16. Anak Sean

Part 16 Anak Sean

Lama Jihan hanya tertegun duduk di balik setir mobil. Tekanan darahnya cukup tinggi dan stress yang berlebihan membuat janin dalam kandungannya lemah dan ia harus istirahat total. Itulah sebabnya beberapa hari terakhir ia sering mengalami rasa kaku yang kadang muncul dan tiba-tiba hilang sendiri saat berbaring. Membuat tubuhnya rileks meski hanya sejenak.

Ya, sejak pulih dari keguguran dan pertengkarannya dengan Sean yang tak pernah membaik. Membuat Jihan memfokuskan pikiran dan tubuhnya pada pekerjaan. Tanpa menyadari keburukan yang mengekor di belakangya. Termasuk jadwal makannya yang tak teratur, memperburuk pencernaannya.

Mual dan muntaknya yang beberapa kali terpergok oleh Sean tak memberikan pria itu kecurigaan karena memang ia memiliki maag. Pria itu juga sudah memperingatkannya beberapa kali. Bahkan mengambilkannya makanan ke kamar dan menyiapkan obat lambungnya. Perhatian yang sesekali mengingatkan Sean sebagai sahabatnya.

Jihan membaca pesan singkat yang muncul dari Sean, menanyakan keberadaannya karena tak kunjung mengangkat panggilan dari pria itu. Jihan melempar ponselnya ke jok belakang. Mengabaikan kecemasan basa basi pria itu dan melajukan mobil meninggalkan area rumah sakit.

Ia sampia di rumah lebih dulu melihat mobil Sean yang tak tampak di carport. Vivian menyambutnya dengan kecemasan.

“Setiap sepuluh menit Sean menghubungi mama untuk menanyakan apakah kau sudah pulang atau belum. Sepertinya dia keliling kota untuk mencarimu. Kenapa kau tidak mengangkat telpon, Jihan?”

Jihan kehilangan kata-kata untuk menjawab dengan cepat. Otaknya berputar mencari jawaban. Sean mencari berkeliling kota pasti karena berpikir ia menemui Gavin secara diam-diam dan takut jika ada seseorang yang berhasil mengambil gambar mesra mereka. Yang kembali membuat pria itu berurusan dengan masalah yang ia buat lagi. “Jihan tidak melihat panggilannya, Ma. Sepertinya Jihan lupa mematikan mode senyapnya.

Vivian mengangguk paham. Tak bertanya lebih lanjut. Tangannya mengelus pipi sang menantu dengan lembut dan penuh kasih sayang. Juga dengan kecemasan yang perlahan meluruh karena pulang dalam keadaan baik-baik saja. Pun begitu, masih ada kecemasan lainnya yang tidak berani ia tanyakan pada sang menantu.

“Ya, baiklah. Mama yang akan menghubungi Sean. Kau pergilah ke kamar.”

Tanpa mengatakan apa pun lagi, Jihan langsung naik ke atas. Kedua orang tuanya dan orang tua Sean tak mengijinkannya bercerai. Terutama kedua orang tuanya yang malah melayangkan ancaman. Sementara orang tua Sean, ingin mereka memperbaiki pernikahan tanpa berpisah. Kalau harus ada perpisahan, setidaknya permasalahan di antara mereka sudah diselesaikan dengan cara yang baik-baik.

Satu helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Menatap pantulan wajahnya yang basah di cermin wastafel. Sekarang …

Apa yang harus dilakukannya untuk menyelesaikan permasalahan ini?

Bagaimana caranya ia menyembunyikan kehamilan ini dan mengurus perpisahannya?

Bicara baik-baik dengan Sean bukan pilihan yang mudah. Pria itu bersikap licik dengan menggunakan pernikahan mereka untuk menutupi hubungan dengan Naura. Apakah ia juga harus menggunakan cara yang licik untuk lepas dari pernikahan ini? Membujuk mama Sean untuk menyukai dan menerima Naura sebagai menantu keluarga ini.

“Dari mana saja kau, hah?” Suara bentakan Sean yang mendobrak pintu kamar mandi menyentakkan lamunan Jihan. Wanita itu terkejut hingga jantungnya berdegup dengan kencang. Menatap kemarahan di wajah Sean yang rambut dan pakaiannya tampak berantakan. Dasi dan jas pria itu entah kenapa. Kemeja biru laut yang kenakannya pun sudah keluar dari celana dan beberapa kancing teratasnya terbuka dengan cara yang berantakan. Khas Sean yang selalu merasa gerah setiap kali merasa cemas. Tapi kecemasan itu tak lagi ada hubungan dengannya. Melainkan karena masalah lebih besar yang akan ia timbulkan.

Jihan menguasai keterkejutannya dengan sangat baik, kembali menegakkan punggung.

“Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan, hah?”

Jihan tak tahu dan tak ingin tahu. “Kau terlihat mencemaskanku?” ucapnya datar dan kembali memutar tubuh menghadap cermin. Melepaskan anting dan gelangnya. Bersiap hendak membersihkan tubuh.

Mata Sean terpejam, meredam kemarahan yang nyaris tak bisa dipertahankan. Sikap dingin Jihan benar-benar membuatnya frustrasi. Ia pun berbalik dan keluar dari kamar mandi. Leboh mencemaskan emosinya yang mungkin tak bisa ia kontrol dengan sikap Jihan.

‘Meninggalkan Jihan? Kenapa bukan kau saja yang meninggalkannya, Sean? Bukankah pernikahan kalian memang seharusnya berakhir saat Jihan keguguran?’

‘Dan membiarkan Jihan menikahi pria berengsek dan licik sepertimu?’ sengit Sean dengan kemarahan yang begitu pekat di kedua bola gelapnya.

Gavin tertawa.

‘Sejak kapan kau mengetahuinya?’

‘Kalau dia putri tunggal Seno Sebastian?’

Sean menggeram. Tawa kecil dan senyum Gavin cukup dijadikan sebagai jawaban. Gavin yang tak berhenti mendekati Jihan meski tahu wanita itu sedang hamil dan menikah dengannya, juga kemarahan pria itu yang semudah itu raib. Tentu saja memiliki alasan yang kuat.

‘Kau pikir aku tak tahu kau yang mendatangi kencan buta dengan wanita-wanita pilihan mamamu? Yang kesemuanya tentus saja memiliki kekuatan bisnis yang cukuo besar. Dan Jihan adalah tangkapan besar untukmu, kan?’

Gavin tertawa lagi. ‘Kami saling mencintai, Sean. Kenapa kau membuat alasan yang tak penting, Sean?’

Sean membalik meja yang ada di antara mereka. Melompat dan menyambar kerah kemeja Gavin dan mencengkeramnya. Yang membuat tawa Gavin semakin kecang.

‘Kenapa? Kau ingin menghancurkan wajahku? Atau setidaknya mematahkan hidungku? Aku bisa menahan kerugian itu.’

Sean menggeram. ‘Untuk keuntungan yang lebih besar? Jihan,’ dengusnya.

Gavin tertawa lagi.

‘Akan kupastikan kau tak mendapatkannya, Gavin.’

Dan satu tinju menghantam hidung Gavin dengan keras.

Sean menggeram dengan kesepuluh jari mencengkeram rambut di kepala. Wajahnya tertunduk dalam. menarik napas berkali-kali demi meredakan gemuruh di dadanya yang semakin menjadi.

Butuh waktu lebih lama untuk kembali tenang. Hingga Jihan selesai mandi dan sengaja mengurung diri di dalam kamar mandi setengah jam kemudian. Wajah pria itu sudah terlihat lebih lunak ketika pandangan mereka sempat bertemu. 

Jihan melangkah keluar dengan rambut yang dibungkus handuk dan mengenakan jubah mandi. Duduk di depan meja rias dan mulai mengeringkan rambut.

Sean tak melepaskan pandangan dari wanita itu. Tak berhenti mengamati wajah Jihan yang lebih segar dan bersinar, meski rautnya datar dan dingin seperti biasa.

Jihan tentu saja merasakan tatapan menelisik Sean dan mulai merasa tak nyaman. Ia memutar kepala dan menatap pria itu. “Ada yang ingin kau bicarakan?” kesalnya.

Sean tak langsung menjawab, pria itu berdiri lebih dulu dan mendekati Jihan. “Ya, Kau meminjam mobil Satya. Ke mana saja kau pergi?”

“Aku tak ingin membicarakannya. Tapi kau bisa tenang. Aku tak membuat masalah. Setidaknya aku memikirkan kata-kata mamamu. Menyelesaikan permasalahan kita sebelum memutuskan untuk berpisah.”

Bibir Sean menipis ketika lagi-lagi Jihan mengungkit tentang perpisahan. “Kita harus menyelesaikan permasalahan kita, tapi tidak untuk berpisah.” Suaranya keluar dengan ketenangan yang begitu apik. Arus emosinya hanya akan membuat pembicaraan mereka kembali memburuk.

“Dan apa yang kau pertahankan dengan pernikahan ini, hah?”

“Kau. Apakah aku harus memiliki alasan lain?”

Jihan mendengus tipis. Menyangsikan jawaban Sean. 

“Dan jangan coba-coba membawa Naura, Jihan. Ini tentang kita berdua.”

“Ya, baiklah. Lalu kenapa setidaknya kau mengabulkan keinginanku? Aku sudah muak dengan pernikahan ini.”

“Kau sendiri yang membuat semuanya menjadi rumit.”

“Kau yang membuat pernikahan kita menjadi seperti ini. Kau yang memaksa persahabatan kita berubah menjadi pernikahan berantakan ini. Kau yang merubah sahabatmu menjadi seorang istri. Kau tahu hubungan itu tidak bekerja untuk kita, Sean. Pernikahan kita terjadi karena satu kesalahan pada malam itu. Dan sekarang kau mengulang kesalahan itu.”

“Jika bukan aku yang menghamilimu malam itu, kau pikir siapa yang akan melakukannya, Jihan.” Sean muak harus menyimpan keberengsekan Gavin lebih lama lagi. Jika bukan karena Jihan begitu bodoh dan dibutakan oleh pria itu, ia pasti yang akan menghajar pria itu habis-habisan. Membuat pria sialan itu bermalam di rumah sakit berminggu-minggu. “Gavin. Dia yang akan melakukannya. Kau sungguh ingin dia yang menghamili dan menikahimu, hah?”

Jihan terperangah. “A-apa?”

“Malam itu, Gavin yang memasukkan obat ke minumanmu. Jadi aku yang menukar minuman itu dan aku tak menyangka kalau itu adalah obat perangsang. Kau pikir dia pria baik-baik hingga mencekoki kekasihnya dengan hal licik semacam itu, hah?”

Jihan terpaku. Butuh waktu sangat lama untuk mencerna kata-kata Sean. Yang terengah setelah semua rentetan kalimat tersebut.

Hening yang cukup lama.

“Apa sekarang kau tahu pria macam apa yang …”

“Apakah sungguh kau membutuhkan kebohongan ini?”

Sean tercekat. Tak percaya dengan tuduhan yang malah balik ditodongkan kepadanya. “A-apa?”

“Baiklah jika kau memang membutuhkan pernikahan ini, Sean. Kau tak perlu menceraikanku.” Jihan beranjak dari duduknya. Berjalan melewati Sean menuju ruang ganti.

Baiklah jika Sean membutuhkan dirinya dalam pernikahan ini. Ia bisa menahan semuanya. Ia bisa menanggungnya. Untuk pria itu. Untuk anak dalam kandungannya. Naura tahu tak ada apa pun dalam pernikahan mereka. Itulah sebabnya Naura tak mempermasalahkan pernikahan ini dalam hubungan mereka. Toh wanita itu hanya butuh memiliki Sean, kan? Tanpa perlu menerima penolakan keluarga Sean.

Jihan menggigit bibir bagian dalamnya. Menahan patah hati yang mulai menghancurkan perasaannya dari dalam. Setidaknya untuk kebahagiaan keluarga mereka. Setidaknya untuk persahabatan mereka yang terjalin sejak mereka masih kecil.

Jihan menyeka air mata yang menggumpal di ujung mata dengan punggung tangan. Menarik napas dan berusaha sangat keras untuk menata perasaannya.

Ia akan baik-baik saja.

Tangan Jihan menyentuh perutnya yang rata. Mereka akan baik-baik saja.

Semuanya akan baik-baik saja.

*** 

Pagi itu, Sean dan Jihan masih tak saling bicara seperti biasanya. Jihan bangun lebih dulu karena rasa tak nyaman di perut. Duduk di pinggiran bath up, menunggu mualnya mereda sebelum membersihkan diri dan bersiap ke kantor.

Keduanya turun bersama setengah jam kemudian. Ketika tiba-tiba pelayan memberitahu semua orang sedang berada di ruang tamu.

“Siapa yang datang?” tanya Sean merasa curiga dengan tatapan pelayan padanya.

Si pelayan tak menjawab pertanyaan tersebut dan mengatakan hal lain. “Tuan dan Nyonya meminta saya memanggil Anda, Tuan.”

Sean lekas menuju ruang tamu. Terkejut menemukan salah satu orang yang duduk di sofa adalah Naura. Menekan bibirnya dengan kesal. Apa yang dilakukan wanita itu, hah?

“Saya hamil.” Pernyataan Naura terdengar lantang tepat ketika Sean dan Jihan muncul bersamaan di ruangan luas tersebut.

Keheningan yang sangat lama menyelimuti seluruh anggota keluarga. Jihan merasakan tatapan Naura yang lebih lama berhenti padanya. Sebelum wanita itu melanjutkan kalimat yang membuat semua orang tersambar petir. Termasuk dirinya.

“Anak Sean.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top