku, lalu pergi.
Dia adalah alasannku di sini. Kalau dia tidak ada, setidaknya aku bisa membalaskan dendamnya. Aku tadi menembak Alya tapi itu tidak membunuhnya dan tidak juga membunuhmu, kenapa ya?
Apa dia tidak terkena seranganku? Dia melindungi dirinya sendiri? Tunggu, dia pasti guardian. Kalau begitu ..., "Vina, aku vote vina."
"Aku belom suruh vote, ada masalah apa sih kamu sama Vina?" komentar Izal.
"Kalo gitu, aku vote kamu, nyebelin soalnya." Vina menunjukku.
"Berarti sekarang, keputusan, ada di Alya. Silahkan," kata Izal seperti host acara kuis.
"Aku ... pilih ...."
Ketegangan mengalir dalam bentuk keringat sebesar biji jagung. Jantungku dan Vina berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Vina."
"Yes." Aku bisa bernafas lega. Tunggu, kenapa aku senang memainkan game perusak pertemanan ini.
"Kenapa aku?" Vina terkejut.
"Karena blunder. Orang kayak kamu tuh enggak bisa main werewolf, makanya kamu teriak sewaktu dikasih perannya Andi."
"Tapi aku bukan werewolf." Dia membuka kartunya, itu elder. Kemudian menatapku.
"Lah aku juga bukan." Kubuka kartu vigilante.
Alya tersenyum miring dan dengan santainya membuka kartu. Werewolf. "Aku menang."
Dengan kesal, aku berdiri. Berjalan cepat menjauhi gazebo, ke tempat Brian. Ada cafe yang dekat. Aku masuk, naik tangga ke lantai 2.
"Hey, kalah, ya?" seseorang memanggil.
Rupanya itu Brian, jadi aku duduk tepat berlawanan dengannya di meja yang sama. Dengan kesal tentunya. Tapi setidaknya ini di pinggir jendela, jadi agak tenang terkena sepoinya angin.
"Kok, tau aku kalah? Kelihatan banget, ya, sebalnya?"
"Bukan itu. Dari awal permainan, aku melindungi Alya, soalnya di malam hari sewaktu semuanya menutup mata, Izal kasih tau aku kalau kamu werewolf. Eh, ternyata aku yang dibunuh werewolf."
"Kenapa Izal kayak gitu?" Aku penasaran.
"Lihat tuh." Kepalanya bergerak seolah menunjuk ke luar jendela.
Gazebo bisa terlihat dari sini. Bahkan Izal dan Alya masih ada di sana. Tetapi, ada yang aneh. Perempuan itu memberikan uang pada si moderator.
"Moderatornya disogok."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top