17. Bertanggung Jawab

Part 17 Bertanggung Jawab?

“Apa?!” Sean menyeberangi ruangan dengan langkah besarnya, berhenti tepat di amping Naura. “Apa kau sudah gila?! Apa yang kau lakukan, hah?!”

Naura berpura tersentak dengan air mata yang menggenang di kedua kelopak mata. “Aku tak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi, Sean. Cepat atau lambat semua orang akan tahu.”

Sean menggeram.

“Kau menikahi Jihan dan mencampakkanku karena dia hamil, kan?”

“Kau punya bukti?” Vivian akhirnya bisa mengendalikan keterkejutannya. Kekecewaan yan teramat besar membendung di dadanya. Pun begitu, sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas kekecewaannya. Wanita ular itulah yang harus ditangani lebih dulu. “Entah kenapa, aku tak terkejut dengan pengakuan semacam ini akan dilakukan olehmu.”

Naura menatap Vivian. “Tante pikir ini hanya sebuah kelicikan untuk menghancurkan hubungan pernikahan Sean dan Jihan?”

“Aku tak mengatakannya.” Seringai tersamar di ujung bibir Vivian.

Naura mengeluarkan sebuah lembar USG dari dalam tas dan menunjukkan pada Vivian. Tapi Vivian hanya melirik tak tertarik, bukti semacam itu bisa dipalsukan, kan?

“Kalaupun kau memang hamil, apa kau punya bukti kalau anak itu anak Sean? Aku tahu putraku pernah melakukan kekhilafan pada Jihan, tapi dia bukan tipe orang yang akan jatuh di lubang yang sama. Terutama sekarang dia sudah menikah. Tak hanya kekhilafan satu malam, sekarang apa kau coba mengatakan kalau dia mengkhianati pernikahannya dan membuatmu hamil, hah? Aku percaya putraku tak akan melalukan kesalahan paling tolol ini.”

Naura terdiam. Menatap kepercayaan di mata Vivian pada Sean. “Itulah yang sebenarnya terjadi. Maaf jika apa yang terjadi pada kami telah mengecewakan, Tante.”

“Hentikan omong kosongmu, wanita ular!” Vivian kesulitan menahan emosi akan kelancangan wanita itu. “Inilah alasanku tak pernah menyukaimu.”

“Ya, saya akan memahaminya.”

“Kau!!” jerit Vivian dengan emosi yang membludak. “Dan kau Sean, bawa keluar wanita ini! Kau ingin membuat mama terkena serangan jantung?!”

Sean meraih tangan Naura dan membawa wanita itu keluar dari ruang tamu. “Apa yang kau lakukan, Naura? Kenapa kau mendatangi rumahku dan mengatakan omong kosong ini, hah?”

“Aku terpaksa harus melakukannya, Sean. Aku tak punya pilihan.”

“Dan sekarang pilihanmu adalah menghancurkan keluargaku? Membuat mamaku semakin membencimu?”

Naura menggigit bibir bagian dalamnya.  “Maafkan aku, Sean. Maaf aku menggunakan namamu untuk masalah yang kuperbuat.”

“Maaf kau bilang? Sekarang apa yang akan kujelaskan pada mereka semua, hah? Pada Jihan. Pikirkan bagaimana perasaan Jihan?” Sean mulai frustrasi. Sudah cukup pertengkaran mereka tadi malam, dan sekarang apalagi ini, hah?

“Kumohon. Tolong aku, Sean.” Naura menjatuhkan lututnya di depan Sean. Air mata yang semakin membanjiri wajahnya ketika kepala wanita itu terdongak. Lalu tangannya memegang kaki Sean.

“Apa yang kau lakukan?!”

“Hanya kau yang diketahui orang tuaku sebagai kekasihku. Jika mereka tahu kalau Divon yang menghamiliku, mereka akan memintaku menggugurkannya.”

“Dan di mana Divon sekarang?”

“Divon?” Kepala Naura tertunduk, menggeleng dengan lemah. “Dia meragukannya. Dia berpikir anak ini anakmu karena aku tak mau menggugurkannya. Dan aku … aku tak sampai hati membunuhnya, Sean. Aku tak tahu harus ke mana. Hanya kau yang ada di pikiranku. Hanya kau satu-satunya yang mungkin membantuku, Sean. Saat ini hanya kau yang kumiliki.”

“Dan kaupikir apa yang dipikirkan keluargaku tentang omong kosong ini, hah? Juga Jihan. Sekarang dia istriku.”

“Jihan? Aku yakin dia akan memaklumi. Pernikahan kalian berjalan dengan baik, kan? Dia tidak mencintaimu. Dia tak akan terpengaruh dengan hal ini. Toh dia tahu kita saling mencintai sebelum kalian menikah.”

Sean menghela napas dengan kasar. “Kau tahu pendapat mamaku tentangmu. Aku tak ingin membuat masalah yang tak diperlukan.”

“Aku tak masalah. Aku akan menerima semua kebencian mamamu.” Naura memegang kaki Sean lagi. “Kumohon, Sean. Hanya sampai anak ini lahir. Atau setidaknya sudah tidak bisa digugurkan. Aku hanya ingin melindungi anak ini. Aku akan melakukan apa pun untuk melindunginya. Termasuk menerima cecaran dan kebencian dari mamamu.”

“Sean?!” panggilan dari teras rumah mengalihkan Sean yang tampak mempertimbangkan permohonan Naura. Melihat mamanya yang berjalan terburu ke arah mereka. "Bagaimana mungkin kau masih lebih mementingkan wanita ini daripada istrimu sendiri, hah? Kaupikir bagaimana perasaannya saat mengatakan akan menerima dia?” Vivian menunjuk tepat di depan wajah Naura, dengan kebencian yang semakin bertumpuk.

“A-apa?” Sean membeliak.

“Jihan mengatakan akan membiarkanmu bertanggung jawab dan menikahinya seperti yang kau lakukan padanya. Tak ada wanita yang tak hancur hatinya saat mengatakan bersedia berbagi suaminya dengan wanita lain, Sean. Meski dia bilang sadar diri akan posisinya yang merebutmu darinya.”

“Mama tak peduli dengan hubungan masa lalu kalian seperti apa. Juga betapa kalian saling mencintai, dulu. Tapi kau sudah memutuskan untuk menikah dengan Jihan, maka seharusnya kau sudah siap dengan resikonya. Termasuk melupakan apa pun itu perasaanmu padanya.”

“Sean paham, Ma. T-tapi …”

Vivian menggeleng. “Mama tak ingin mendengar bahwa kau akan menerima keputusan Jihan. Kalaupun anak itu memang anakmu, mama akan membiarkanmu bertanggung jawab, kecuali menikahinya. Jika kau memang keras kepala ingin menikahinya, maka kau harus melepaskan Jihan. Sebelum Jihan hamil dan membuatnya lebih menderita lagi.”

“Saya hanya membutuhkan tanggung jawab Sean, Tante. Kami tidak perlu menikah jika itu hanya akan menyakiti Jihan,” sahut Naura.

Vivian menoleh. Matanya memicing, menatap curiga pada Naura yang tiba-tiba berkata dengan lembut dan rendah hati.

“Tante benar, Sean sudah memutuskan untuk menikahi Jihan dan seharusnya kami siap menerima resiko tersebut. Anak dalam kandungan Jihan memang seharusnya menjadi prioritas Sean. Dan saya juga sudah merelakan hubungan kami.”

“Oh ya? Lalu kenapa hal semacam ini terjadi di antara kalian, hah?” Vivian kembali menatap sang putra. “Kau bahkan tak menyangkalnya.”

Sean kembali merapatkan mulutnya. Menatap Naura yang memandangnya dengan sorot permohonan. Pun kekecewaan sang mama membuatnya kehilangan kata-kata.

Vivian mendengus. “Mama benar-benar kecewa padamu, Sean. Satu-satunya alasan mama membiarkanmu adalah karena Jihan. Tidak cukupkah kau menghancurkan hidupnya, hah? Tak hanya menghamilinya dan sekarang kau membuatnya berada dalam pernikahan yang membuatnya tersiksa seperti ini? Kau pikir hanya kau yang kehilangan cintamu. Jihan juga mencintai kekasihnya dan harus mengorbankan semuanya karena menikah denganmu!”

  “Jika mama tahu dia sudah memiliki kekasih yang lebih bisa membahagiakannya, mama tak akan meminta kalian mempertahankan pernikahan ini lebih lama lagi.” Vivian mengakhiri kalimatnya. Menatap dingin Naura sebelum berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah.

“Maafkan aku, Sean,” lirih Naura.

“Aku akan menjelaskan …”

“Tidak, Sean.” Naura menahan pergelangan tangan Sean. “Jika kau mengatakan yang sebenarnya pada mamamu, mamamu tak akan membiarkanmu membantuku. Kita bisa menjelaskannya nanti. Saat aku sudah melahirkan. Toh, Jihan tampaknya memahami kita berdua.”

Sean terdiam, menatap wajah melas Naura.

“Aku juga akan bicara dengan Jihan untuk menjelaskan. Dia wanita yang baik, kan? Dia juga pernah berada di posisiku. Dia yang paling memahami dibandingkan siapa pun.”

*** 

“Kau baik-baik saja?” Satya menyentuh pundak Jihan dengan lembut.

Jihan mengerjap, menyeka ujung matanya menggunakan punggung tangan dengan cepat sebelum berputar dan berhadapan dengan Satya. Memberikan seulas senyum palsu dan anggukan tipis.

Satya terdiam, mengamati lebih lekat wajah Jihan. Ada basah yang masih menghiasi bulu mata lentik wanita itu. Kakinya berjalan mendekat. “Tidak apa-apa jika kau merasa tidak baik-baik saja, Jihan.”

“Hah?” Tubuh tinggi Satya dan jarak di antara keduanya yang semakin mendekat membuat Jihan terdongak. Kata-kata Satya membuatnya tertegun, lalu perasaannya mendadak menjadi sendu.

“Dia memang adikku, tapi … tidak apa-apa jika kau merasa iri dan tak adil dengannya. Apalagi jika hanya merasa sedih dan tidak baik-baik saja. Kesalahan kalian membuatmu harus kehilangan kekasihmu. Tak hanya itu, kau juga harus kehilangan dia sebagai seorang sahabat. Sementara dia, dia tidak perlu kehilangan keduanya.”

Jihan menggigit bibir bagian dalamnya. Rasa panas menjalar di kedua ujung matanya. Emosi membludak di dadanya. Dan entah apa yang dipikirkannya, ketika Satya bergerak lebih dekat, ia membiarkan tubuhnya menghambur ke arah pria itu. Kemudian terisak di dada Satya.

*** 

Saat Sean dan Naura kembali ke dalam rumah. Keduanya hanya melihat Vivian, Denny dan adiknya, Sammy. Sammy satu-satunya yang tampak tak terlalu terpengaruh dengan situasi ini. Sang mama masih tampak kesal dan kecewa, menatap Naura lebih dingin. Sementara sang papa, menghela napas panjang sebelum bertanya, “Jadi apa yang akan kau lakukan? Kau ingin menghubungi orang tua Jihan secepatnya?”

Sean menggeleng. “Sean akan bicara dengan Jihan dulu,” ucapnya kemudian dengan suara lirih. “Untuk sementara, biarkan Naura tidur di kamar tamu.”

Kalimat terakhir Sean tentu saja membuat Vivian hampir meledak jika bukan karena pegangan tangan sang suami. Vivian menepis tangan Denny, beranjak berdiri dan berkata, “Benar-benar kau, Sean!”

Sean menghela napas panjang. Sammy ikut beranjak dan Denny memanggil pelayan untuk membantu Naura.

“Di mana Jihan?” tanyanya pada sang papa.

“Sepertinya kembali ke kamar. Bicaralah dengannya. Jika dia tidak mau, biarkan dia sendiri dan beri waktu untuk menerima semua ini.” Suara Denny lembut. Memberikan satu tepukan di pundak untuk sang putra. “Meski dia mengatakan baik-baik saja, papa yakin tidak dengan perasaannya. Wanita selalu mengatakan hal sebaliknya, kan?”

Sean mengangguk singkat.

“Keluargamu sangat menyayangi Jihan, ya?” gumam Naura ketika Denny menghilang di balik pintu kamar utama menyusul Vivian. 

Sean menoleh. Menatap senyum miris Naura dan tak mengatakan apa pun.

“Pergilah dan tenangkan dia.”

Sean pun berjalan menuju tangga, ketika langkahnya terhenti melihat dua sosok yang berdiri di ujung tangga. Adalah sang kakak dan Jihan yang saling berpelukan.

Apa-apaan ini, hah? batinnya dengan emosi yang langsung mencuat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top