13. Cinta Dan Persahabatan Yang Sudah Hilang
Part 13 Cinta Dan Persahabatan Yang Sudah Hilang
“Hentikan, Sean.” Jihan mendorong dada Sean menjauh. Ia masih belum sempat berpakaian ketika tiba-tiba pria itu masuk ke dalam ruang ganti. Menghimpit tubuhnya ke pintu lemari dan menyambar satu lumatan di bibir. Ia berhasil melepaskan diri, tetapi Sean kembali merapatkan tubuh mereka. Bau alkohol dari mulut pria itu membuatnya mual. “Kau mabuk.”
Sean tertawa kecil. Kemudian menggeleng dan senyumnya terlalu lebar. “Aku masih cukup sadar kalau yang kucumbu adalah istriku sendiri.”
Jihan menggeliat. Kata-kata Sean diiringi sindiran yang tajam. Pria itu memang pandai menyinggung perasaannya seperti biasa, kan? Entah ke mana perginya Sean yang dulu.
“Aku ingin berpakaian, pergilah.”
“Kau tak perlu berpakaian,” bisik Sean. Menahan kedua tangan Jihan di dadanya dan merangkulkan ke lehernya. Hanya butuh satu gerakan ringan bagi pria itu untuk menggendong tubuh Jihan dan membawa keduanya ke tempat tidur.
Mata Jihan terpejam, membiarkan Sean melucuti pakaiannya sekaligus mencumbu setiap jengkal tubuhnya dengan gairah yang menggebu. Tak ada lagi kecanggungan bagi pria itu untuk meniduri dirinya. Yang ada hanya tubuhnya yang digunakan sebagai pelampiasan hasrat seorang pria karena dirinya masih istri sah Sean.
Mata Jihan terpejam. Berusaha tidak fokus pada rasa mual karena bau alkohol yang tertangkap hidungnya ketika Sean menciumnya. Ya, pria itu tak pernah tidak menyentuhnya dalam kondisi mabuk. Seolah tubuhnya tak cukup menggairahkan ketika Sean dalam keadaan sadar.
Setelah berhasil mendapatkan puncak kenikmatannya, Sean bergulir ke samping dan Jihan bergerak memunggungi pria itu. Bisa mendengar suara napas terengah pria itu yang mulai kembali normal.
Jihan meraih kembali jubah handuknya di lantai ketika tiba-tiba suara dering ponsel Sean terdengar. Dan tak lebih dari dua menit, Sean membersihkan diri dan berpakaian. Meninggalkannya tanpa mengatakan apa pun.
Jihan mengingat apa yang membuat Sean tiba-tiba pergi setelah pulang dalam keadaan mabuk dan menidurinya tadi malam. Dan kembali lagi setelah lewat tengah malam.
“Kenapa? Ada masalah?”
Pertanyaan Satya memecah lamunan Jihan dan memberikan gelengan kepala. “Jihan masuk dulu, Kak,” ucapnya kemudian mengambil jam tangan tersebut dan berjalan menuju kamar Sean.
Sean sedang berganti pakaian ketika Jihan menyusul masuk. Sedikit kesulitan ketika mengenakan celana, tapi berhasil setelah mengganti dengan celana pendek.
Langkahnya terpincang menuju sofa panjang, meraih ponsel dan menghubungi kepala pelayan untuk membawakan tas pria itu ke kamar.
Jihan merasakan cubitan di dadanya semakin bertambah. Pria itu tak membutuhkan bantuannya seolah dirinya tak dianggap ada. Bukan karena tak ingin merepotkannya.
“Ada apa?” Sean mendongak, menatap Jihan yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Mata wanita itu menyiratkan banyak emosi di mata, tetapi hanya kekecewaan yang mendominasi di sana. Jenis tatapan yang tak pernah berubah saat menatapnya.
Bibir Jihan merapat, meletakkan jam tangan di tangannya di meja dan berbalik untuk masuk ke dalam kamar mandi.
Sean tercenung menatap benda itu di meja. Mengingat bagaimana ia melepaskan jam tangan tersebut. Lalu menatap pintu kamar mandi yang dikunci dari dalam.
***
Jihan menatap pantulan wajahnya yang basah di depan cermin. Yang menyamarkan genangan air mata di kedua pelupuk mata.
Dengan berbagai macam perasaan yang campur aduk, ia mulai menggali ingatannya satu persatu.
Bagaimana hubungan mereka bisa menjadi seperti ini. Satu tahun yang lalu.
‘Aku ingin bercerai. ‘ kata-kata Jihan menghentikan Sean yang sedang menuangkan air putih ke dalam gelas.
Jihan menoleh ke samping dan tatapan keduanya bertemu. ‘Anak ini sudah tidak ada. Tak ada alasan bagi kita berdua untuk mempertahankan pernikahan ini, kan?’
‘Apa kecelakaan itu disengaja?’
Jihan tersentak kaget, tak percaya Sean akan mengajukan pertanyaan tanpa perasaan tersebut. ‘A-apa?’
‘Kau bahkan belum keluar dari rumah sakit dan kau sudah mengungkit hal ini? Sungguh? Sekarang saat yang tepat untuk membahasnya?”
Jihan tak menjawab. Menatap kemarahan di wajah Sean yang semakin pekat. ‘Tak hanya menyalahkanku, sekarang kau berpikir aku sengaja melakukan semua itu untuk membunuhnya?’
Sean mendengus. ‘Apakah tidak?’
Jihan menggigit bibir bagian dalamnya. Merasakan gumpalan batu mengganjal di tenggorokan dan cengkeraman kuat di dalam dadanya. Matanya mengerjap, mengurai rasa panas yang mulai menjalar di kedua matanya.
‘Kau bahkan tak bisa menunggu anak itu lahir karena tak sabar kembali padanya?’
‘Cukup, Sean!’ Jihan tak sanggup menerima lebih banyak kekecewaan dan sakit hati sebanyak ini. ‘Tinggalkan aku sendirian!’
Pertengkaran mereka semakin memburuk seiring berjalannya waktu sejak kecelakaan itu. Selain karena kedua orang tua mereka, Sean sama sekali tak berniat menceraikannya. Yang membuat Jihan terjebak dalam pernikahan mereka hingga saat ini.
Tak hanya itu, bahkan Sean benar-benar mendalami sandiwara pernikahan mereka dengan sangat baik. Pun keduanya masih sering bertemu Gavin dan Naura secara diam-diam di belakang masing-masing.
Sungguh. Meski kehadiran anak dalam kandungannya bukan atas keinginan dan tak ia harapkan, tetap saja membunuh nyawa yang tak tak berdaya tersebut bukan pilihan yang akan ia ambil hanya karena sebuah keegoisan. Kata-kata Sean saat itu masih melukai perasaannya dan terasa menyakitkan seolah luka itu baru saja ditorehkan.
Dan … sekarang hal itu harus terulang.
Jihan membuka laci di sampingnya. Membuang sebotol pil kontrasepsi yang tak ada gunanya. Mungkin juga karena ia yang terlambat atau melewatkan jadwal minumnya.
Ini sudah minggu ketiga jadwal tamu bulanannya tidak datang. Tapi ia tak berani melakukan tes kehamilannya. Apalagi memberitahu Sean tentang hal ini. Pria itu masih mencintai dan menjalin hubungan dengan Naura. Ia tak bisa merusak hubungan mereka untuk kedua kalinya.
***
“Kau melamun lagi.” Gavin mendekatkan menu pilihan Jihan ke hadapan wanita itu. “Ada yang mengganggu pikiranmu lagi?”
Jihan mengerjap sekali dan menggeleng. Mengambil garpu dan mulai menyantap spaghettinya.
“Bagaimana pekerjaanmu?”
“Baik.”
“Apakah posisi barumu membuatmu tak nyaman? Akhir-akhir ini kau jadi lebih pendiam.”
Jihan menggeleng lagi, dengan seulas senyum tipis. “Aku hanya merasa sedang tidak enak badan. Sepertinya aku melewatkan jadwal makanku. Aku hanya tak mengira akan berdampak pada tubuhku,” dalih Sean.
Gavin mengangguk pelan. Tangannya terulur, meraih tangan Jihan dalam genggamannya.
“Bukankah sudah setahun?” Suara Gavin lembut dan hati-hati. Pun begitu, perubahan di wajah Jihan tetap tak bisa ditutupi setiap kali ia mengangkat topik pembicaraan ini. “Apakah Sean masih …”
Jihan menarik tangannya. “Aku tak memintamu menunggu, Gavin. Jika orang tuamu ingin kau segera menikah, aku tak akan menghalangimu.”
Gavin diam. Mengamati Jihan yang tampak menggigit bibir bagian dalam. Setelah kecelakaan Jihan satu tahun yang lalu, ia pikir hubungannya dan Jihan akan membaik. Tapi … Sean tak ingin menceraikan Jihan. Ditambah kedua orang tua keduanya yang tak ingin mereka berpisah.
“Kau tahu hanya kau wanita yang kucintai, Jihan. Bagaimana mungkin aku akan menikahi wanita yang tidak kuinginkan?”
Jihan tertegun dengan kata-kata Gavin. “Bukankah seorang pria bisa melakukan hal semacam itu?”
“Apa?”
“Menikah dan meniduri wanita yang tidak dia cintai.”
Kedua alis Gavin saling terpaut. “Apa maksudmu?”
Jihan tak langsung menjawab. Bagi Sean, menikah dan meniduri dirinya adalan bagian dari sandiwara yang harus mereka tunjukkan di hadapan keluarga mereka. Kebahagiaan keluarga mereka bergantung seharmonis apa rumah tangga mereka terlihat. Begitu pun dengannya, membiarkan tubuhnya disentuh oleh Sean, meski pria itu bukan pria yang ia cintai adalah bagian dari apa yang harus mereka lakukan dalam pernikahan ini.
Cinta?
Jihan menatap wajah yang ada di hadapannya. Perasaan cinta yang dulu terasa begitu indah dan menyenangkan ketika menatap wajah Gavin. Juga perasaan rindu karena pria itu tidak bisa ia lihat secara langsung. Ia sudah lupa bagaimana semua perasaan itu mulai meluruh dan terlupakan.
Kecelakaan itu dan hubungannya dengan Sean. Semua itu lebih banyak mendominasi pikiran dan perasaannya. Yang membuatnya merasa bersalah setiap kali melihat wajah Gavin. Pernikahan mereka, membuatnya harus kehilangan cinta dan persahabatan di saat yang bersamaan
“Aku tak ingin kau menungguku, Gavin. Bukankah kau bilang kita hanya bisa berteman.”
Gavin menggeleng. “Aku akan tetap menunggumu. Apa pun yang kau katakan.”
Jihan menggeleng, merasakan panas yang mulai menjalari kedua mata.
“Aku ingin ke toilet.” Jihan menarik tangannya dan berdiri. Dengan langkah yang terburu, wanita itu berjalan menuju toilet.
Gavin melirik ponselnya yang sejak tadi tak pernah berhenti bergetar. Nama sang mama muncul di layar tepat seperti yang ia pikirkan. Setelah memastikan Jihan menghilang dari pandangannya, barulah ia menjawab panggilan tersebut.
“Bagaimana?”
“Aku bisa mengurusnya, Ma.”
“Apa kau masih belum bisa meyakinkannya?”
Gavin tak menjawab. Menatap kembali ke lorong menuju toilet. Bibirnya menipis keras. Rasanya ia sudah cukup bersabar menunggu Jihan kembali pulih setelah kecelakaan itu terjadi. Tapi … si sialan Sean malah tak ingin menceraikan wanita itu.
“Kau harus cepat mengumumkan pertunangan kalian, Gavin. Setidaknya itu bisa meyakinkan para direksi untuk kembali memberi kita waktu. Keluarga Sebastian cukup berpengaruh. Cukup hubungan kalian akan membuat kita keluar dari masalah kali ini.”
Gavin terdiam. Tampak mempertimbangkan. Lagipula, bukankah pernikahan Sean dan Jihan belum diumumkan. Tak ada siapa pun yang tahu selain keluarga inti kedua pihak. Naura dan juga dirinya. Kedekatan Jihan dan Naura pun banyak diketahui karena keduanya berteman sejak kecil, dan tak ada yang tahu kalau Jihan Sebastian adalah anak tunggal dari Seno Sebastian. Pemilik perusahaan yang cukup berpengaruh di kerajaan bisnis keluarga.
Gavin mengingat ketika ia bertemu mamanya di lobi gedung apartemen Jihan dan keduanya pergi ke rumah sakit ketika Jihan berteriak minta tolong dalam panggilan mereka yang masih tersambung.
“Seno Sebastian?” Sang mama mendelik melihat pasangan suami istri yang berjalan memasuki rumah sakit. “Denny Blaize? Bagaimana mereka ada di sini, Gavin? Kau mengenal mereka?”
Gavin menggeleng. Pandangannya mengikuti langkah Sean dan dua pasang paruh baya tersebut menuju meja resepsionis. Menanyakan di mana Jihan saat ini.
Gavin tercenung untuk waktu yang cukup lama. Mencoba merangkai setiap kepingan puzzle ini.
Jihan Sebastian?
Sean Blaize
Satya Blaize
Sammy Blaize
Sekarang kedekatan Jihan dengan ketiga pria itu terasa masuk akal. Kedekatan kedua keluarga tersebut cukup masuk akal hingga Jihan dan Sean dinikahkan. Untuk menambah kekuatan dua perusahaan paling berpengaruh tersebut.
“Jangan bilang J-jihan …” Sang mama membeliak, membekap mulut dengan ketidak percayaan yang dipenuhi sesal. Dan kemudian suaranya bergetar hebat oleh kebahagiaan ketika melanjutkan kalimatnya. “Jangan bilang Jihanmu adalah putri misterius dari pasangan Maura dan Seno Sebastian, Gavin.”
Gavin terdiam. Ia sendiri pun tak tahu. Bahkan Jihan tak pernah memperkenalkannya pada mereka. Seolah memang sengaja menyembunyikan identitas asli wanita itu darinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top