Aku dan Petualangan Mencari Ayah
Partner Project: loficionist dan Clynoqia
Code Warna Ring: Nomor 17
Genre: Adventure
Periode: September 2024
🍀🍀🍀
Part 1 ditulis oleh: loficionist
Samar-samar kudengar derap langkah kaki manusia, semakin lama semakin jelas dan kemudian kembali menghilang di pertigaan gang.
Membuat kesadaranku kembali ke permukaan, aku menguap panjang, lantas mulutku memcecap rasa daging yang terakhir kali kumakan.
Kusadari bahwa tubuhku terasa begitu pegal sehingga aku mencoba bangkit dan meregangkannya sejauh yang dapat kujangkau dalam beberapa waktu, kemudian aku berhenti dan otot-ototku kembali rileks, nyaman sekali.
Mataku perlahan membuka, sinar mentari sudah menyusup di antara genting yang menaungi gang tempatku tidur siang.
Dinding semen berlumut yang tak rata menjadi pemandangan pertama ketika mataku kembali fokus untuk sekadar menyadari bahwa alasku tidur barusan adalah tangga berkaki empat bekas yang sudah dimakan rayap kemudian dibuang oleh pemiliknya.
Kemudian aku berjalan ke salah satu sudut kayu. Di mana kudapati tong sampah besar kelabu yang biasa ibuku lalui untuk memiting tengkukku untuk kemari.
"Di mana ibuku?" gumamku.
"Ibu? Ibu ... ibu? Ibu? Ibu! Di mana ibu berada?"
Di tengah kebingunganku, suara grasak-grusuk dari arah tong sampah membuat telingaku berkedut.
Kemudian aku memperhatikan badan berbulu, berkaki dua dengan masing-masing memiliki tiga jari berkuku yang dipakainya untuk mengoreh tumpukan plastik hitam lembab yang sudah ditinggalkan berhari-hari di dalam sana.
Sedikit penasaran, aku menunduk menatap jarak yang harus kulewati untuk sampai di permukaan atas tong sampah yang cat lapisnya terkelupas sehingga memiliki banyak karat di sudutnya.
Kayu berserat yang kupijaki ini cukup kasar, jika aku perlahan berjalan ke sana, maka aku akan baik-baik saja.
Kemudian kakiku perlahan berjalan ke sana melewati jalur terlampau miring.
Dan pada akhirnya aku melompat, karena kemiringannya tak sanggup lagi kutahan.
Dan pendaratanku menghasilkan getaran pada permukaan tong sampah tersebut.
"Suara apa itu? Gempa bumi?" terdengar gumaman dari makhluk berbulu saat kepala berparuhnya bergerak menatap langit, memastikan apakah kabel-kabel panjang yang tergantung di atas sana bergoyang atau tidak.
Ini pertama kalinya aku melihat makhluk berbulu seperti itu, langkahku terbawa untuk mencoba mendekat dan mengendusnya.
"Plastik-plastik ini berasal dari mana, sih? Tidak bisa kah manusia langsung membuang sisa makanannya terpisah saja biar aku tidak mengikuti kebiasaan ayam." Kakinya terus mengais.
"Permisi, tuan berbulu, aku ingin bertanya sesuatu," tanyaku.
"Apa-apaan makhluk ini, apa kau tidak melihat aku sedang sibuk?" Ia hanya menoleh sekejap kemudian kembali mencari makanan.
Kemudian di bawahnya, sesosok makhluk merayap bergerak liar berwarna kecokelatan.
Sontak aku terkejut dan tak sengaja mendesis, tubuhku dengan otomatis menegang.
"Tertangkap kau!" Seru si makhluk berbulu saat paruhnya mengapit makhluk cokelat. Beberapa waktu kemudian dia mematuknya dan menelannya.
"Sekarang aku kenyang, sepertinya berjemur akan bagus sekali."
Aku semakin mendekat ke arahnya. "Maaf tuan berbulu, apakah kamu melihat ibuku?"
"Bocah kucing ini, kau tak akan pernah bertemu dengannya lagi, kecuali kau mencarinya ke arah sana." Paruhnya mengarah ke gang becek di sebelah kiri. "Sekarang pergi dan jangan ganggu aku."
Kemudian hidungku mengendus ke arah yang ditunjuknya. "Um, apa kau yakin kalau ibuku pergi ke arah sana?"
"Seratus persen yakin," ucapnya sambil melirik ke arah lain.
Kalau begitu aku harus ke bawah lagi. Aku melihat sebuah jalan yang cukup landai. Ada keresek besar di sebelah tong sampah dan beberapa tumpukan keresek sampah kecil di sekitarnya.
Kemudian aku berjalan di atasnya, dan tiba lah di permukaan yang disemen kasar.
Buliran air menetes dari pipa yang bersambung dengan atap tembok, membuat genangan yang membuatku terdistrak dari mencari ibu.
Aku haus, dan air di situ sepertinya bisa kuminum.
Aku mendekatkan hidungku ke arah air dan mengendusnya. Tak ada bau.
Kemudian aku menjilat-jilatnya sampai dahagaku hilang.
Tak lama dari itu, aku mendengar suara yang begitu familiar yang sedang kucari.
"Anakku! Wahai anakku! Aku membawa sesuatu yang akan mengenyangkan perutmu! Kemari lah anakku!" Suara ibu menggema begitu keras di tengah gang kecil nan panjang yang diapit bangunan-bangunan manusia.
Aku berlari kegirangan ke arah suara ibu.
Suara ibu ternyata ada di arah lorong yang berbalik dengan yang kutuju barusan, tapi tak apa, yang jelas aku berhasil menemui ibuku dengan mengikuti saran dari tuan berbulu.
Kemudian ia menjatuhkan apa yang sejak tadi digigitnya untuk kusantap.
"Ini, makan lah."
"Makanan apa ini ibu?" Aku mengendus santapanku saat ini, aromanya begitu menggugah.
"Daging yang manusia sajikan." Lidah ibu menjilati jemari kaki depannya.
Warna luar daging itu kecokelatan dan belahan di dalamnya berwarna putih juga tebal.
"Baiklah, aku akan memakannya."
Saat taringku mulai menggigit pertama kali, rasanya begitu memukau indera pengecapku, dagingnya lembut yang mudah dikunyah olehku, aromanya seperti aroma kolam air.
"Ini makananku! Tidak boleh ada yang mengambilnya! Siapa pun tak boleh mendekat!" ucapku di sela-sela gigitanku.
Dari jauh, aku mendengar teriakan tuan berbulu.
"Hei, anak kucing! Makanmu rakus sekali! Belum makan seribu hari, ya?"
□●□●□
"Ibu, di mana bapakku?" Aku merapatkan tubuhku ke kaki ibu yang jenjang.
"Um, ibu lupa ayahmu yang mana, banyak pria yang kukencani soalnya bulan kemarin-kemarin."
"Kenapa seperti itu?"
"Kamu akan mengerti kalau kamu sudah dewasa." Ibu mulai merebahkan dirinya pada lantai bersemen kasar yang terkena cahaya yang hangat dari langit.
"Tapi aku sudah dewasa, bu!"
"Tidak dengan tubuh mungilmu, bahkan sampai harus kubawa ke tempat aman supaya kamu tidak dibunuh karena mirip bapakmu. Kucing lain tidak akan senang melihatku memiliki anak dari pria selain dirinya."
Aku mendekatkan kembali tubuhku sambil bermain dengan ekor ibu yang bergerak ke sana-kemari. "Mengapa seperti itu?"
"Mereka mengikuti intuisinya." Lantas ibuku menguap dan kembali menjilati bagian tubuhnya yang lain.
"Aku ingin sekali melihat bapakku, Bu. Boleh kah aku mencarinya?"
"Jiwa kucing selalu haus akan perjalanan dan harus menuntaskan apa yang ingin dicarinya," ucap ibu yang tidak terlalu kupahami.
"Apa maksudnya itu, Ibu?" Kini ekornya tergigit olehku, tetapi ibu mengangkatnya dan kembali terlepas dari cengkeramanku.
"Boleh, tapi kamu harus mencari makanan yang baik selama berpetualang."
"Baik lah, Ibu."
Setelah mendapat izin dari ibuku, aku berpamitan dengannya, dan memulai pencarian bapak.
Sebelum benar-benar pergi, aku berbalik kemudian memperhatikan bangunan di mana aku tinggal sejenak.
"Sampai ketemu lagi, Ibu!" Teriakku yang kutahu tak akan terdengar olehnya.
Kemudian aku berlarian di permukaan bersemen kasar sampai aku mencapai pertigaan gang.
Dengan intuisiku, aku berbelok ke kanan, di mana terdengar suara bising sesuatu yang mengerikan di telingaku.
Aku mencoba menenangkan degup jantungku, kemudian mencoba melangkah ke sumber kebisingan itu.
Tempat di hadapanku sepertinya ujung dari lorong, di mana cahaya matahari begitu terang menyinari tanah yang biasanya kulihat cukup gelap.
Permukaan di depanku tampak berbeda, tidak kasar. Dan lebih jauh lagi aku memandang, permukaannya sangat rata dan berwarna hitam, benda-benda bising bergerak ke dua arah berlawanan. Membuatku gugup.
Lalu suara langkah tergesa mengejutkanku, semakin lama semakin berisik. Aku tidak terbiasa mendengarnya kemudian berbalik dan mencoba meninggalkan tempat itu sekencang mungkin, mataku melihat kardus yang sudah reyot juga sedikit basah, tetapi sepertinya masih bisa menjadi tempatku bersembunyi.
Sekarang aku bersembunyi di dalam kardus.
"Huft, aku tidak tahu kenapa tempat itu sangat bising."
Setelah lama berdiri, aku menempelkan kepala di atas kaki depanku.
Tak lama dari itu, suara lain membuat telingaku berkedut lagi, lantas menoleh.
"Maksudmu jalan raya itu?"
Kulihat sesosok kucing yang tampaknya dia sudah sangat lama tinggal di sini.
Bulunya keabuan dan terlihat kusam, kumisnya banyak sekali dan sangat panjang.
"Apa itu jalan raya?"
"Itu tempatnya manusia," jawabnya. "Apa yang sedang dilakukan seekor anak kucing di sini?"
Kucing tua itu duduk diam di atas batu besar di samping kardus reyot.
"Aku ingin menemui bapakku."
🍀🍀🍀
Part 2 ditulis oleh Clynoqia
Kucing tua itu terbatuk, atau terkekeh sampai batuk-batuk? Dia melompat turun dari batu, bulu abunya bergoyang. Kumis keriting itu bergetar kala mengendusku.
"Aku kaget karena baru kali ini menemui anak kucing mencari bapaknya." Dia melenggang melewati kardus dan melompat tipis di antara koran-koran basah yang menyampah. Aku mengintilinya di belakang. "Setelah menemuinya, apa kau berharap dia mengurus makan dan tempat tinggalmu?"
"Tidak begitu. Aku hanya ingin bertemu dengannya, Tuan."
"Hei, lihat." Kucing tua lagi-lagi melompat, kini ke atas kotak soju. Matanya menyuruhku memperhatikan jalan raya. "Ada puluhan bahan ribuan kucing jantan di kota kumuh ini," ungkapnya. "Kau ingin mencarinya seumur hidup? Bapakmu yang menelantarkanmu itu."
"Ibu bilang aku sengaja dijauhkan darinya, bukan dia yang membuangku!" teriakku. Kucing tua meregangkan tubuhnya dan menguap sebelum dia berlenggang lagi. Aku berusaha mengejarnya dengan kaki mungilku.
"Tuan terlihat mengerti tempat ini, boleh aku pergi bersamamu?"
Dia berjengit, memamerkan taringnya dan mendesis sinis. "Aku tidak suka diikuti, Nak. Jadi, uruslah urusanmu sendiri. Bukannya kau sudah dewasa sehingga memilih berkelana?"
Walaupun begitu, si kucing tua perlahan memelankan langkahnya. Kepalanya menoleh ke sana kemari dengan hidung naik turun.
"Kau tahu? Kucing lebih baik hidup individual. Kau mau pakai cara apapun; menjilat manusia, memakan bangkai, bertarung, dan bersanggama, semuanya asal hidupmu terjamin, maka halal," jelasnya. Dia menoleh ke arahku sekilas sebelum kembali bersuara, "melihat tampilanmu yang kurus kering padahal masih muda, kurasa kau sudah tahu,
"Dunia berpihak padamu jika kau pintar dan menggemaskan. Sisanya? Jika kau bersikap liar atau sembrono, mereka akan menendangmu bahkan memukulimu."
"Aku ... tidak mengerti maksudmu, Tuan."
"Wajar, kau masih hijau. Tapi satu hal yang patut dibanggakan dari hidup sebagai kucing."
"Apa itu?"
"Kau tidak perlu seperti anjing."
Aku tidak sempat bertanya atau menanggapi argumen miliknya itu sebab dia sudah mengeong panjang mendekati satu raksasa besar, menggosok-gosokkan wajahnya ke betis raksasa itu dan melilit ekornya di sana.
Sedang apa dia? Menggoda?
Aku hanya bisa menyapir ke pinggir dekat tong sampah saat kucing tua itu mulai mengejar raksasa yang membawakan makanan padanya.
Oh, benar. Dia sedang menggoda.
Jika dilihat-lihat, banyak raksasa yang melewati jalan raya. Besar mereka variatif. Wajah mereka semua jelek dan mirip-mirip. Juga, mereka mengeluarkan suara-suara yang berbeda saat melihatku.
Aku terganggu dengan suara keras mereka dan telapak besar yang berusaha meraihku. Semakin aku berlari, semakin aku menjauh dari gang tadi. Aku kehilangan arah dan hanya menelusur dengan mencium bau sedap dari satu bangunan.
Seolah dituntun ke arah sana, kakiku berlari walau sedikit terseok dan sesekali terkilir jatuh. Sampai mataku menangkap satu makhluk mungil hitam yang keluar dari dalam got dan berlari mendekati tong sampah dekat bau sedap.
"Hei, hei! Kenapa larimu kencang sekali!" teriakku berusaha menyaingi kelincahannya. Saat aku mengejar, dia akan kabur. Saat aku berhenti di tempat, dia malah menoleh menghadapku. Aku bingung.
"Kenapa kau tidak mengejarku?" tanya makhluk mungil itu sembari merangkak mendekatiku.
"Kenapa harus?"
"Kelompokmu biasanya melakukannya."
"Oh, iya? Aku tidak tahu mereka benar-benar ingin bersaing denganmu dalam kelincahan."
"Bukan begitu, bodoh. Kucing dan tikus sejak dulu bermusuhan," ralat makhluk mungil itu sambil mencicit.
"Apa artinya aku memangsamu?"
Tikus got itu menyelip ke sela tong sampah untuk mengutip sisa-sisa makanan. Hidungnya yang panjang naik turun saat mengendus.
"Tidak juga. Jenismu kebanyakan mementingkan kebersihan dan menganggap kami kotor, ditambah para manusia yangs ering mengadu domba," jelasnya disela menggerogoti kaleng sarden. "Alih-alih memakan kami, kalian memburu untuk dipamerkan ke majikan, mendapat pujian dan sandang pangan gratis terus menerus."
Tikus itu kaget saat aku berjalan mendekatinya untuk ikut menjilati kaleng sarden yang ada di sana. Rasanya lebih enak daripada baunya. Saat tikus itu menggerogoti kantongan berbau sedap, keluar dari sana cairan hijau kebiruan yang mencolok.
"Sementara kami? Kau lihat, ini cara kami hidup. Sederhana tanpa bersikap sok polos dan manipulatif," tandasnya tergesa-gesa melahap daging hijau yang tampak lengket dan kenyal. Kelihatannya enak, tetapi entah kenapa aku tidak tertarik.
"Kau sepertinya membenci kami," ucapku ragu. "Tapi aku tidak. Aku menganggap cara hidupmu keren, dan ingin belajar darimu! Soalnya aku butuh persiapan untuk mencari bapakku nanti, 'kan?"
"Bapakmu?" Dia rela menjeda makannya demi menaikkan hidung ke arahku. Setelah menyunggingkan senyum yang tidak kuketahui artinya, dia bergumam, "jaman sekarang masih ingat mamak bapak? Aku bahkan dari lahir yatim piatu, ahahah."
"Kau tidak berniat mencari mereka?"
"Untuk apa? Mereka saja tidak peduli padaku."
Aku mulai memutar seluruh adegan di kepalaku tentang bapak dan ibu. Tidak ada kenangan apapun tentang bapak. Sementara ibu ... tidak banyak, karena dia sering meninggalkanku beberapa hari sendirian kemudian pulang tengah malam atau tidak akan mengingatku jika aku tidak mencarinya.
Kurasa itu biasa saja?
Dari dinding berlumut yang dingin tiap malam atau kardus basah tidak tahan hujan, tempat-tempat seperti itu sering kujadikan rumah inap. Kami hidup berpindah-pindah. Kalau kata ibu, 'tidak ada tempat tinggal, yang ada tempat bertahan. Tempat yang menyediakan makanan barang untuk sehari.'
Sosok bapak yang diceritakan pun tidak jelas. Aku tidak tahu bagaimana bentuknya. Jika kata ibu dia hampir membunuhku karena mirip, berarti kurang lebih ciri fisik kami serupa.
Bolehkah dikatakan mereka sebenarnya peduli padaku tetapi dunia melarangnya?
Karena setiap makhluk dituntut hidup masing-masing.
"Kau akan mati dengan keadaan kurus kering dan gemetaran itu." Suara si Tikus membuatku tersadar. Dia melempar sekaleng kornet sisa yang di dalamnya terdapat bangkai beberapa serangga. "Berhenti menjulurkan lidahmu yang menghitam itu. Kalau kau lapar, makan saja."
"Aku ingat pernah makan makhluk kecil-kecil ini sebelumnya."
"Oh, benarkah? Aku pikir jenismu sangat menghindarinya."
"Waktu itu aku lapar sekali."
Aku tidak sadar tubuhku semakin gemetaran. Napasku terengah-engah, rasanya sesak dan setiap menelan ludah sakit sekali. Aku coba menggelengkan kepala berkali-kali sampai mengambil langkah mundur ke pojok tatanan kayu lapuk. Tubuhku semakin lemah dan sulit membuka mata.
Kemudian aku hilang kesadaran.
Rasanya seperti tidur yang tenang sebentar dan merancang rencana mencari bapak ke depannya. Aku tidka bermimpi, hanya tidur pulas. Tidak tahu sudah berapa lama pingsan, tubuhku digoyang-goyangkan keras, seolah dipaksa untuk terbangun saat itu juga. Saat kelopak mata terbuka, aku tidak melihat si Tikus, melainkan makhluk yang tubuhnya dua kali lebih besar dari Kucing Tua lalu. Tetapi moncong dan telinganya sangat berbeda dari kucing.
Dia bukan kucing.
"Hola! Apa istirahatmu cukup, teman?" sapanya dengan binar mata cerah dan dia lidah yang terjulur sembari mendesah. "Aku senang kau menyempatkan tidur dan merasa bersalah karena membangunkanmu. Maaf ya, tapi aku ingin menyapamu!"
"O-oke?"
"Aku anjing!"
"Hai, anjing!"
Makhluk itu tertawa sambil mengangkat kakinya dan berputar-putar bahagia. "Manusia sering menggunakan namaku untuk mengumpat. Jadi, saat kau memanggilku tulus itu terdengar menyenangkan!"
Kalau dipikir-pikir tampilannya juga sangat bersih dan bugar, dia anjing yang sehat. Dia membantuku berdiri dan mendorongku dengan moncongnya untuk berjalan.
Apa dia ingin berjalan bersamaku.
"Omong-omong, kau mau ke mana? Akan kutemani."
Akhirnya!
"Apa kau tidak masalah?" tanyaku malu-malu. "Seekor kucing tua mengatakan untum jangan menjadi sepertimu."
Anjing itu menganggukkan kepalanya. "Dia teman lamaku! Itu benar, terkadang kau tidak boleh terlalu loyal. Tapi aku tidak menyesalinya, kok! Ditelantarkan," jelasnya serius. "Lagipula, sendirian ternyata menyenangkan. Tapi karena aku sudah terlalu lama sendirian, akan menyenangkan jika menemanimu bertualang."
Aku mengembangkan senyum dan menggoyangkan ekor ke sana kemari tanda antusias. Terus terang aku mengatakan, "Aku sedang mencari bapakku!"
"Oke, terus?"
"Tapi aku tidak tahu dia di mana."
"Tidak ada petunjuk apapun?"
"Dia mirip denganku!"
Kami berjalan begitu santainya di atas trotoar. Di tengah decit ban dan bunyi klakson, luminer jalan yang sorot tubuh, gedung-gedung pencakar langit yang mulai terlihat, sampai langit senja yang membumbui suasana. Gambaran betapa sibuknya dunia saat ini; jelang petang hari.
Tiba di hadapan kami jalan raya. Anjing berhenti melangkah, dan matanya fokus ke toko sebelah kanan.
"Apa itu ayahmu?" tunjuknya dengan moncong.
Aku menoleh ke arah toko yang dimaksud. Dari sana terlihat seekor kucing berkelahi dengan kucing lain. Suara auman khas saling beradu dan sesekali mereka mencakar satu sama lain; berbalasan lalu menggeram kemudian.
Salah satu dari mereka mirip denganku.
"Bapak?"
Kucing jantan belang cokelat keemasan itu berlari karena dikejar dengan lawannya.
"Bapak!"
Aku spontans ikut mengejar kucing yang kuduga adalah bapak. Meneriakinya saat dia dengan gegabah menyebrang jalan tatkala
truk besar melintas kencang.
"Bapak, awas!"
Kendaaran besar nan tinggi, melaju tanpa dapat melihat makhluk kecil di bawahnya. Melindas dengan mudah, tanpa beban, tanpa perasaan bersalah.
Untungnya aku sempat memeluk tubuh bapak. Apakah artinya kami berdua mati terlindas?
Tidak, hanya ada satu tubuh yang tergeletak berceceran dengan cairan hijau kebiruan. Bagian perutnya robek dan isinya keluar semua.
"Bapak? Bapak ..., bapak!"
Aku hanya bisa terus berteriak memanggilnya tanpa tahu dia bapakku atau bukan. Mengakhiri petualangan pilu ini dengan tangisan yang entah buat apa dan untuk siapa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top