Lintas

Partner Project: lavenpichie dan WtnbeRin
Kode Warna Ring: Nomor 3
Genre: Supernatural
Periode: Januari 2025

🍀🍀🍀

Part 1ditulis oleh lavenpichie

Liburan musim dingin ini aku pergi ke rumah nenek. Terletak di sebuah pegunungan nan jauh dari hiruk-pikuk kebisingan polisi. Khas tempat bersemayam orang zaman dulu; lebih memilih dikelilingi oleh gunung dan padang ilalang. Aku pribadi, jika sudah lansia nanti, pasti akan memilih menetap di lingkungan seperti itu. Senyap dan tenang.

Aku tidak mau repot-repot menghela diri di atas rumput terpangkas pendek, menikmati indahnya langit yang selalu mendung akhir-akhir ini. Cuaca dingin tidak bermain-main begitu anginnya mengembus kulit. Membuatku menggigil sampai ke tulang.

Segera, aku berlari menjauhi padang rumput yang tidak ada sekat di antaranya agar bisa menghangatkan diri barang sedikit. Kukayuh sepatuku menuju sebuah gubuk. Gubuk kayu yang masih terlihat kokoh tanpa dilalap masa. Pintunya hanya menimbulkan suara pendek saat aku menutupnya. Sepatuku kebasahan, nenek pasti akan marah kalau melihatnya. Jadi kusembunyikan saja di celah antara rak sepatu dan tembok.

Kupendarkan pandanganku ke sekitar. Mencari barang satu atau dua sosok yang bisa kupanggil. Tepat di atas kursi goyang tua, ada nenek yang masih memejamkan mata. Tangannya dengan setia memegang alat merajut sedari kemarin sore. Tampak tak kunjung pegal dengan posisi yang sama dalam 24 jam. Aku berjongkok di hadapan nenek, mengelus wajahnya lembut. Sembari menatapinya, aku bertanya, “Nek, kapan bangun? Ayo, dong, napas lagi.”

Tidak ada sahutan. Maupun kembang-kemping di dadanya. Nenek masih kaku sebadan-badan.

Helaan napasku keluar. Aku kembali berdiri dan bertolak pinggang. “Jangan dulu meninggal, Nek. Yang kupunya, 'kan, tinggal Nenek. Tunggu aku menikah dulu baru boleh meninggal,” celotehku. Kesal tidak mendapat balasan, aku menggoyangkan tubuh nenek sampai alat rajutnya jatuh semua. “Ah! Dijatuhkan lagi! Nenek tidak tahu betapa repotnya aku membenarkan semua ini? Menyebalkan. Cepat bangun!”

Percuma saja. Meski sudah berusaha kupindahkan tubuhnya agar ia tak nyaman, sampai kupaksa menyuapinya dengan bubur sereal kesukaan, nenek tak kunjung membuka mata. Malah bau busuk yang semakin menguar darinya. Satu-satunya yang ia tinggalkan selain jasad dan kenangan.

Rumah yang biasanya tidak kugarap sekarang mendadak mengkilap bersih. Hanya demi nenek bangun dan memuji bagaimana cucu perempuan satu-satunya ini mengemas rumah tanpa ada tamu yang berniat datang. Tapi rasanya semua sia-sia. Yang kudapat Cuma rasa lelah luar biasa sehingga tidak mampu mengganggu nenek dari tidurnya lebih lama. Bahkan untuk berpindah ke lantai dua dan tidur dengan benar di atas kasur yang hangat pun tidak mampu.

Aku terlelap di atas karpet beralas bulu-bulu domba yang sama sekali tidak membantu dari dingin. Namun, seseorang menyentil telapak kakiku di menit berikutnya. Membuatku terperangjat dengan rasa panas dari sentuhannya. Bak air mendidih.

“Hei!” tegurku. Begitu menyadari keanehan mengapa ada orang masuk ke rumah yang jauh dari mana pun, aku mengernyit dalam sembari memandangi seorang pria bertudungkan kain hitam. Lebih aneh lagi, tidak ada bekas salju di kain yang ia kenakan. “Kau siapa?” tanyaku was-was.

Orang itu cuma menatapku dengan mata gelapnya. Menampilkan ekspresi seolah ia paman yang menyaksikan kedurhakaan keponakannya. “Nenekmu senang di seberang sana. Tanpa digelayuti penyakit maupun cucu nakalnya. Kenapa jasadnya masih belum juga dikebumikan?” tanya orang itu tiba-tiba.

“Siapa kau?” Aku mengambil ancang-ancang. “Jangan main-main denganku, atau kau akan tahu akibatnya.”

Orang itu mengendik sembari mendengus. “Kalau maksudmu membunuhku seperti yang kau lakukan pada dua teman masa kecilmu, maaf saja itu takkan mempan. Kau pikir aku manusia rendahan sepertimu?”

🍀🍀🍀

Part 2 ditulis oleh WtnbeRin

Bagaimana dia tahu tentang Ezra dan Selin? Tunggu dulu, dia bukan manusia?!

"Kau itu siapa, sih? Datang-datang mengomel padaku!" Suaraku sengaja tidak sengaja meninggi di hadapannya. Keburu kesal, aku menggenggam pisau dapur yang bersembunyi di bawah kasur, belum mengeluarkannya, hanya mengambil ancang-ancag jikalau ia mendekat maju.

Alisnya berkerut ringan, bibirnya melengkung kecil sampai giginya terlihat. Seolah meremehkanku, tapi tidak.

"Pikirkan, apa benda itu bisa menyakitiku?"

"Jawab! Kau itu siapa!" teriakku, dengan tangan bergetar menarik pisau itu dari tempatnya. Bahkan membuat kasur kusam nenek koyak hingga isinya berserakan.

Aku menodongkan pisau itu padanya. Bodoh.

"Kamu masih diberi kesempatan untuk bertaubat. Hanya ... apa kau siap? Atau tetap memilih tenggelam dalam dosa yang kau buat?"

Kenapa dia tidak menjawab pertanyaanku? Perkataannya lebih membuatku frustasi, dibanding rasa takut, aura hangat dari sosok itu membuatku kian bergetar.

Tangannya bergerak menarik pergelangan tanganku, melepaskan pisau yang digenggam seerat mungkin dengan mudah.

"Kau pikir aku bisa berubah? Setelah semua yang telah kulakukan?" Suaraku pecah, terasa berat. Lantas ia tersenyum lebih lebar, membuat dadaku seperti berdesir lebih keras.

"Aku ditugaskan untuk mengawasi dosa-dosamu, yang datang bukan untuk menghukum, tapi untuk mengingatkan, sebelum semuanya terlambat. Kau masih punya waktu, gunakan itu."

Dia bercanda?

"Kau pikir aku bisa berubah? Setelah semua yang telah kulakukan?" Suaraku pecah, terasa berat. "Aku tidak bisa dibimbing oleh malaikat sepertimu!"

Ya, makhluk seperti apalagi dia selain malaikat?

"Aku bukan malaikat." Nada bicaranya memelan. Tangannya masih menggengamku erat, tapi anehnya, tidak sama sekali menyakitkan.

"Iblis?"

Jika kau iblis, akan lebih masuk akal. Memang dia siapa yang mau mengurusi hidupku? Aku melarikan diri ke tempat nenek untuk hidup tenang dari main kejar-kejaran dengan polisi. Tidak boleh?

"Bukan." Dia menghentikan ucapan sesaat. "Aku lebih dekat dengan sesuatu yang kausebut bayangan."

"Dasar tidak jel—"

Pria bertudung kain itu menyela. "Aku bisa menunjukkanmu sesuatu."

"Kalau kau berani, aku akan membawamu ke tempat di mana jawabanmu menunggu."

Aku menggigit bibir, dia memangkas jarak seenaknya sendiri, lantas membuatku berjalan mundur. Baru aku sadar, lantai tempat kami berpijak seharusnya, menjadi hitam yang membalut kekosongan.

Rasanya tubuhku ditarik ke belakang, masuk dalam pusaran gelap. Mencoba berteriak pun rasanya percuma. Tenggorooanku tercekat, sosok itu menghilang dari pandanganku. Seolah jubah dan tudung hitamnya menyatu dengan tempat ini. Dia meninggalkanku. Ternyata seperti ini ya, rasanya ketakutan. Beda dengan saat aku membunuh dua temanku dulu, berbeda juga saat aku tahu napas nenek menghilang.

Aku tidak ingin percaya saat itu aku sendirian.

Pada akhirnya, ketika aku bisa membuka mata, dunia yang menyambut bukan lagi rumah kumuh nenek yang kukenal, yang baru saja kubersihkan rapi tanpa cela. Hanya jurang besar yang menghampar antara kakiku dan orang-orang seberang sana.

Mataku menyipit. Aku tidak salah lihat, orang tua itu membungkuk duduk di atas tanah gersang bak di padang pasir. Nenek, tengah tersenyum ....

Ini bukan situasi mengharukan bagiku. Aku hanya senang, nenek akhirnya bangun dari kasurnya yang tidak empuk itu. Nenek akhirnya membuka mata dan mengangkat dua pipinya itu tanpa suara seraknya ketika sakit.

Tapi kenapa aku tidak bisa mendekat?

Mataku mengedar ke kanan dan ke kiri, berharap ada jembatan yang bisa membawaku menyeberang kepada mereka. Pada nenek, ibu, Ezra dan Selin. Mereka bahagia tanpa aku!

"Mereka berada di alam yang berbeda denganmu."

Suara itu—

"Kau mengangetkanku!!"

—milik orang yang sama dengan laki-laki sok misterius yang datang ke rumahku, dengan tudung kain hitam yang sentiasa menutupi kepala dan wajah itu.

"Namun aku bisa menunjukkan sesuatu yang lebih... menarik," katanya lagi, suaranya terdengar lebih jelas dibanding saat pertama kali dia bicara di rumah. "Kau ingin tahu, bukan? Tentang mereka. Tentang apa yang terjadi setelah semuanya selesai. Kau ingin tahu apa yang ada setelah kematian—setelah semua dosa dan kebenaran dikumpulkan. Aku bisa membawamu melihatnya."

"Kalau aku ikut, apa aku bisa kembali?"

Dia tersenyum tipis, dengan wajah sok misterius menyebalkan itu lagi. "Kau akan kembali—jika kau cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan kaulihat. Kalau tidak..." Dia membiarkan kalimat itu menggantung, cukup untuk membuatku merinding.

"Aku mau."

Lantas setelah mendengar jawabanku, dia tersenyum. Pusaran cahaya melahap segalanya, membawa kami ke tempat yang kata makhluk tidak jelas jenisnya itu sebagai ambang batas antara hidup dan mati.

Sosok berjubah itu terus berjalan, dan aku mengikuti tanpa berkata apa-apa. Begitu tiba di persimpangan, dia memintaku untuk berjalan lebih dulu denganengambil jalur kanan. Waktu yang singkat terasa untuk perjalanan yang jauh—aturan jam dunia mungkin tidak berlaku di sini, kami tiba di sebuah area yang hampir tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Jalan-jalan dipenuhi dengan batu berkilau seolah memang terbuat dari bintang. Langit keemasan dan sungai-sungai berwarna yang mengalir di bawahnya. Apa itu madu, susu, atau air yang terlampai jernih, semua tidak lepas dari rasa takjub.

Di kejauhan, tampak istana-istana besar dengan pilar-pilar emas, masing-masing berdiri megah di tengah taman yang penuh dengan pohon berbuah lebat. Harus kasturi hinggap di indra penciuman, membuat dadaku terasa nyaman, ingin mengirupnya lagi dan lagi, bagai candu yang melebihi pil ektasi.

"Surga bagi mereka yang benar-benar mengabdi, menjaga iman, berbuat baik, dan tidak lalai dalam tugas mereka kepada Tuhan." Berbeda dengan sebelumnya, suara yang menyebalkan itu berubah bijaksana, sampai aku rasa akan percaya jika ia menyebut dirinya sendiri malaikat.

Aku melangkah mendekat, terpana dengan pemandangan yang ada. Seorang pria duduk di bawah pohon, ada wanita lain yang kukira istrinya itu tengah bermain bersama tiga anak kecil di padang bunga. Mereka membuat mahkota dari bunga yang berbeda dari yang ada di dunia. Warna yang beragam, aku tidak hapal jenis warna apa saja untuk membedakan.

Yang jelas, tidak ada kekhawatiran, tidak ada rasa sakit. Semua begitu sempurna, seolah-olah segala hal yang pernah membuatku menderita di dunia ini tidak ada di sini.

Namun, sebelum aku bisa menyerap sepenuhnya kebahagiaan itu, sosok berjubah itu berbalik lagi dan berkata, "Di sisi lain, ada mereka yang memilih jalan berbeda," Kali ini dia lebih serius.

Kami bergerak ke sisi lain dari surga ini, ke sebuah tempat yang lebih gelap, meskipun masih dikelilingi cahaya yang lemah. Di sana, aku bisa melihat sosok-sosok yang berjalan dengan langkah terseok-seok, wajah mereka tampak lelah dan penuh penyesalan. Mereka mengenakan pakaian yang compang-camping, wajah-wajah menderita uang membuatku tidak tahan. Perutku mual dan tenggorokanku mulai sesak.

Tak ayal kami terus berjalan, hingga sampai di tempat penyiksaan. Membuat mataku panas sampai menangis tanpa sadar. Aku bisa melihat kobaran api yang tidak bisa dijelaskan. Ada yang tubuhnya digantung terbalik, disiksa dengan api yang terus menyala, ada juga yang dilindas hingga tubuh mereka remuk, kulit beserta dagingnya menghilang, lalu terbakar habis. Setelah itu mereka kembali seperti sedia kala, dilindas lagi dan lagi, hidup dan mati berkali-kali. Suara jeritan yang menusuk telinga.

Aku tidak kuat.

Bawa aku pergi!

"Aku harus melihat ini?" tanyaku.

"Agar kau tahu apa yang bisa terjadi jika kamu terus mengabaikan peringatan dan kesempatan yang diberikan," jawabnya dengan serius.

Sambil menatap pemandangan itu, aku merasa seperti terjaga dalam mimpi buruk yang tak bisa kubangunkan. Tapi di sisi lain, ketenangan yang ada di surga ini memberikan harapan—mungkin ada jalan untuk kembali, mungkin ada kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum semuanya terlambat.

Tubuhku terasa berat. Jika aku masuk ke sana ... jika tubuh ini terbakar dalam api menggelora itu ....

Aku bersumpah tidak bisa mengatakannya. Tidak bisa menjelaskan perasaan apa ini yang mengikatku seperti rantai berduri.

Saat itu pula, tubuhku bergerak seperti didorong ke belakang. Jantugku berhenti sebentar. Di kegelapan, aku mendengar ribut angin sementara tubuhku tetap kering.

Iya, ada badai salju, dan aku aman di dalam sini. Di rumahku, di samping jasad nenek yang dengan kurang ajarnya belum kukebumikan.

Ya Tuhan, itu hanya mimpi. Mimpi terburuk sampai-sampai membuatku ingin segera bertaubat.

🍀🍀🍀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top