Part 19

Part 19 Tujuan Naura 

“Aku sudah memberikan semua itu untukmu di hadapan keluarga Sean, Naura. Semaksimal yang kubisa sebagai Jihan dan menantu keluarga ini. Selebihnya tergantung usahamu dan Sean untuk membujuk mama Sean. Kenapa kata-katamu terdengar kesal padaku?”

“Aku memang ya.” Naura maju dua langkah.  Berdiri tepat di hadapan Jihan.

Jihan terdiam. Tak hanya menemukan kekesalan di wajah cantik itu, tapi juga kebencian yang ia sendiri tak mengerti tiba-tiba menjadi sebesar ini.

“Kau tahu, kehamilan ini membuatku lebih defensif dan cemas setiap kali melihatku. Aku takut kau akan kembali merebut Sean dariku dan anak ini. Jadi pahami jika aku memang kesal padamu, Jihan.”

Jihan tak membalas. Tak tahu harus membalas apa. Pandangannya bergerak turun. Melihat telapak tangan Naura yang mengelus lembut perut wanita itu. “Ya, lakukan apa pun yang kau inginkan. Aku tak seharusnya mempermasalahkan hal ini, kan. Aku yang sudah merebut Sean darimu. Jika kau begitu takut berpapasan denganku, mama Sean menempatkanmu di ruang tidur paling ujung agar kita tidak saling bertemu. Dia sangat memahami situasi canggung kita. Sebagai istri dan kekasih Sean.”

Kedongkolan di wajah Naura seketika membeku.  Mulutnya menipis dan ujung bibirnya berkedut. Apa? Jadi ia memang sengaja diasingkan agar tidak  bertemu Jihan?

Ck, betapa liciknya wanita tua itu.

“Dan lain kali aku tak akan membuka pintu kamar jika kau yang datang. Tadi kau sendiri yang menerobos masuk ke sini.”

“Apa? Kau menyalahkanku?”

Jihan menggeleng dengan wajah polosnya. “Aku berusaha membuatmu merasa lebih baik  berada di rumah ini. Sama sekali tak ada niat apa pun.”

Naura semakin dibuat tak berkutik. Kesulitan untuk memancing pertengkaran di antara keduanya. “Kau belum menjawab pertanyaanku.  Kapan kalian akan bercerai?”

“Tentang itu, kau bisa tanyakan pada Sean sendiri. Aku sudah lelah membahas hal ini dengannya.” Jihan kemudian berbalik dan berjalan ke pintu. Bersamaan dengan Sean yang hendak membuka pintu.

Keduanya saling terpaku selama beberapa saat,  Jihan menyelinap di antara pintu dan pria itu lalu berjalan turun.

“Sean? Kau sudah pulang?” Naura lekas mendekat saat kaki Sean bergerak hendak menyusul Jihan.

Sean hanya menatap punggung Jihan yang mulai bergerak turun. “Apa yang kau lakukan  di sini?”

Naura tersenyum miris. “Aku perlu bicara dengannya tentang situasi kita, kan. Aku hanya berusaha membujuknya untuk tidak menceraikanmu. Tapi dia bilang hubungan pernikahan kalian renggang seperti ini bukan karena aku dan semua ini tidak ada hubungannya denganku. Apakah benar kalau hubungan kalian memang sudah lama memburuk? Karena dia masih mencintai Gavin.”

Sean mengerjap dengan kalimat terakhir Naura.

“Kenapa kau tidak melepaskannya saja, Sean? Dia terlihat begitu menderita dengan pernikahan  ini.”

Dada Sean terasa sesak dengan pertanyaan tersebut. Ia mungkin akan melepaskan Jihan, saat wanita itu membuka mata terhadap Gavin.

Sean menarik tangannya. “Pergilah ke bawah. Aku sendiri yang akan mengurus masalah ini.”

Naura mengangguk. Masih mempertahankan senyumnya seapik mungkin ketika Sean berjalan melewatinya dan menutup pintu kamar.

Senyum Naura berubah menjadi senyum picik. Komunikasi di antara Sean dan Jihan terlihat begitu buruk. Memberinya kesempatan untuk menyelinap di antara pernikahan mereka dan sepertinya semuanya akan menjadi lebih mudah untuk kembali ke posisinya.  Menjadi nyonya di rumah ini.

*** 

Jihan kembali ke kamar setelah makan malam lebih dulu. Tak ingin bergabung  di meja makan Naura. Karena sedang hamil, Sean pasti tak akan membiarkan wanita itu melewatkan jadwal makan. Begitu pun dengan darinya,  yang harus memperbaiki sendiri jadwal makannya.

Sean baru saja keluar dari ruang ganti dan sudah mengenakan piyama. Berjalan mendekati Jihan yang sedang memilah kantong belanjaan  di sofa dan mengulurkannya beberapa kantong pada Sean. 

“Tadi mama membelikanmu beberapa pakaian dan dasi. Aku akan menatanya di lemari dan ini kau bisa memberikannya pada Naura. Kehamilannya semakin besar, dia pasti membutuhkannya.”

Sean menatap tiga kantong tersebut. “Kenapa kau memberikan padanya? Kau tahu mama membelikan semua ini untukmu.”

“Semua menggunakan uangmu, kan. Dia juga berhak mendapatkannya. Bahkan lebih berhak.”

Kedua alis Sean bertaut. “Apa maksudmu?”

Jihan menggeleng. Meraih tangan Sean dan menyangkutkan tali  anting tersebut di telapak tangan Sean lalu berbalik dengan membawa kantong-kantong lain di sofa ke ruang ganti. 

“Tak perlu cemas mama akan memarahinya,” tambah Jihan saat Sean menyusul masuk. Masih tampak gusar. “Mamamu selalu menuruti semua keinginanku. Kita bisa mengambil manfaat dari itu meski aku sama sekali tak mengurangi rasa hormat dan sayangku padanya. Agar mamamu bisa menerima Naura di rumah ini.”

“Apa?” Sean semakin tak memahami ke mana arah pembicaraan Jihan. “Mama tak perlu menerimanya di rumah ini, Jihan.”

Jihan terdiam. “Kau akan membawanya tinggal di apartemenmu?”

“Kenapa aku harus membawanya ke apartemenku?”

“Ah ya, kau pasti cemas jika dia sendirian di malam hari.”

“Sebenarnya apa yang kau bicarakan, Jihan?!”

“Kita sedang membahas hubunganmu dan Naura. Agar dia merasa lebih nyaman ketika bergabung bersama keluargamu.”

“Apa?” Mata Sean membelalak tak percaya.  “Dia bisa mengurusnya. Dan lagi, semua tidak seperti yang kau pikirkan. Dia ada di rumah ini karena …”

“Sean? Jihan? Di mana kalian?” Suara Vivian yang mengintip dari balik pintu menginterupsi pembicaraan di antara keduanya. 

Jihan berpaling lebih dulu. Keluar dari ruangan dan menyambut sang mertua. “Ya, Ma?”

“Mama dan papamu datang. Turunlah, kita makan bersama.”

“Jihan baru saja makan.”

“Apa?”

“Tiba-tiba saja Jihan lapar. Jadi ingin makan lebih dulu.”

“Ah, kalau begitu temani mereka di ruang keluarga sambil menunggu meja makan disiapkan. Dan kau, Sean.” Vivian beralih pada sang putra. “Pastikan orang tua Jihan tidak tahu tentang  Naura. Turunlah dan katakan padanya untuk tidak keluar dari kamarnya selama makan malam. Pelayan akan mengantar makan malamnya ke kamar.”

Sean mengangguk singkat. Mereka tentu saja tak ingin permasalahan ini melebar dan orang tua Jihan tak perlu tahu permasalahan Naura.

“Ayo.” Vivian merangkul Jihan dan berjalan keluar kamar. “Ah, ya. Tadi di restoran. Mama melihatmu bicara dengan seseorang. Apakah dia yang namanya Gavin? Wajahnya sepertinya tidak asing.”

Wajah Jihan seketika membeku, begitu pun dengan langkah Sean yang hanya beberapa langkah di depan keduanya.

“Ehm, ya.” Jihan membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. “Kami hanya saling menyapa. Dia mengantar mamanya berbelanja.”

“Benarkah? Dia bahkan mau mengantar mamanya berbelanja, sepertinya dia pria yang baik.”

“Kau bertemu dengannya?” sergah Sean yang tiba-tiba berdiri di hadapan Jihan dan Vivian. Wajahnya digelapi amarah yang langsung memekat.

“Ck, memangnya kenapa kalau dia menyapa Jihan, Sean. Kau akan memarahinya hanya karena dia bertemu pria yang dicintainya? Lalu bagaimana perasaannya dengan kau yang menghamili kekasihmu,  hah?”

Kata-kata sang mama seketika membungkam protes Sean. “Kenapa mama lebih membela pria lain ketimbang putra mama sendiri? Apakah itu artinya mama mendukung perselingkuhan menantu mama sendiri?” gerutu Sean. Perdebatan terasa semakin sulit karena sekarang mamanya ikut memusuhinya dan lebih  membela Jihan. Juga sialan Gavin.

Vivian mendengus keras. “Setidaknya dia pria baik-baik yang berniat membahagiakan Jihan. Dan lagi, apa namanya yang sedang kau lakukan dengan wanita itu? Apakah itu cinta atau perselingkuhan? Bagi mama terlihat perselingkuhan yang dibungkus cinta buta. Ck, mama benar-benar tak habis pikir. Apa yang kau lihat darinya? Firasat mama tak pernah baik tentangnya. Lihatlah sekarang.  Semua terbukti dengan nyata. Wanita macam apa yang baik-baik saja menjalin hubungan dengan suami orang lain. Bahkan tidur dengannya. Sekalipun atas nama cinta, pernikahan di atas semua itu, Sean. Wanita baik-baik tak akan melakukan hal semenjijikkan itu. Kau paham?” tandas Sean. “Sekalipun kau tak paham, mama juga tak peduli.  Kau baru akan sadar saat jatuh ke jurang. Tapi entah sampai mana kau akan menyadari semuanya jika melihatmu yang seperti ini.”

Tak ada sepatah kata pun yang bisa Sean ucapkan untuk menjelaskan semuanya. Jika mamanya tahu anak dalam kandungan Naura bukan miliknya, mamanya pasti tak akan berpikir dua kali untuk mengusir Naura dari rumah ini. Huffttt …

Vivian mendengus kasar, kembali merangkul sang menantu  dan berjalan melewati Sean. Yang masih membeku di tempat.

*** 

Sean menyusul turun tak lama kemudian.  Ikut  bergabung di ruang keluarga dan duduk di samping Jihan.

Ketegangan di antara Jihan dan sang papa sudah mulai melunak. Sepertinya ia sudah berhasil meyakinkan kedua mertuanya bahwa dirinya tak akan membiarkan Jihan kembali pada Gavin.

Setelah makan malam, wajah Vivian tiba-tiba diselimuti kepanikan melihat Naura yang hendak muncul di lorong ruang tamu. Wanita paruh baya itu segera memberi isyarat ke arah Sean. Yang lekas beranjak dan menghampiri wanita itu. Tepat sebelum kedua orang tua Jihan melihat.

Dan setelah kedua orang tua Jihan pulang, Vivian langsung berbalik, hendak menuju kamar tamu.

“Mau ke mana mama?”

“Apa dia sengaja ingin membuat masalah?”

“Naura hanya tidak melihat pesan yang Sean kirim, Ma. Dia ke dapur karena kehabisan air putih yang tak sengaja dia tumpahkan. Tak tahu kalau orang tua Jihan akan datang.”

“Kau membelanya?”

“Itu yang sebenarnya.”

Bibir Vivian melengkung kesal. “Kali ini mama akan membiarkannya. Lain kali, mama benar-benar akan mengusirnya dan kau bisa meletakkannya di mana pun di luar sana. Mama tak peduli.”

Sean mengangguk singkat. 

“Lagipula belum tentu anakmu. Setelah anak itu lahir, mama ingin tes DNA yang valid.”

Sean mengangguk lagi.

“Jihan, pergilah ke kamar dan istirahat. Besok kau harus pergi bekerja, kan?”

Jihan mengangguk.

“Dan jangan lupa pakai baju baru yang kita beli tadi. Kau harus terlihat sempurna cantik mulai besok. Agar kau tahu kau tak layak diperlakukan seperti ini oleh siapapun.”

Jihan memaksa kepalanya kembali mengangguk. Melirik tak nyaman pada Sean.

“Bagus.” Vivian memeluk sang menantu lalu berbalik arah, menuju sang suami yang baru saja masuk dan keduanya masuk ke kamar utama.

Sean menghela napas panjang dan bergumam lirih. “Mama juga tak perlu melakukannya. Anak itu bukan anak Sean.”

Jihan yang berdiri dekat dengan Sean seketika menoleh. 

***
Di Karyakarsa udah tamat ya gaess. Ya nungguin sampe tamat, bisa langsung ke sana. Dan ...  ada yang nunggu ebooknya?





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top