14. Pengakuan Jihan

Part 14 Pengakuan Jihan

“Di mana kau?” Suara Sean diselimuti kekesalan begitu Jihan menjawab panggilannya. “Aku menghubungimu sejak tadi.”

Jihan menggigit kecil bibirnya. Ia lupa mematikan mode senyap di ponselnya sehingga melewatkan panggilan pria itu. Sean tak menghubunginya jika tidak ada hal yang penting. Yang pasti ada hubungannya dengan keluarga mereka.

“Kau sudah melihat kabar yang beredar? Kedua orang tuamu ada di ruanganku.”

“Apa?” Jihan tercekat. Sekali lagi mengulang kalimat Sean tetapi tak juga mengerti apa yang dimaksud pria itu.

Kabar yang beredar? Seingatnya ia tak membuat masalah yang harus melibatkan keluarga mereka sehingga kedua orang tuanya mendatangi Sean. 

Desahan kesal terdengar dari seberang. Dan saat Sean melanjutkan kalimatnya, suara pria itu berubah lebih rendah. Setengah berbisik seolah tak ingin di dengar orang lain. “Apa yang harus kukatakan pada mereka?”

“Memangnya apa yang kulakukan?”

Sean mendesah sekali. “Baca artikel yang kukirim dan segera ke ruanganku,” pintahnya sebelum mengakhiri panggilan tersebut.

Jihan masih memegang ponsel yang menempel di telinga. Tertegun beberapa lama sebelum menurunkan benda pipih tersebut dan melakukan apa yang diminta Sean. Matanya membeliak lebar melihat foto-foto jepretan dirinya dan Gavin yang sedang makan siang di restoran langganan mereka. Dua hari yang lalu. Ada gambar ketika keduanya saling berpegangan tangan, juga saling berpelukan dan … Jihan merasa wajahnya memerah dengan gambar Gavin yang mencium keningnya di tempat parkir.

Ditambah judul berita yang membuat perutnya mual, membayangkan akan semurka apa kedua orang tuanya mengetahui hal tersebut. Putri tunggal Sebastian yang misterius akhirnya terang-terangan memunculkan diri di hadapan publik.

Tampil mesra. Jihan Sebastian, menggandeng sang kekasih.

Siapa kekasih sang pewaris tunggal Seno Sebastian?

Mengenal lebih dekat tentang keluarga bahagia Seno Sebastian.

Seolah belum cukup dengan semua itu, tampilan kedua jari manis mereka yang dilingkari cincin menjadi sorotan dan menciptakan judul yang lebih panas.

Benarkah keduanya sudah bertunangan?

Jihan menggigit bibir bagian bawahnya. Bagaimana mungkin identitasnya terbongkar dengan cara seperti ini? Tak ada wartawan yang tahu tentang Jihan Sebastian. Kedua orang tuanya memastikan hal tersebut mengingat masa lalu kedua keduanya yang cukup buruk tentang media. Yang sekaligus memberinya kebebasan melakukan apa pun tanpa harus mencemaskan pemberitaan yang tidak dibutuhkan.

Bahkan kedekatannya dengan Sean sebagai teman sejak kecil pun tak pernah terendus media. Lalu, bagaimana mungkin tiba-tiba hubungannya dan Gavin terendus dan meledak seperti ini?

“Aku sudah memperingatkanmu tentang hal ini, kan?”

Jihan menggigit bibir bagian dalamnya begitu Sean menerobos masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Ia baru saja akan pergi ke ruangan pria itu. Memperingatkan?

Ya, satu tahun yang lalu. Sean menyuruhnya untuk tidak bertemu dengan Gavin sementara waktu karena ada seorang wartawan yang berhasil menangkap gambarnya ketika di bawah ke rumah sakit. Yang berhasil Sean bungkam dan hapus gambarnya sebelum meninggalkan rumah sakit.

“O-orang tuaku?”

“Baru saja pulang.”

Jihan mendapatkan napasnya. Ia butuh waktu untuk bertemu mereka.

“Mereka meminta kita pergi ke rumahmu nanti malam.”

“N-nanti malam?”

“Jadi, kau ingin penjelasan apa agar jawaban yang kita berikan bisa sejalan?”

Jihan menelan ludah dan menatap wajah Sean. Ada kekesalan yang sangat jelas di wajah Sean. Bibir pria itu yang menipis membuat Jihan kembali tertunduk dalam. Ini sepenuhnya kesalahannya.

“Apa kau tahu bagaimana …”

“Gavin.”

Wajah Jihan terangkat, matanya melebar tak percaya. “Tidak mungkin, Sean. Dia tidak tahu …”

“Kau pikir aku berbohong?” sengit Sean. Lebih kesal. “Hanya karena kau bebas melakukan apa pun, setidaknya pikirkan jika hubungan kalian diketahui oleh kedua orang kita, Jihan. Kau tahu mereka sangat berharap dengan pernikahan ini, kan?”

Jihan tercengang dengan semburan emosi Sean yang sukses mencubit hatinya. “Dan hanya karena kau lebih bisa menyembunyikan hubunganmu dengan Naura, kau tidak berhak menyalahkanku seperti ini, kan?”

Kemarahan Jihan pun berhasil menggelapkan wajah Sean.”Apa?” desisnya tajam.

“Kenapa kita tidak bercerai saja dan menjalani hidup masing-masing seperti seharusnya? Apa yang perlu kita pertahankan dengan pernikahan palsu ini, hah?”

“Apa? Pernikahan palsu kau bilang?”

“Apakah ada kata yang lebih tepat untuk menjabarkan hubungan kita saat ini? Aku sudah muak dengan semua ini. Aku sudah muak harus dibebani kebahagiaan keluarga kita. Apakah kau tidak? Sampai kapan kita akan bersandiwara layaknya pasangan yang bahagia? Sampai kapan kita akan terus memberikan harapan palsu untuk mereka.”

“Aku sudah mengatakan kalau aku tidak akan menceraikanmu, Jihan. Jangan bersikap menjadi korban dalam hubungan ini. Jangan berpikir kaulah yang paling berkorban dalam hubungan ini.”

“Apakah tidak?” Dagu Jihan terangkat lebih tinggi. Amarah mencuat di dadanya. Menggebu dengan tiba-tiba. “Ah, hubungan kalian memang masih baik-baik saja, kan? Tak ada yang perubahan apa pun karena satu-satunya penghalang dalam hubungan kalian sudah tidak ada. Anak itu.”

Mata Sean memicing tajam, menusuk raut Jihan yang diselimuti emosi.

“Kau dan Naura menginginkan anak ini lenyap, kan? Dan pernikahan, kau masih bisa menikahinya tanpa menceraikanku. Menggunakanku untuk menyembunyikan hubungan kalian di hadapan kedua orang tuamu. Atau … apa kalian memang sudah diam-diam menikah di belakang kami semua? Jadi itu alasanmu tak ingin menceraikanku? Menjadikanku tameng dalam hubungan kalian.”

“Apa yang kau katakan, Jihan?” desis Sean. Kalimat Jihan yang panjang tersebut seolah adalah bendungan emosi yang tak lagi berhasil wanita itu tanggulangi. Bahkan tak memberinya kesempatan untuk membuka mulut menghadapi serang tersebut.

“Kau bersikap seolah aku sengaja membunuhnya dalam kecelakaan itu?” Jihan menarik napas besar dan merasakan gumpalan yang pekat di tenggorokannya. Rasa panas merebak di kedua matanya. “Aku tak percaya kau mengarang semua tuduhan itu untuk kelicikanmu sendiri, Sean.”

Mulut Sean membuka, tetapi tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya melihat wajah Jihan yang dipucati amarah dan terlihat begitu emosional. Sekarang jelas bukan saat yang tepat untuk bicara. Wanita itu kemudian terduduk di sofa, kedua telapak tangan membekap wajah dan ia bisa melihat pundak Jihan yang bergetar. Membuatnya kembali menelan kata-katanya.

Lama, keduanya tenggelam dalam keheningan yang begitu pekat. “Kita akan bicara di rumah,” ucapnya kemudian meninggalkan ruangan Jihan.

Isakan Jihan semakin dalam. Rasa sakit itu berhasil mengiris-iris dadanya dengan cara yang buruk. Sekarang semuanya jadi masuk akal. Sean memang memanfaatkan dirinya. Seperti yang dikatakan oleh Gavin.

‘Kenapa hanya kau yang tak bisa melanjutkan hidupmu setelah kecelakaan itu, Jihan?’

‘Apa maksudmu?’

‘Beberapa kali aku melihat Sean dan Naura pergi bersama. Dan hubungan mereka baik-baik saja. Mereka tampak bersenang-senang. Kau yakin Sean tidak memanfaatkanmu dengan pernikahan ini?’

Jihan terdiam. Ia tahu hubungan Sean dan Naura kembali membaik tak lama setelah kecelakaannya. Sean dan Naura memang mengharapkan kegugurannya. Dan kalimat terakhir Gavin … 

‘Apa maksudmu?’

Gavin menarik napas panjang. Bersiap untuk melanjutkan. ‘Kau pernah mengatakan padaku kalau mama Sean tak menyukai Naura, kan? Yang membuatmu sulit untuk menolak perjodohan ini.’

Jihan mengangguk pelan.

‘Apakah mungkin Sean memanfaatkan pernikahan kalian untuk menyembunyikan hubungannya dengan Naura di belakang orang tuanya?’

Jihan semakin terisak. Menatap pintu ruangannya yang ditutup oleh Sean. Pria itu bahkan tak memberinya penjelasan apa pun. Setidaknya pria itu perlu menyangkal untuk mengurangi kekecewaannya pada pria itu. Untuk hubungan persahabatan mereka.

Air mata Jihan semakin membanjir. Ia lupa kalau Naura memang lebih bisa membahagiakan pria itu dibandingkan dirinya. Yang hanya menjadi penghalang berkedok sahabat dalam hubungan mereka.

*** 

Ketika Sean menjemput Jihan di ruangannya, kedua mata wanita itu tampak bengap meski berusaha disamarkan dengan mencuci muka. Keduanya turun ke basement tanpa sepatah kata pun. Dan sengaja mempertahankan keheningan hingga sampai di rumah.

Mama Sean menyambut keduanya dengan pelukan dan senyum hangat seperti biasa. Seolah tak ada apa pun yang terjadi meski Jihan yakin wanita paruh baya itu sudah mengetahui semuanya.

“Kami akan segera pergi setelah berganti pakaian.” Jihan sempat mendengar Sean yang berbicara pada Vivian ketika ia mulai menaiki anak tangga. Begitu sampai di kamar, Jihan langsung masuk ke kamar mandi. Membersihkan diri dan saat keluar, Sean sudah berpakaian rapi dengan rambut yang lembab.

Pria itu menunggunya bersiap dengan duduk di sofa. Masih membungkam, begitu pun dengan Jihan.

“Ada yang ingin kau katakan sebelum kita pergi?” tanya Sean saat keduanya hendak keluar.

Jihan menggeleng singkat.

“Tentang apa yang kau katakan di ruanganmu.”

Jihan kembali menggeleng.

“Kau tak ingin mendengar penjelasanku?”

Jihan melirik ponsel di tangan Sean yang bergetar oleh panggilan dari Naura. “Tak ada yang perlu dijelaskan.” Jawabnya dingin lalu mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu lebih dulu. 

Sean menghela napas panjang, menatap punggung Jihan yang menjauh sebelum memasukkan ponselnya ke dalam saku jakat dan menyusul langkah wanita itu. Kakinya sempat nyeri ketika menuruni anak tangga, tetapi ia masih bisa melangkah dengan baik dan menyamai langkah Jihan.

Setelah berpamit dengan mamanya, keduanya naik mobil Sean. Sepanjang perjalanan masih diselimuti keheningan. Hingga mobil berhenti di halaman kediaman Sebastian setengah jam kemudian.

“Tunggu.” Sean menahan pergelangan tangan Jihan sebelum wanita itu membuka pintu. “Gavin memanfaatkan pemberitaan ini untuk kepentingan bisnis keluarganya.”

Kerutan tersamar di antara alis Jihan. “Kau tak perlu mengarang hal seperti ini untuk menyangkal semua pemberitaan ini, Sean.”

“Apa?” Sean membeliak terkejut. Menutup mulutnya kembali dan menghela napas pelan. “Baiklah. Lalu apa yang akan kau katakan pada orang tuamu.”

“Aku tahu apa yang harus kukatakan.” Jihan menepis tangan Sean dan turun lebih dulu. 

Pelayan menyambut keduanya dan mengarahkan mereka ke ruang keluarga. Tempat kedua orang tuan Jihan duduk menunggu. Ketegangan terasa begitu pekat di ruangan tersebut begitu Jihan dan Sean duduk di seberang meja.

“Jadi, kau sudah menyiapkan penjelasan untuk semua kekacauan ini? Dan siapa pria itu, hah?” Seno kesulitan untuk menahan gejolak amarahnya.

“Namanya Gavin, Pa. Gavin Angkasa. Dan … sebenarnya kami memang saling mencintai, Pa.” Pernyataan Jihan kontan membuat Maura dan Seno terperangah. Begitu pun dengan Sean yang duduk di sampingnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top