Nikahin Aja daripada Nganggur
Partner Project: William_Most dan divarvni
Code Warna Ring: Nomor 5
Genre: Thriller
Periode: November 2024
🍀🍀🍀
Part 1 ditulis oleh: William_Most
Aku punya mimpi sejak kecil. Mengelana di antara bintang-bintang, menguak misteri tersembunyi di balik langit yang mahaluas. Namun, makin dewasa makin terasa jauh mimpi itu, sama seperti angkasawan yang tinggal landas menjelajahi ruang angkasa dan planet tak teridentifikasi.
"Tolak saja lamarannya! Kamu kan sudah mau melanjutkan studi!" ucap Emili. Di balik kata-kata paksaan dari perempuan kuliahan berkacamata bulat yang suka menyibak poninya itu, Emili secara tulus membantuku mendaftar kampus impian. Aku yang tidak tahu apa-apa tentang cara untuk mendapatkan beasiswa, Emili memberitahuku langkah-langkah dari awal sampai akhir, bahkan meminjamkanku laptop miliknya.
"Terima kasih, Emili."
"Apa sih yang tidak buat teman SMA-ku?" Aku tersenyum mendengarnya.
Namun, Emili tidak tahu jika ada dinding raksasa yang jauh lebih kuat dibandingkan orang asing yang tiba-tiba melamarmu, yaitu kamu sangat mengenalnya, tetapi sangat tidak mendukungmu bagaikan tirani Raja Gunung.
Aku mengamati tiga cangkir kopi susu di atas meja bulat yang kami pesan di sebuah kafe. Selain Emili, ada satu perempuan cantik berambut panjang yang dikucir. Dia tampak melamunkan suatu hal.
"Riska, kenapa kamu diam saja?" tanya Emili. Perempuan yang ditanyai buyar dari termenung lalu menyahut.
"Eh, ada apa? Nirmala mau menikah?" Dia secara terus terang menyinggung hal yang Emili secara tegas melarangnya.
Itu membangkitkan ingatanku kembali seminggu silam. Tentang aku yang hanyalah anak rumahan putus sekolah karena alasan ekonomi, di siang bolong seorang pria asing mendatangi rumahku dan menanyakan kepada ibuku, dia membawa cincin lamaran dan ibuku langsung semringah. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi atas apa yang kusaksikan, postur aneh serta wajah yang mengerikan itu.
"Pokoknya Nirmala harus menolaknya! Surat motivasi sudah jadi, kan?" tanya Emili. Kujawab iya dan akan segera kukirim sesampai rumah setelah mengecek semua.
Kami pun lanjut mengobrol hal-hal tidak penting, setelah itu memutuskan pulang saat hari mulai gelap. Emili memesan ojek daring, sedangkan aku dan Riska berjalan menuju halte bus. Perempuan berambut kucir itu seperti menjauhiku, terlihat dari gerak-geriknya, aku sudah memberi kode, pada akhirnya dia mau buka mulut.
"Nirmala, maafkan aku," ujarnya.
"Eh, kenapa?"
"Aku.... Aku berpacaran! Ingat cowok yang dulu nge-DM Instagram-ku dulu? Kami akrab lalu memutuskan untuk bertemu besok!"
Aku terkejut mendengarnya. Justru, sangat senang akan kabar itu.
Namun, ketika Riska memperlihatkan foto cincin di dalam kotak yang dikirimkan sang pacar, tiba-tiba aku mengernyitkan dahi. Cincin itu mirip dengan apa yang kulihat saat kejadian di rumah silam, pria asing yang misterius itu.
"Nirmala?" Aku tersadar dari pemikiran tak pasti.
"Itu bagus! Pasti laki-laki itu sangat menantikan untuk bertemu denganmu, Riska! Wah, temanku akhirnya memiliki pacar!" Riska menyenggol pundakku sambil tertawa. Seharusnya dia memberi tahu sedari tadi agar Emili juga sama berbesar hati.
Namun, seminggu telah berlalu, Riska hilang tanpa kabar. Katanya, terakhir kali dia terlihat di sebuah motel, di hari kencan janjinya dengan laki-laki yang dia kenal dari media sosial. Keluarga sangat syok, Riska bukan orang yang pergi dari rumah begitu saja. Polisi tidak melakukan apa-apa. Aku dan Emili sangat kebingungan dengan apa yang terjadi pada Riska.
Berita buruk lainnya juga datang kepadaku. Saat perjalanan keluarga yang tidak familier, Raja Gunung begitu murka akan permintaanku untuk persetujuan mendaftar kuliah. Dia mengolok-olok semua orang, termasuk teman kerjanya, temanku, Emili yang tersayang. Aku ikut marah untuk melindungi sesuatu yang berharga, ibuku menasihati agar aku menenangkan diri. Lagi pula, sifat Raja Gunung yang keras dan kasar, orang-orang akan mengutuknya. Hah, siapa yang bisa memotong lidahnya dan mencabut dari pangkal tenggorokannya. "Nanti di neraka," jawabku. Raja Gunung mendadak diam lalu menginjak rem dan menyetir bagai orang kesurupan, ibuku menjerit ngeri dan menyuruh stop, tetapi orang yang memegang kemudi tidak akan berhenti sebelum aku mengatakannya. "Berhenti, aku tidak akan lanjut studi. Akan kuterima lamaran itu." Ngomong-ngomong, Raja Gunung juga menyetujui aku menikah dengan laki-laki asing itu.
Begini profil singkatnya yang kudapat dari mulut kotor itu. Anak pertama dari keluarga yang berada, memiliki koneksi dengan pejabat dan polisi. Mahar yang ditawarkan ratusan juta, tetapi pernikahan diadakan di luar pulau yang katanya kampung halaman si pria. Upacara suci itu berlangsung khidmat, tetapi aku tidak suka suasananya. Begitu bau busuk dan penuh ketidakpercayaan. Aku lalui semuanya dengan perasaan mual.
Sebulan kemudian, Emili akhirnya menghubungiku. Perempuan itu tampak bermuka kusut mencari keberadaanku.
"Kamu dari mana saja? Setelah Riska, kamu juga susah untuk dihubungi," ucapnya.
"Maaf, aku sudah menikah." Emili amat terkejut mendengarnya. Dia memutuskan untuk menyimak ceritaku dari awal sampai akhir sambil aku sesenggukan, untung ada Emili yang siap menanggung semua keluh kesahku. Dia berpamitan dan berjanji akan memutuskan pernikahan ini.
Aku sangat bergantung pada Emili, satu-satunya harapanku. Saat bersih-bersih rumah baru di tempat asing bersama pasangan misterius yang bekerja, seseorang berada di depan pintu, mengantarkan paket berupa kardus besar, lalu pergi begitu saja. Aku mendekati kardus itu dengan perasaan waswas. Masih di teras, kubuka satu demi satu plester yang membungkus rapat. Seketika tercium aroma menusuk saat hampir terbuka. Aku membelakkan mata, melompat ke belakang dengan ekspresi ngeri. Kututup mulut dan hidung, berteriak meminta tolong kemudian.
Potongan-potongan tubuh tertata di dalam gabus dengan bantal pendingin. Tangan, helaian rambut, jari-jari lentik dengan cincin permata biru. Emili dengan wajah kosongnya menatapku. Lidah menjulur, bola mata berputar ke arah yang aneh. Lalat dengan cepat merubungi kardus. Orang-orang baru datang ketika aku menjerit selama belasan menit sampai suaraku habis di tenggorokan.
Kejadian itu berlalu begitu saja bagaikan angin lewat bagi orang-orang sini. Hanya aku dan keluarga Emili yang menginap yang masih memperjuangkan haknya, tetapi pada akhirnya harus kalah di meja hukum karena koneksi sang pria dengan pejabat untuk membungkam kasus ini. Aku terlibat. Tidak, pria itu terlibat.
"Ibu akan piknik ke tempat wisata alam bersama teman-teman ibu Minggu ini. Rahasiakan ini dengan Ayah, ya?" Tahu-tahu, ibuku berkata demikian denganku saat bersih-bersih alat makan. Hanya ada kami berdua di rumah baru, dan aku cuma mengangguk mengerti. Liburannya berlangsung seru, aku bisa melihatnya di hari pertama akun Facebook-nya penuh dengan foto dan video yang menyenangkan bersama teman-teman lama ibu.
Akan tetapi, kebahagiaan hanya berlangsung singkat bagaikan roket yang lepas landas lalu hilang ditelan angkasa.
Ibuku dirampok di jalanan sepi dalam perjalanan menuju hotel. Tulang rusuknya ditikam pembegal, dan dompet serta gawai dicuri. Ibu segera dirawat di ruang intensif rumah sakit, keadaannya begitu kritis. Sang Raja Gunung hanya mengamati sekilas saat berkunjung di hari cuti, biasanya dia tak begitu dahulu ketika ibuku vertigo, terapi semua perasan dan ekspresi yang berubah makin diperkuat akan campur tangan si pria asing yang menikahiku.
Ibuku akhirnya mengembuskan napas terakhir tanpa meninggalkan pesan apa pun. Setelah berkabung yang sia-sia, sang Raja Gunung pergi ke tempat asalnya seraya berkata singkat telah memiliki simpanan baru dan hidup bahagia tanpa anak.
Hidup berdua dengan orang baru yang tidak dikenali sama sekali. Aku menjalani keseharian hanya dengan membersihkan rumah, menyiapkan makan, tidur, bersih-bersih, memasak, tidur, menyapu, membuat sarapan, tidur. Tidak ada aktivitas berarti di antaranya. Baru kemudian aku menyadari, semua itu hanyalah semu. Rumah ini hanya titipan temannya yang baru pulang dari luar negeri. Semua harta adalah utang dari pinjaman daring tanpa ada kejelasan untuk dilunasi. Yang tampak seperti asli padahal sama sekali bukan, seluruhnya disita.
Kini aku dan suamiku tinggal di rumah lama peninggalan orang tuaku. Hari demi hari aku diliputi kecemasan. Tabungan kian menipis, tak ada yang menafkahi, aku terlilit utang yang seharusnya tak terlibat. Kunjungan penagih selalu menghantuiku akan pertanyaan kapan dibayar, sedangkan yang mengutang berhasil kabur menyembunyikan diri, baru pulang ketika mereka pergi. Kesehariannya sebagai pengangguran tanpa melakukan apa pun, menonton tivi, memancing di kolam terdekat, menongkrong bersama sama-sama orang bajingan. Tak ada yang berarti.
Sejak kecil, aku memiliki impian. Untuk terbang ke angkasa raya, tidur di antara bintang-bintang. Tak memikirkan apa pun, hanya menikmati setiap tikaman demi tikaman yang aku hunjamkan ke dada kiri tubuh besar itu. Wajah asing dengan tawa khas yang menyayat telinga, tangan yang suka memukul pipi, kaki yang senang menendang perut. Semuanya akan kupisahkan dengan gergaji besar seperti mengerat daging-daging hewan, menetak tulang dengan sekuat tenaga sampai putus dan mengucurkan darah deras. Semuanya membasahi lantai.
Di usia dewasa ini, apakah impianku telah tercapai?
Begitu aku mendongak memandangi langit, bintang-bintang jatuh menjawab doaku.
🍀🍀🍀
Part 2 ditulis oleh divarvni
Kalau kata sepupunya, kehidupan Nirmala hampir sama seperti sinetron yang pernah dia tonton di televisi. Bedanya, kisahnya tidak seindah sinetron yang dijodohkan, mulai saling mencintai lalu berakhir indah. Kisah Nirmala jauh dari gambaran sempurna semacam itu.
Ketika usianya tepat menginjak delapan belas tahun, dia dipaksa menikahi seorang anak dari juragan kaya raya demi mengurangi hutang yang melilit keluarga miskinnya. Dia kira cerita klise semacam itu hanya ada di dalam novel atau film saja. Nyatanya, justru terjadi padanya dikehidupan nyata.
Nirmala mungkin tidak masalah jika harus menikah muda, tapi setidaknya bukan dengan pria yang usianya terpaut jauh darinya. Saat itu dia ingin kabur rasanya, tetapi tangisan sang Ibu menahan tindakannya. Pada akhirnya dia memilih untuk patuh meskipun dengan perasaan tidak terima yang amat sangat besar.
Namun, seharusnya saat itu dia kabur saja, dari pada berakhir di neraka seperti ini.
"Mala itu loh anakmu berisik banget. Temen-temen Mama jadi keganggu. Duh, kalau gini mereka jadi kapok ngadain arisan di sini," omel mertuanya suatu hari.
Nirmala yang masih menggendong anak pertamanya hanya bisa meminta maaf. Rasanya dia ingin membekap mulut mungil itu agar berhenti menangis, tapi tindakannya tertahan ketika Mba Marni tiba-tiba datang dengan sebotol air susu formula. Bayi itu seketika meminum air susu itu dengan tenang.
"Kamu itu gimana, sih, anak laper aja enggak tahu. Duh, mau jadi ibu macam apa kamu."
Setelah mengatakan itu sang mertua langsung pergi dengan wajah bersungut-sungut.
Wajah Nirmala mengeras, tanpa sadar membekap bayinya terlalu kencang sampai membuatnya kembali menangis. Mba Marni yang sadar akan hal itu langsung mengambil alih sang bayi.
"Biar saya aja yang gendong, Non. Non Nirmala istirahat aja. Dari semalam belum tidur kan karena adek nangis terus," ucapnya dengan wajah penuh kekhawatiran.
Nirmala hanya tersenyum. "Makasih, ya, Mba. Aku mau nyiapin air hangat buat adek mandi."
"Biar saja aja, Non. Kalau nggak minta bantuan Pak Sarman."
"Gak usah, aku aja. Mba Marni kan juga banyak kerjaan. Pak Sarman juga masih sibuk nyuci mobil."
Nirmala segera pergi menyiapkan air hangat. Dia memang mengantuk sekaligus ingin istirahat, tetapi banyak sekali pekerjaan rumah yang belum tertangani karena sejak semalam sibuk dengan bayinya yang terus rewel. Dia bahkan belum mencuci baju yang entah kenapa sudah menumpuk banyak padahal baru kemarin pagi dia mencuci baju. Padahal dia sendiri hanya mandi satu kali dalam sehari, itu pun ketika sang bayi berhasil dia tidurkan.
"Mala jas hitam punyaku yang dari Papa itu di mana? Duh, kamu cuci ya?" Pagi-pagi sekali, Dimas sudah menunjukkan wajah kesalnya. Dia tampak panik, lemari berantakan, pakaian di mana-mana hanya untuk mencari satu jas yang sebenernya sudah kotor karena dia pakai kemarin untuk rapat.
"Iya, kotor soalnya."
"Baru dicuci tadi? Ke mana aja kamu semalam? Aku butuh jas itu."
"Kan, bisa pakai yang lain. Jas kamu gak cuma itu aja," balas Mala ikut kesal. Tidak habis pikir kenapa pria menyebalkan itu harus mempermasalahkan hal kecil dan membuatnya terlihat menjadi masalah yang besar. Lagi pula memangnya pekerjaan dia hanya mengurusi jas-nya saja di rumah ini?
"Gak bisa. Papa mau aku pakai jas itu."
"Harus banget?"
"Iyalah. Kita mau ketemu langsung sama pemilik dari toko jas-nya. Buat menghargai aja kita pakai produknya. Pokoknya ini masalah bisnislah."
Nirmala berdecak. "Udah tau butuh banget buat hari ini kenapa kemarin dipakai? Kamu pikir matahari ada dua puluh empat jam? Aku juga sibuk ngurus yang lain, gak ngurusin pakaian kamu doang."
Dimas mengernyit. "Jadi, ini salah aku? Kamu aja yang gak becus."
Tangan Nirmala terkepal. Dia melempar gantungan baju yang berada di dekatnya ke sembarang arah. "Enak ya ngomong gitu? Menurutmu istri yang becus itu gimana? Yang harus selalu sigap ngelayani semua permasalahan suami? Pekerjaan aku itu banyak, Mas. Gak cuma ngurusin kamu doang. Kita itu udah punya bayi. Aku juga harus urus dia. Emangnya kamu. Pekerjaan Mulu yang dipikirin. Anak nangis gak pernah inisiatif buat ditenangin atau seenggaknya bantu aku buatin susu. Oh, atau malah lupa udah punya anak?" serunya di akhiri dengan tawa miris. Tidak peduli dengan bayi-nya yang mulai menangis karena teriakan mereka.
"Jaga ya bicara kamu. Aku kerja itu buat kalian, buat kamu, buat anak kita. Kamu tuh gak tau permasalahan apa aja yang aku hadapi di luar sana."
Nirmala tidak mau kalah. Dia segera berdiri. "Kamu pikir tugas suami cuma cari nafkah aja, hah? Terus semua sisanya istri yang harus kerjain?"
"Semua orang juga udah tau itu. Udahlah, males debat sama orang kayak kamu." Dimas memilih untuk segera pergi dari sana setelah membanting pintu kamar dengan keras.
Tangan Nirmala yang terkepal bergetar hebat. Napasnya naik turun dengan cepat. Matanya berkaca-kaca. Dia memejamkan mata, berusaha mengontrol emosi, tetapi gagal karena suara tangisan bayinya yang semakin kencang.
"DIAM. AKU BILANG DIAM!" teriaknya histeris sambil berjongkok dan menutup kedua telinga.
Tangisan sang bayi dan jeritan Nirmala membuat seisi rumah terkejut dan mendatangi kamarnya. Mba Marni yang sudah mendengar keributan antara suami istri itu tidak bisa berbuat apa-apa selain mengambil sang bayi dan berusaha menenangkannya, serta menjauhkannya dari sang ibu. Sementara Nirmala masih menangis sejadi-jadinya di atas lantai. Tidak ada yang berani mengganggu.
Selama hampir setengah hari Nirmala mengurung diri di kamar. Dia baru keluar ketika sadar bayinya tidak ada di ranjang tempat tidur. Nirmala memanggil-manggil bayinya dengan panik dan ketika melihat bayi itu berada digendongan Mba Marni, Nirmala bernapas lega. Dia segera mengambil alih dan memeluknya dengan hangat sambil meminta maaf berkali-kali.
"Non Nirmala istirahat aja, ya, biar adeknya sama saya. Makan dulu, saya udah masak semur ayam kesukaan Non Nirmala."
"Makasih, ya, Mba. Tapi aku gak laper. Nanti aja."
Mba Marni tampak khawatir. "Non Nirmala belum makan loh dari semalam."
"Iya, Bi. Nanti aja. Mau mandiin adek dulu."
"Udah saya mandiin, Non."
Setelah mengucapkan terima kasih, Nirmala segera pergi ke kamar. Dia menidurkan bayinya terlebih dahulu sebelum merapikan kembali kamarnya yang berantakan. Ketika menjelang sore, rumah begitu sepi. Nirmala sudah menyelesaikan pekerjaan rumah dan kini duduk di halaman rumah sambil menggendong sang bayi. Mencoba membuatnya tertidur dengan nyanyiannya yang lumayan merdu.
"Non Nirmala lagi pegang hp nggak?"
Tiba-tiba Mba Marni datang dengan sedikit terburu-buru.
"Enggak, Mba, kenapa?"
"Enggak tau, nih, Neng Sasha bilang Non Nirmala disuruh cepet-cepet ngecek HP."
"Oh, iya, nanti aku cek. Makasih, ya, Mba."
Dengan keheranan, Nirmala masuk kembali ke dalam kamar. Mengecek ponselnya dan mendapati Sasha—sepupunya—mengirim sebuah foto. Jantung Nirmala rasanya seperti dihimpit benda yang amat berat. Di foto itu ada Dimas tengah bersama seorang wanita. Dilihat dari tempatnya mereka seperti sedang berada di klub. Dan mereka sedang bercumbu.
Nirmala memejamkan matanya. Dia memang tidak pernah mencintai Dimas, tetapi tidak ada seorang istri-pun yang ingin diperlakukan seperti ini. Di saat dia sedang mati-matian menjaga kewarasannya selama tinggal di rumah ini, Dimas justru bersenang-senang di luar sana. Bukankah ini terlalu tidak adil? Untuk apa Dimas menikahinya jika berakhir diterlantarkan seperti ini?
Nirmala menatap bayinya dengan malang. Dia menciuminya berkali-kali dengan air mata yang tidak berhenti membasahi pipi.
Ketika malam tiba, Dimas baru pulang jam satu malam dengan alasan pekerja di kantor yang memaksanya untuk lembur. Memang sudah tidak ada lagi bau alkohol atau bau parfum perempuan itu. Nirmala juga tidak bicara banyak. Dia hanya langsung tidur di ranjang sambil memunggungi sang suami karena laki-laki itu juga langsung terlelap. Mungkin terlalu lelah bersenang-senang.
Ketika hari hampir subuh sang bayi kembali menangis, tidak ada yang bangun, bahkan sampai suara adzan subuh berkumandang. Tidak ada lagi omelan keras dari Dimas. Laki-laki itu hanya diam tak bersuara, bahkan sudah tidak lagi bernapas ketika Mba Marni memaksa untuk membuka pintu kamar.
Wanita paruh baya itu menjerit melihat tempat tidur yang penuh oleh cairan darah. Dimas terkapar lemas dengan gunting yang menancap di lehernya. Sementara di pojok ruangan Nirmala duduk meringkuk. Baju tidur dan tangannya penuh dengan darah. Dan bayi mereka masih menangis. Mba Marni langsung menghampiri sang bayi dan menggendongnya, tetapi langkahnya terhenti ketika sebuah suara terdengar.
"Mba, tolong jaga Raina untuk saya, ya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top