15. Kembali Positif

Part 15 Kembali Positif

Plaaakkk …

Tamparan Seno mendarat di pipi sang putri. “Betapa tidak tahu malunya kau, hah? mengatakan hal memalukan seperti itu di hadapan papa?!”

Maura dan Sean terperangah menyaksikan Seno yang tiba-tiba berdiri dan menampar Jihan dengan kemarahan yang membludak. Tak menyangka sang pemimpin keluarga tersebut akan semarah itu pada putri semata wayang keluarga tersebut.

“Papa sudah cukup bersabar menunggu sepanjang hari ini hanya untuk mendapatkan penjelasan menjijikkan itu, hah?”

Wajah Jihan masih tertunduk. Merasakan panas yang menjalar di seluruh permukaan wajah Jihan membuat kedua mata wanita itu basah. Kepalanya terangkat perlahan, menelan ketakutannya akan kemurkaan sang papa. “Pernikahan kami terjadi karena sebuah kesalahan, kan? Sekarang tak ada alasan bagi kami untuk mempertahankan …”

“Jihan?” Maura ikut berdiri. Memegang lengan sang yang sudah siap melayangkan tamparan lainnya. Lalu menatap sang menantu yang segera menangkap isyaratnya dengan membawa Jihan menjauh.

“Lepaskan.” Jihan menyentakkan tangan Sean. “Apakah aku salah?!”

Sean tak punya jawabannya.

“Jika kalian bercerai, jangan pernah lagi kau menginjakkan kaki di rumah ini!” suara Seno bergema di seluruh ruangan. “Jangan pernah kau menampakkan wajahmu di hadapan kami!”

“Pa?” Maura berusaha menenangkan amarah sang suami. Yang kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan. “Apa yang kau katakan, Jihan? Kau tak bersungguh-sungguh …”

“Itu yang sebenarnya. Jihan maupun Sean sudah memiliki kekasih masing-masing. Gavin juga sudah melamar Jihan. Juga Naura. Sean sudah melamarnya tepat sebelum mama menghubunginya untuk ke rumah sakit.”

Maura terkesiap, menatap Sean. “Apakah itu benar, Sean?”

Sean tak mengangguk, tak juga menggeleng. “Hubungan kami sudah berakhir saat Sean memutuskan untuk bertanggung jawab dan menikahi Jihan, Ma.”

Maura menatap lebih dalam kesungguhan di wajah Sean.

“Dan Sean tidak merasa terpaksa ataupun menyesali keputusan Sean.” Ada ketegasan yang tersirat di kedua mata pria itu.

Jihan menoleh dengan cepat, kekesalan tampak jelas di kedua mata wanita itu tetapi ia tak ingin mendebatkan hal tersebut di hadapan sang mama untuk saat ini. 

“Sean sudah mengurus pemberitaannya dan akan menemui Gavin untuk menyelesaikan permasalahan ini.”

Kedua mata Jihan melebar. “Apa yang akan kau bicarakan dengan Gavin? Sudah kubilang jangan ikut campur urusanku, Sean.”

“Atau kau lebih suka papamu yang mengurusnya,” sambar Maura.

Jihan seketika kehilangan kata-kata. Mama maupun papanya berada di pihak Sean, yang membuatnya semakin kesal pada pria itu.

“Dan sebaiknya kau berhenti bertemu pria itu dan mengurus pernikahanmu dengan baik, Jihan. Kalian sudah menikah, tidak sepatutnya seorang istri menemui pria lain diam-diam di belakang suaminya.”

“Kami sudah berkencang jauh sebelum Jihan dan Sean menikah, Ma. Begitu pun dengan Sean.”

“Dan sekarang kalian sudah menikah. Satu tahun yang lalu,” tandas sang mama. “Apakah itu tidak cukup dijadikan alasan untuk berhenti mengurus masa lalu kalian yang sudah selesai saat kalian menikah?”

“Jihan amsih mencintainya.”

“Cinta?” Maura mendelik. Mulai frustrasi menghadapi kekeras kepalaan sang putri. “Kau yakin dia mendekatimu bukan karena papamu?”

“Gavin tak tahu kalau Jihan adalah seorang Sebastian. Bahkan orang tuanya menentang hubungan kami.”

“Lalu sekarang? Apakah mereka masih menentang hubungan kalian setelah semua ini?”

Jihan kehilangan kata-kata untuk menjawab. 

Maura mendengus kesal. “Sekarang, kau akan menjadi menantu idaman mereka. Percaya pada mama.”

*** 

“Apa kau sudah gila?” cecar Sean begitu keduanya sampai di dekat mobil. “Ini jawaban yang kau bilang sudah kau siapkan?!”

“Aku yang akan bicara dengan mamamu tentang Naura. Kalian tak perlu …”

“Jangan mengatakan apa pun yang sama sekali tak kau ketahui dengan baik, Jihan. Apa yang kukatakan pada mamamu adalah kebenaran?”

“Lalu kenapa kau tak memberitahu mama kalau kalian juga masih sering bertemu di belakangku.”

Kedua alis Sean bertatut. “Apa maksudmu?”

Jihan mendesah dengan jengah. Tanpa memberikan balasan, wanita itu melengos. Tak peduli dengan penjelasan lain Sean.

“Mau ke mana kau?” Sean menyusul Jihan yang berjalan menuju gerbang.

“Aku akan kembali ke apartemenku.”

“Naik ke dalam mobil atau aku yang akan melakukannya untukmu, Jihan,” ancam Sean dengan kemarahan yang mulai sulit ia bendung.

Langkah Jihan terhenti. “Kenapa? Kau takut aku akan menemui Gavin sementara kau bebas menemui Naura sesuka hatimu?!”

Sean menggeram keras. Hanya dalam dua langkah besarnya, ia berhasil menyambar tangan Jihan dan menyeret wanita itu naik ke dalam mobil. Mengabaikan teriakan wanita itu yang memintanya melepaskan.

Jihan mengerang ketika tiba-tiba perutnya terasa kaku oleh paksaan Sean. Tubuhnya membungkuk ketika pria itu hendak menarik sabuk pengaman untuknya.

“Ada apa?” Sean tersentak menyadari wajah Jihan yang meringis kesakitan dengan tangan menempel di perut.

Jihan tak menjawab, menyentakkan tangan Sean dari tubuhnya dan memasang sabuk pengamannya sendiri. Membiarkan Sean membawanya.

Sean berdiri sejenak sebelum memutari mobil dan duduk di balik kemudi. Sesekali melirik Jihan, memastikan apa yang telah dilakukannya benar-benar tak membuat wanita itu kesakitan.

Jihan sendiri sengaja membuang wajahnya ke samping. Membungkus rasa kaku di perutnya dengan ketenangan yang apik di permukaan wajahnya. Kenapa tiba-tiba perutnya sakit? Ada kecemasan yang mulai mengendap di dadanya mengingat kegugurannya satu tahun yang lalu. Saat itu, setir yang membentur perutnya memberinya rasa sakit yang begitu menusuk hingga membuatnya keguguran.

Rasa sakit itu hampir mirip meski kali ini terasa ringan dan cepat hilang. Apakah memang dia sedang hamil? Jika ya, apakah kandungannya sedang bermasalah?

Jika memang baik-baik saja, seharusnya tidak seperti ini, kan?

*** 

Jihan tak bisa tenang setelah pulang dari rumahnya tadi malam. Ia mulai mempertimbangkan untuk pergi ke rumah sakit. Tapi mengingat pemberitaan yang masih beredar di luar sana membuatnya berpikir dua kali.

Bahkan hanya untuk ke kantor saja ia harus naik mobil Sean dan turun di basement. Yang steril dari wartawan yang mungkin menyamar jadi pegawai di peruahaan.

Dering ponsel di meja mengalihkan perhatian Jihan dari layar komputer. Ia langsung mengangkatnya.

“Gavin?”

“Sean menemuiku.”

“Apa?” Jihan terkesiap. “Apa yang dikatakannya?”

“Dia ingin aku berhenti menemuimu. Tapi aku tak ingin mempercayainya begitu saja jika bukan kau yang mengatakannya. Apa kau percaya kalau semua ini perbuatanku?”

Jihan tak tahu harus menjawab apa. Tetapi kekesalan pada Sean semakin meningkat.

“Aku bahkan tak bisa keluar dengan bebas karena ada beberapa wartawan yang menunggu di luar kantorku, Jihan. Aku cemas jika satu kata yang keluar dari mulutku akan membuatmu mendapatkan kesulitan. Bagaimana mungkin dia menuduhku menggunakanmu untuk kepentinganku.”

“Maaf untuk semua kerepotan ini, Gavin. Aku akan bicara dengan Sean.” Jihan memutus panggilan tersebut dan langsung beranjak menuju pintu. Pergi ke ruangan Sean yang berada dua lantai di atasnya.

Pria itu sedang berbicara dengan ponsel yang menempel di telinga ketika Jihan menerobos masuk. Dan Sean langsung mengakhiri panggilan dengan kedatangan sang istri.

“Apa yang kau katakan pada Gavin?”

Sean meletakkan ponselnya di meja, mengamati kemarahan di wajah Jihan. “Dia melapor padamu?”

“Jangan ikut campur urusanku, Sean. Berapa kali aku harus mengatakannya padamu.”

“Lalu apa penyelesaian yang kau pikirkan untuk permasalahan kali ini?”

“Bercerai.”

“Dan kau bisa kembali padanya? Membenarkan apa yang diberikan?”

“Ini bukan hanya penyelesaian untuk permasalahanku saja, kan? Kau bisa bebas ...”

“Dan berapa kali aku sudah mengatakan padamu! Jangan bawa Naura dalam pernikahan kita,” penggal Sean dengan suara amarah yang tak lagi bisa ia tahan. “Berhenti menjadikan Naura alasan untuk keegoisanmu. Kau tak tahu apa yang sebenarnya coba dilakukan Gavin padamu.”

“Sekarang kau berbohong untuk kepentinganmu sendiri.”

Sean menggeram. Melompat berdiri dari kursinya dan memutari meja hanya dalam hitungan detik. Sebelum kemudian menangkap tubuh Jihan, menyambar bibir wanita itu dan melumatnya dengan paksa.

Jihan berusaha memberontak. Tetapi kedua lengan Sean yang melilit tubuhnya begitu kuat. Menahan kepala dan pinggangnya. Ciuman Sean pada awalnya hanya lumatan di bibir. Kemudian pria itu menggigit bibirnya, menciptakan celah di bibirnya dan menyelipkan lidah ke dalam mulutnya. Membungkam protes yang ada di ujung lidahnya. Dan kali ini, Sean mencumbunya dengan keadaan sadar. Tanpa pengaruh dari alkohol. Pria itu benar-benar sudah kehilangan kewarasannya.

Ketika Jihan nyaris kehabisan napas, barulah pria itu melepaskannya dan Jihan langsung mendorong tubuh pria itu menjauh. “Apa yang kau lakukan?!” jeritnya marah dengan suara terengah.

“Mencumbu istriku.”

Jihan mendelik. Mengusap bibirnya menggunakan punggung tangan dengan kasar. Dengan kemarahan yang semakin pekat di kedua matanya, wanita itu kemudian berbalik dan membanting pintu ruangan Sean dengan keras.

Telapak tangan Jihan membekap mulut. Berlari menuju toilet terdekat yang ada di lantai ini. Langsung memuntahkan seluruh makan siangnya di lubang toilet.

Tubuhnya lemah, jatuh bersimpuh di lantai toilet yang dingin sembari mengembalikan tenaganya. Ada rasa tak nyaman di perutnya yang mulai terasa intens. Sepertinya ia tak bisa menunggu untuk memeriksakan diri ke rumah sakit.

*** 

Jihan memiliki alasan pertengkaran mereka di ruangan Sean untuk menolak pulang bersama pria itu. Berniat pulang lebih awal setelah menyerahkan berkasnya pada Kak Satya.

“Kau baik-baik saja?” Satya menatap lekat raut Jihan. “Kau pucat sekali.”

Jihan mengangguk. “Hanya sedikit tidak enak badan.”

“Kalau begitu kau bisa pulang lebih awal dan beristirahat.”

“Ya, terima kasih, Kak.” Jihan berbalik dan berjalan menuju pintu. Tetapi kemudian berhenti, kembali menatap sang kakak ipar. “Kak, bolehkah Jihan pinjam mobil kakak?”

Rencananya untuk menghindari Sean berjalan sempurna. Ia langsung menuju rumah sakit setelah menghubungi dokter untuk janji temu. Tangannya meremas ujung pakaiannya sepanjang perjalanan menuju ruangan dokter. Menarik napas rendah dan panjang ketika berdiri di depan pintu ruangan dokter.

‘Siapkah ia?’

Pertanyaan itu tak berhenti memenuhi benaknya. Jika ia memang hamil, kali ini ia harus menyembunyikannya dengan hati-hati. Dan benar saja, tebakannya tak meleset. Dokter memberikan ucapan selamat dengan wajah semringah, sementara wajahnya pucat oleh keterkejutan.

“Usianya sudah memasuki minggu ke 9. Detak jantungnya sedikit lemah.”

“A-apa?” Darah seketika lenyap dari seluruh permukaan wajah Jihan. Ketakutan mencengkeram dadanya dengan keras. “A-artinya apa, Dok?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top