Kalamari
Partner Project: William_Most dan Hanfalis
Code Warna Ring: Nomor 11
Genre: Comedy
Periode: Januari 2025
🍀🍀🍀
Part 1 ditulis oleh: William_Most
Ibu mendandani anak itu sampai rapi, bedak di kedua pipi, rambut basah disisir dan dikucir kembar, setelah selesai tangan berbalut perban memasukkan selembar uang dua ribu ke dalam tas kecil di pinggang.
"Anak manis, anak siapa? Anak Bunda. Mari Mari ini roti mari," ujar Ibu memberi camilan.
Anak bernama Mari itu menerima dengan senang, kemudian menyimpan roti tersebut ke tasnya. Dia berlari ke halaman untuk menyusul teman-teman seumuran yang juga telah rapi.
Langit oranye di atas kepala tidak terasa panas, berkat naungan dahan pepohonan rindang. Burung-burung berkicau merdu. Mari berjalan riang gembira menyanyikan lagu, sampai tahu-tahu terpisah dari rombongan.
Anak itu berada di depan sebuah rumah kosong terbengkalai, rumput dan semak liar tumbuh lebat di halaman. Pintu rumah tampak hampir lepas dengan jendela kaca pecah. Mari yang penasaran memasukinya dengan hati-hati.
Sejak umur tiga, Mari selalu menjadi anak yang menurut. Ketika banyak noda merah di bantal serta kasur, dia diberi tahu bahwa itu adalah bekas cairan obat nyamuk untuk memberantas demam berdarah. Mari mengangguk paham. Waktu melihat plester dan perban memenuhi tubuh ibunya, dia diindahkan bahwa si ibu sedang jadi atlet anggar. Mari mengangguk-angguk mengerti.
Saat menemukan seorang pemuda yang tidur-tiduran sendiri, Mari dinasihati untuk membangunkan sampai matanya terbangun. Sama seperti di hadapan anak itu sekarang.
"Kakak, Kakak sedang apa di rumah yang kosong ini? Lagi petak umpet, ya?"
Sesosok tubuh terbujur kaku menghadap tembok, punggung yang tampak kurus membelakangi Mari. Baju kaus biru terlihat lusuh, celana jin penuh debu. Rambut dekil dan saling menempel seperti lengket, warna kulit sawo matang hampir menyatu kegelapan.
Karena tak mendapat balasan, Mari mulai menggurui menyerupai kala dia dimarahi guru mengajinya. Tangan berkacak pinggang, telunjuk teracungkan. "Kata Bunda, tidak baik tidur di atas lantai, Kakak cari kasur dan pindah, yuk!"
Beberapa detik telah berlalu, tetapi masih tak ada respons. Mari menggembungkan pipi dan mengerucutkan bibir.
"Kakak kayak kakak Mari, kerjaannya tiduuur doang! Enggak sekolah, enggak kerja. Di rumah enggak mau bantu bersih-bersih. Bunda jadi capek, Ayah juga. Mari sih masih peduli, jadi Kakak juga harus bangun!"
Mari mendekat, lalu berjongkok. Dia terus memperhatikan punggung tubuh yang terbujur. Anak itu kemudian mendapatkan sebuah pikiran, mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
"Oh, Mari tahu! Kakak pasti lagi lapar, ya? Belum makan, kan? Nih, Mari ada roti mari kesukaan Mari."
Sayang, tangan seperti tinggal kulit pembalut tulang tak terulur untuk menerima roti di tangannya. Mari semakin kesal.
"Kakak? Kakak? Hei, Kakak?"
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari sosok tinggi gelap di pojok ruangan. Sosok dengan rambut amat panjang hingga menutupi seluruh muka, tumbuh sampai kaki. Katanya, dia pemilik rumah ini dahulu. Sosok itu merasa terusik menunjuk tubuh terbujur kaku yang menghadap tembok. Mari merasa dia bisa bertanya.
"Kakak ini enggak mau bangunkah?"
Sosok itu mengiakan. Katanya, orang di sana sudah mati.
"Udah enggak bisa jalan kayak yang lain?"
Pertanyaan Mari dibalas anggukan.
"Berarti udah enggak bisa hidup lagi?"
Itulah arti dari kematian, Nak.
"O, walah, gitu ya."
Mari mengangguk-angguk paham. Anak itu menyimpan rotinya ke dalam tas, dia kemudian berdiri berbalik pergi meninggalkan rumah kosong dan mayat orang itu.
🍀🍀🍀
Part 2 ditulis oleh: Hanfalis
Kala memandang Mari yang sibuk menyodorkan roti ke tubuh di lantai. Ia mengerutkan dahi, bingung. "Aneh, kenapa ada orang tidur di sini? Itu kan ... bukan gue. Eh, atau gue ya?" gumamnya, mencoba meraba situasi yang terasa seperti mimpi buruk.
Mari melipat tangan di pinggang, menatap tubuh itu dengan wajah jengkel. "Kakak, bangun dong! Nggak baik tidur di lantai."
Kala tertawa kecil, walau bingung. "Haha, iya bener, nggak baik. Tapi kenapa gue nggak bisa keluar dari sini, ya? Udah coba bolak-balik, tetep aja balik ke tempat ini."
Mari menatap Kala sebentar, lalu melirik tubuh yang terbaring di lantai. "Mungkin Kakak kebanyakan tidur, jadi malas gerak. Kata Bunda, kalau malas, nanti jadi batu!"
Kala menghela napas, mencoba mengabaikan rasa aneh yang merayap di dirinya. "Iya juga, ya. Tapi gue nggak ngerasa jadi batu. Eh, tunggu, itu siapa sih yang tidur di sana?"
Mari mengangkat bahu. "Kakak kali, lagi ngelindur. Nggak sadar kalau udah bangun."
Kala terdiam sejenak, menatap tubuhnya sendiri dengan bingung. "Masa sih? Kok mirip banget gue, ya?"
Mari tersenyum lebar, seperti tidak ada yang aneh. "Nah, Kakak butuh vitamin biar nggak malas lagi. Nanti jadi kuat dan bisa main sama Mari!"
Kala mengangguk pelan, mencoba menerima absurditas ini. "Vitamin ya ... mungkin juga. Tapi, kenapa rasanya kayak gue lupa sesuatu?"
Mari berlari keluar, meninggalkan Kala yang masih termenung, menatap tubuhnya sendiri dengan kebingungan yang makin dalam. Perlahan, kenyataan mulai menyelinap masuk, meski ia belum sepenuhnya sadar bahwa ia sudah meninggalkan dunia fana.
---
Kala berdiri di tengah kegelapan yang suram, menggenggam kertas lusuh yang ia temukan di kantongnya. Dengan hati-hati, ia membacanya:
"Selamat istirahat dengan tenang di alam sana, Kakak. – Mari."
Kala menatap kertas itu dengan alis terangkat, merasakan ironi yang menohok. "Selamat istirahat? Jadi gue udah mati? Serius, Mari?" gumamnya, campuran antara sarkasme dan kekesalan.
Ia menghela napas panjang, menatap sekeliling. "Mari masih hidup, tapi gue malah nyasar di neraka. Pas banget, ya." Ia tertawa getir, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan yang semakin menegaskan tempatnya. "Dan gue disuruh istirahat tenang? Di neraka? Mari, bocah sialan, bener-bener ada-ada aja."
Kala melangkah perlahan, mencoba memahami suasana neraka: kabut tebal, api menyala-nyala, suara jeritan di kejauhan. "Ya, beneran neraka. Keren juga, sih," ujarnya sambil tersenyum pahit, menatap kekacauan di sekitarnya.
Dari belakang, suara berat yang menyeramkan terdengar. "Kala, si pendosa. Selamat datang di neraka."
Kala menoleh dan melihat sosok besar bertanduk dengan mata merah menyala. Alih-alih takut, Kala malah mengangkat alis. "Oh, jadi beneran gue di neraka. Ya, nggak kaget sih. Tapi, boleh tanya nggak? Ada tempat tidur nggak di sini? Katanya gue disuruh istirahat tenang."
Makhluk itu terdiam, tampak terkejut oleh sikap santai Kala. "Istirahat di neraka? Tidak ada yang seperti itu di sini."
Lelaki itu menghela napas lagi, menatap makhluk itu dengan wajah datar. "Jadi gimana nih? Gue disuruh ngapain sekarang? Nggak ada sambutan minuman dingin, gitu?"
Makhluk itu tampak bingung, tidak terbiasa menghadapi manusia yang begitu santai di neraka. "Kamu akan menjalani siksaan abadi."
Kala tertawa kecil, mengusap wajahnya. "Siksaan abadi, ya? Hmm, kedengarannya nggak asik. Tapi yaudah, mau gimana lagi. Gue udah di sini."
Makhluk itu masih tampak bingung. "Kamu tidak takut?"
Kala mengangkat bahu, seolah tak peduli. "Takut? Udah terlambat buat takut, bos. Lagian, gue udah mati, kan? Jadi ya ... santai aja."
Makhluk itu menggelengkan kepala, tampak terhibur meski bingung. "Kamu aneh. Tapi baiklah, selamat datang di neraka."
Kala tersenyum kecil, menatap makhluk itu. "Makasih, bos. Oh, ngomong-ngomong, kalau ada yang butuh hiburan, kabarin gue ya. Siapa tahu gue bisa bikin neraka ini jadi lebih seru."
Makhluk itu tertawa kecil, kemudian berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan. Kala hanya berdiri di sana, menatap langit neraka yang penuh api dan asap.
"Mari, kalau lo bisa denger gue, semoga lo nggak nyusul ke sini. Tapi kalau lo mau, bawa cemilan ya," ucap Kala sambil tersenyum kecil, melanjutkan langkahnya menuju ketidakpastian neraka dengan sikap santai dan humor gelap khasnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top