8. Di Tengah Dilem

Part 8 Di Tengah Dilema

Keheningan membentang di antara ketiganya. Naura mengabaikan wajah penuh amarah pada Sean dan beralih pada Jihan. Yang duduk membeku. Pandangannya berhenti lebih lama pada jari manis Jihan yang tidak mengenakan cincin apa pun. Kemarin Jari itu dilingkari cincin berlian yang ia yakini adalah cincin pernikahan wanita itu dan Jihan. Karena biasanya ia melihat cincin dengan permata biasa, yang sempat ia dengar dari Sean kalau itu adalah cincin lamaran Gavin untuk Jihan.

“Apa kau keberatan kami bertunangan di tengah pernikahan kalian yang hanya diakui secara hukum?” lanjut Naura pada Jihan dengan nada meremehkan.

“Apa yang kau katakan, Naura?” desis Sean tajam.

“Kau selalu mencemaskan sahabatmu, kan? Kau selalu merasa bersalah dan sungkan untuk meraih kebahagiaan sendiri. Kau selalu tak berani bersikap egois setiap kali memikirkan Jihan. Kau selalu memikirkan Jihan lebih dulu dibandingkan siapa pun. Selalu memprioritaskan Jihan sebelum dirimu sendiri. Termasuk aku.” Naura menekan kalimat terakhirnya dengan emosi yang semakin mengental di permukaan wajahnya. “Jadi aku harus menanyakan lebih dulu pada Jihan.”

“Hubungan kita tidak ada hubungannya dengan Jihan.”

Naura mendengus. “Kau memang terlalu baik, Sean. Aku tak akan menyalahkan kebaikanmu. Tapi … kau memberikan kebaikanmu terlalu banyak untuknya. Dan setelah semua ini kau mengatakan Jihan tak ada hubungannya dengan kita berdua?”

“Kau mencampakkanku karena dia. Kau memutuskanku karena memilih menikahinya.”

“Aku punya alasan untuk melakukannya. Berapa kali aku harus menjelaskannya padamu, hah? Kita sudah membicarakannya dan …”

“Mengakhiri hubungan kita adalah pilihan terbaiknya?” sambar Naura dengan sengit. “Itu adalah pilihan terbaikmu, Sean. Setelah semua ini apakah bersikap pengecut satu-satunya pilihan yang ada di kepalamu? Apakah semudah ini kau melepaskanku?”

Mata Sean terpejam. Menggusurkan kelima jemari di rambutnya bersama desahan kasar lolos di antara celah bibirnya.

“Apakah kau tidak memikirkan perasaan kedua orang tuaku yang telah berharap banyak pada hubungan kita?”

“Aku akan bertanggung jawab untuk semuanya, Naura. Aku yang akan menemui mereka dan meminta maaf …”

Plaakkk …

Satu tamparan Naura mendarat di pipi Sean. Menciptakan keheningan yang kembali menyelimuti di antara mereka bertiga. Ketegangan  membentang di antara Sean dan Naura.

“Kau pikir kata maaf cukup untuk membayar kekecewaan mereka, hah?”

“Lalu apa yang kau inginkan?!” sergah Sean setengah membentak.

“Aku akan berusaha menyembunyikan masalah ini dari mereka. Aku bisa mendapatkan seribu alasan untuk menjawab pertanyaan mereka kapan kau akan segera menikahiku. Jadi jangan berpikir semuanya selesai hanya karena kesalahan satu malam kalian yang membawa semua masalah ini di hidupku.”

Sean tak mengatakan apa pun. Keduanya saling pandang dalam keseriusan dan ketegangan yang semakin memuncak.

“Dan kita masih akan menjadi sepasang kekasih seperti sebelumnya. Aku tak akan mempermasalahkan pernikahan kalian. Jadi jangan bersikap serakah dan menuntut kebaikanku lebih banyak lagi.”

Naura menatap Jihan yang tetap duduk membisu di kursi pantri. Sebelum kemudian berbalik dan berjalan menuju pintu.

Keheningan masih menyelimuti seluruh ruangan setelah Naura pergi. Jihan tak tahu harus mengatakan apa. Kesedihan yang tersirat pekat di wajah Sean membuat bibirnya kelu. Saat ini, satu hal yang ia tahu dengan pasti. Ia lebih mampu menahan kebencian Sean dibandingkan kesedihan pria itu.

*** 

Jihan menunggu di depan meja dengan kedua tangan yang saling bertaut. Saling meremas di depan perut dengan gugup. Napasnya tertahan, wajahnya sedikit tertunduk dengan kedua mata yang sesekali melirik ke arah meja. Menunggu dengan penuh ketegangan.

Satya Blaize / CEO of Blaize Enterpries. Nama yang tertulis di deskname di hadapannya. Ya, Satya adalah kakak Sean dan Sammy. Sulung dari tiga bersaudara. Ia dan Sammy bekerja sebagai asisten pribadi Satya, sementara Sean sebagai direktur di gedung ini.

Satya menutup map di depannya dan tatapan tajamnya langsung menusuk tepat pada Jihan. “Aku sudah mengatakan untuk membacanya dengan teliti sebelum membawanya padaku, kan?”

Jihan menelan ludah. Mengangguk pelan dan berkata, “Aku akan mengubahnya, Kak.”

Satya memukulkan telapak tangan di atas map yang membuat Jihan tersentak sekali lagi. “Kau sudah mengubahnya. Dua kali jika kau lupa.”

Jihan menggigit bibir bagian dalamnya dan kembali berucap dengan lirih. “Maaf.”

“Berikan pada Sammy.” Satya mendorong map tersebut ke hadapan Jihan. “Biarkan dia yang mengurusnya.”

“Apa?” Mata Jihan membeliak dan wajahnya diselimuti kebingungan ketika terangkat. “T-tapi … kenapa …”

“Dan kau yang mengurus semua pertemuan, proposal yang masuk dan mempersiapkan semua kebutuhanku.”

“Tapi, Kak. Bukankah itu tugas Sammy?”

“Sammy yang akan memeriksa semua berkas-berkasku. Menghubungi klien dan mengurus semua pekerjaanmu.”

“Tapi kenapa?”

Satya tak langsung menjawab. “Seharusnya aku tak mencampur adukkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Tapi mama sendiri yang mengatakan untuk mengurangi semua pekerjaanmu. Dan seharusnya aku tak mengatakan hal ini padamu. Kau tahu aku tak suka membuang waktu untuk mencari alasan apalagi mengurus hal semacam ini.”

Jihan menelan ludahnya. 

“Mamaku begitu mencemaskan kandunganmu dan kita semua tahu Nyonya Blaize tak bisa dibantah dan tak akan berhenti sampai keinginannya terkabul.”

Jihan seketika merapatkan mulutnya. Menatap ketegasan tak terbantahkan Satya. Ia pun memberikan satu anggukan pada Satya sembari mengambil map di hadapannya.

“Dan pastikan kau sudah mengajukan cuti pada bagian HRD. Mama ingin laporannya saat aku pulang nanti.”

Jihan kembali dibuat tak berkutik. Meski ia mengenal keluarga Sean sejak masih kecil. Tetap saja semua ini adalah perubahan yang begitu mengejutkan. Mama Sean tak akan berhenti ikut campur pernikahannya dan Sean.

“Wajahmu terlihat murung,” gumam pria muda yang duduk di sampingnya. “Apakah dia memarahimu lagi? Aku akan bilang mama.”

Jihan menghela napas berat. “Kau semakin  memperburuk suasana hatiku, Sam.”

“Apa? Kenapa? Aku hanya membelamu.”

Jihan kembali mendesah, menatap Sammy sejenak lalu mendorong berkas di tangannya kepada pemuda itu. “Kak Satya ingin kau mengurusnya.”

Sammy menatap berkas itu sejenak kemudian kedua alisnya menyatu. “Apa? Aku?”

Jihan mengangguk. “Dan aku yang akan mengurus semua jadwal Kak Satya. Mulai hari ini.”

“Kenapa?”

“Kau bisa menanyakannya sendiri.” Jihan mengedikkan bahunya sekali. Menatap layar komputer di depannya, mengabaikan desahan panjang dan gerutuan tak jelas Sammy di sampingnya. 

Baru saja ia membuka email baru, sikunya digoyang oleh pemuda itu. “Ponselmu,” beritahu Sammy.

Jihan melirik sekilas ponselnya. Yang berkelap-kelip menampilkan nama Sean. Ia hanya membaliknya dan mendorong benda pipih tersebut menjauh.

“Kalian bertengkar?” Sammya mendekatkan tubuhnya ke samping.

Jihan tak menjawab. Setelah kedatangan Naura tadi pagi, suasana hatinya tak membaik hingga sekarang. Bagaimana mungkin Sean bersikap seolah tak ada apa pun yang terjadi?

“Kalian baru menikah tiga hari yang lalu dan sudah bertengkar? Ck, apakah pernikahan seburuk itu?”

Jihan masih bergeming.

“Mama bahkan sudah mempersiapkan kamar untuk anak kalian di samping kamar Sean. Dia begitu antusias menghias seluruh ruangan dengan warna merah muda.”

Gerakan tangan Jihan yang tengah menggerakkan mouse tiba-tiba terhenti. Merasakan beban di pundaknya yang semakin menekan dan membuat napasnya tertahan.

“Kau tahu, dia mengharapkan anak perempuan dan harus menahan kekecewaan hanya mendapatkan kami bertiga. Sekarang harapannya semakin membara dengan kehamilanmu.”

Jihan tak mendengar lebih banyak. Sammy terus berceloteh tentang sang mama sementara pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Naura tadi pagi.

*** 

“Apa kau tahu jam berapa ini? Kau bahkan tak menjawab panggilanku,” cecar Sean begitu Jihan masuk ke dalam apartemen. Apartemen pria itu.

Jihan tak punya pilihan kembali ke tempat ini. Ia sengaja pulang lebih awal untuk menghindari Sean dan pergi ke apartemennya. Hanya untuk menemukan password pintunya yang sudah diganti dan kartunya yang sudah disita oleh Sean. Satu jam ia hanya duduk di depan pintu, kemudian pergi ke cafe karena tak mungkin ia pulang ke rumahnya. Maka satu-satunya pilihan hanyalah apartemen Sean.

“Dari mana saja kau tengah malam begini baru pulang?”

“Aku bertemu Gavin,” bohong Jihan. Berjalan melewati Sean yang terpaku.

“Apa kalian sudah …”

“Tidak.” Jihan duduk di sofa. Meletakkan tas di meja dan mulai melepaskan sepatunya. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Sean menatap keseriusan di wajah Jihan yang entah kenapa memberinya firasat yang buruk. Terutama dengan jawaban tidak yang begitu tegas bahkan sebelum menyelesaikan pertanyaannya. Pertemuan wanita itu dengan Gavin pasti bukan sesuatu yang ia sukai. Dan sangat jelas Jihan tak ingin mengakhiri hubungan dengan pria itu.

Sean pun mengambil tempat di seberang meja.

“Aku tak ingin melanjutkan pernikahan ini.”

Wajah Sean seketika mengeras. Lihat. Bukan awal pembicaraan yang ia sukai. “Kita baru saja menikah tiga hari yang lalu, Jihan. Sekarang kau membicarakan perceraian?”

“Seharusnya aku bersikeras menolak pernikahan ini.”

“Tapi pernikahan ini sudah terjadi,” sengit Sean. Masih mencoba bersabar dengan kekeras kepalaan Jihan. “Sekarang tak ada jalan untuk membatalkan semuanya.”

Jihan menelan ludahnya. “Sampai anak kita lahir.”

“Kau mengambil keputusan yang tidak kau tahu dengan benar, Jihan.”

“Begitu pun denganmu.”

“Apa?”

“Kau memutuskan hubungan dengan Naura begitu saja.”

“Aku memiliki alasan.”

“Aku tak ingin menjadi alasanmu. Untuk mencampakkan Naura dan penyesalanmu di masa depan.”

“Kau menyesal menikah denganku?”

Jihan terdiam.

“Kau menyesali keberadaan anak kita?”

Jihan tak bisa menjawab. Ia tak menyesali apa pun, kecuali penyesalan Sean itu sendiri.

Sean beranjak dari duduknya dengan desahan kasar. Wajahnya semakin menggelap dengan kebisuan Jihan yang berarti jawaban ya. “Jika kau ingin mengakhiri pernikahan ini, maka gugurkan anak itu.”

***
Di Karyakarsa up tiap hari ya. Sudah sampai part 18. Yang pengen mampir, silahkan. Ceritanya agak santai tapi lumayan menguras emosi dan greget.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top