11. Persaingan Antar Saudara

Part 11 Persaingan Antar Saudara

“Naura, bisakah kita bicara sebentar?” Jihan beranjak dari duduknya. Mendekati Naura yang tampak puas dengan kegugupannya. 

Naura menyentakkan tangan Jihan. Kebencian di kedua matanya semakin pekat. Lebih pekat dari terakhir mereka bertemu di apartemen Sean.

Kegugupan Jihan merebak di seluruh permukaan wajahnya. Menatap kebengongan di wajah Gavin.

“Ada apa ini?” Gavin ikut berdiri. Menatap Jihan dan Naura bergantian.

Seringai tersamar jahat di antara seulas senyum yang kemudian diberikan oleh Naura. Wanita itu menggeleng dan berkata, “Tidak ada. Kupikir aku mendengar kabar yang sedikit mengejutkan tentang kalian berdua. Tapi melihat kalian masih makan siang bersama dengan mesra seperti ini, mungkin itu hanyalah omong kosong belaka.”

Jihan terdiam. Tak tahu apalah harus merasa lega atau sebaliknya dengan jawaban yang diberikan oleh Naura.

“Maaf mengganggu kesibukan kalian.”

Kebengongan Gavin seketika raib dan pria itu mengangguk paham. “Ya. Ada banyak kabar tak menyenangkan akhir-akhir ini.”

Naura mengangguk lalu menampilkan senyum mirisnya. “Kau benar. Aku sudah putus dengan Sean.”

“Apa?” Gavin membeliak terkejut.

“Ya. Dia dijodohkan dengan wanita pilihan keluarganya.” Naura sengaja menatap lurus pada Jihan. Menikmati setiap kepucatan yang tertampil di wajah wanita itu. “Dan aku tak akan menjadi bagian dari kebahagiaan mereka.”

Gavin mengangguk paham, tampak bersimpati. “Maaf. Kami tak bermaksud …”

“Tidak apa-apa.” Naura menyeka setetes air mata dengan ujung jarinya. “Itulah yang membuatku berpikir hubungan kalian juga ikut kandas. Keluarga Sean dan Jihan sudah nyaris seperti satu keluarga yang memiliki peraturan yang sama, kan. Jadi kupikir Jihan juga akan dijodohkan dengan pria pilihan keluarganya.”

Napas Jihan tertahan dengan teras. Seluruh tubuhnya menegang. Merasakan tatapan Gavin yang terarah padanya, tetapi ia tak berani membalas tatapan pria itu.

Naura beralih pada Gavin. “Tapi tenang saja. Naura pasti akan menperjuangkan hubungan kalian. Dia sangat mencintaimu, kan?”

Kerutan tersamar di kedua alis Gavin. Menyadari kepucatan di wajah Jihan yang terasa janggal.

“Aku harus segera pergi. Kalian bisa melanjutkan kencan kalian.” Naura mengangguk dan meninggalkan meja keduanya. 

“Apa itu benar?” Gavin yang pertama kali bicara setelah keheningan sempat melingkupi keduanya. “Kalau kau akan dijodohkan oleh kedua orang tuamu?”

Bibir Jihan kelu, kesulitan untuk memberikan jawaban.

“Jadi ini alasanmu menunda pertemuanmu dengan kedua orang tuaku?”

“G-gavin …”

Kemarahan Gavin seketika meluap dengan air mata yang mulai menggenangi kedua mata Jihan. Wanita itu memang tak pandai menyembunyikan rahasia darinya.

Braakkk …

Kedua tangannya menggebrak meja hingga keduanya menjadi tontonan pelanggan yang lain. 

Jihan tersentak kaget. “A-aku … aku takut kau akan kecewa …” Suaranya bergetar hebat. 

“Sekarang kau sudah mengecewakanku, Jihan. Kau bahkan tak mengatakan akan membawaku pada mereka untuk membujuk dan mengubah keputusan mereka. Bukankah itu artinya kau menyerah untuk kita berdua.”

“A-ada sesuatu yang terjadi dan aku tak bisa menolak keinginan mereka. Maafkan aku, Gavin.”

Gavin menggeram kesal. “Jadi siapa pria yang akan dijodohkan denganmu?”

Bibir Jihan seketika merapat. Air matanya mengalir semakin deras.

“Kau ingin aku mencari tahunya sendiri?”

“G-gavin. Kumohon dengar penjelasanku.”

Desahan berat dan kasar lolos dari celah bibirnya. “Siapa?”

Jihan membisu.

“Kau ingin aku mencari tahunya sendiri?”

Jihan tetap bergeming.

Braakkk … gebrakan Gavin kali ini lebih keras. Seolah belum cukup pria itu menjadikan mereka berdua tontonan. Emosi Gavin melonjak hebat. “Baiklah. Aku yang akan mencari tahunya sendiri.”

Gavin mengeluarkan dompet dan meletakkan beberapa lembaran uang di meja sebelum kemudian berjalan keluar restoran.

Jihan lekas mengambil tasnya dan menyusul pria itu. Yang mengabaikan panggilannya.

Kakinya yang lebih pendek tak mampu mengejar langkah lebar Gavin. Yang meninggalkannya sendirian di tempat parkir.

Jihan terisak. Menatap bagian belakang mobil Gavin yang menghilang dari pandangannya. 

Lama ia tertegun di sana. Ketika menyadari seseorang yang baru saja turun dari sebuah mobil. Yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.

“S-sean,” panggilnya tanpa suara. Tapi pria itu malah menatapnya dingin dan berbalik masuk ke dalam restoran.

*** 

Jihan baru saja mengeringkan rambutnya ketika Sean melangkah masuk. Pandangan keduanya sempat bertemu tetapi Sean memutus kontak mata tersebut lebih dulu dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama pria itu keluar hanya dengan mengenakan handuk yang melingkar di pinggang.

“Sampai kapan kau akan mendiamkanku seperti ini?” Jihan tak lagi mampu mencegah emosinya meluap. Apa yang terjadi di restoran sudah cukup membuat suasana hatinya sepanjang hari ini memburuk.

“Bukankah kau tak ingin aku ikut campur urusanmu?”

“Apa maksudmu?”

“Aku hanya melakukan apa yang kau lakukan. Membiarkan kekasihmu mengambil tempat yang sudah kurebut.”

“A-apa?”

“Kau pikir semua ini mudah untukku?”

“Dan kaupikir aku lebih mudah karena belum memberitahu Gavin tentang situasi kita?”

“Rupanya kau masih tak benar-benar tahu apa yang diinginkan dirimu sendiri, Jihan.”

“Kau menyalahkanku?”

“Aku tak pernah menyalahkanmu. Semua ini sepenuhnya adalah tanggung jawabku.”

“Aku tak butuh tanggung jawabmu!” Secepat kata-kata itu keluar dari mulutnya, saat itu juga Jihan menyesali kalimatnya yang dipenuhi emosi.

Sean sempat terkejut, sebelum memastikan raut wajahnya berubah dingin. “Kau mengatakannya dengan hatimu?” Suara Sean sangat lirih, nyari tak terdengar karena tertahan oleh remasan di dadanya.

Jihan tak menjawab. Sebelum pertengkaran mereka menjadi lebih panas dan berada di luar kontrolnya, Jihan mengambil langkah seribu menuju kamar mandi.

Mengunci pintu dari dalam dan berjalan ke bawah shower. Membiarkan air dingin tumpah di atas kepala, menyamarkan isak tangis yang semakin membanjir.

*** 

Saat keluar dari kamar, Sean sudah berbaring memunggungi posisi tempat tidurnya dan tak bergerak. Paginya, Jihan terbangun tanpa pria itu di sisinya.

Sejak ia pindah di kediaman Blaize, akhir minggu menjadi pertemuan keluarga Sean dan keluarganya. 

Keluarga mereka begitu dekat, sedekat tempatnya dan  Sean duduk bergabung dalam perbincangan. Namun, jarak yang membentang di antara keduanya begitu jauh. Dan belum pernah hubungannya dan Sean terasa sejauh ini, hingga menciptakan rasa takut akan kehilangan pria itu.

Pun Sean tetap memperhatikan dirinya dan kebutuhannya di hadapan keluarga mereka. Yang tak bisa ia tolak karena ia juga tak mungkin membuat situasi pernikahan mereka semakin rumit. Sudah cukup mama Sean dan mamanya menyandarkan kebahagiaan padanya. 

Dan pembahasan yang tengah mamanya bincangkan membuat Jihan semakin bergerak tak nyaman.

“Laki-laki atau perempuan sama saja, Vivian. Aku hanya butuh menimang cucu,” balasnya pada Vivian lalu beralih pada Jihan. “Mama tahu kehamilan ini karena ketidak sengaja. Tapi mama tak berbenti bersyukur melihat kalian berdua berakhir sebagai suami istri. Sekarang yang harus kau lakukan adalah melahirkannya. Setelah keluar, anak itu akan menjadi urusan kami.”

Jihan memaksa melekungkan senyum untuk kedua wanita paruh baya tersebut.

“Jihan?” Sammy duduk di samping Jihan. Mengulurkan ponsel yang berkelap-kelip ke arah wanita itu. “Sejak tadi ponselnya berbunyi. Sepertinya ada panggilan penting.”

Jihan gegas meraih ponselnya begitu melihat nama Gavin di layar tersebut. Membalik benda itu sebelum ada lebih banyak orang yang melihat. Ia lupa meninggalkan ponselnya di meja pantry ketika mama Sean membuatkan susu ibu hamil tadi. Jihan pun lekas meninggalkan ruang keluarga. Menuju halaman belakang, menjauh dari semua orang sebelum menjawab panggilan tersebut.

“Ya, Gavin?”

“Aku ada di bawah. Bisakah kita bicara?”

Kedua bola mata Jihan nyaris melompat keluar. “Apa? Di bawah?”

“Hmm. Lobi apartemenmu.”

“S-sekarang?”

“Ya. Jika aku cukup penting untuk ….”

“Aku … aku sedang berkunjung ke rumah.” Jihan tak menyebutkan nama Sean. 

“Ah. Apakah pertemuan keluarga?”

Jihan tak menjawab.

Hening yang cukup lama. 

“Setahun lebih kita berkencan dan aku menyadari tak benar-benar mengenalmu, Jihan. Bahkan di mana rumah keluargamu.”

Jihan semakin dibuat kehilangan kata-kata.

Hening lagi. Tetapi tak ada satu pun yang memutus panggilan tersebut. “Aku akan ke sana. Tunggu aku. Lima belas menit,” ucapnya kemudian mengakhiri panggilan.

Jihan berjalan ke samping, melewati jalan setapak yang langsung mengarahkannya ke carport keluarga Blaize.

“Kau sungguh akan pergi? Sekarang?” Entah darimana Sean tiba-tiba muncul sebelum  Jihan naik ke dalam mobil. Menahan pintu mobil terbuka.

“Aku harus bicara dengannya.”

Kekecewaan teramat besar tersirat di kedua mata Sean. Sempat menahan Jihan untuk menarik pintu terbuka. Tetapi ia menguatkan hati, menepis tangan Sean dan naik ke dalam mobil. “Katakan pada mama, aku ada sedikit urusan.”

“Pekerjaan?” sambar Sean dengan sinis.

Jihan tak mengiyakan, tapi ia tahu Sean akan mencari alasan apa pun agar kepergiannya tak mencurigakan kedua orang tua mereka.

Sean tertegun. Lama bahkan setelah mobil Jihan menghilang dari balik gerbang tinggi kediamannya.

Suara tawa kecil yang terdengar seketika mengalihkan perhatian Sean dari pintu gerbang, melihat sang kakak yang berdiri bersandar pada bagian depan mobil. “Hubungan persahabatan kalian rupanya tak membuatnya berhenti melihat kekasihnya, ya? Gavin, bukan nama pria itu? Jika aku tak salah ingat.”

Wajah Sean seketika mengeras. Tatapan tajamnya menusuk lurus ke arah Satya. “Aku sudah mengatakan padamu untuk berhenti, Satya.”

“Berhenti dari apa?” Salah satu alis Satya terangkat.

Sean menggeram. Melompat ke arah sang kakak dan menyambar kerah bagian depan Satya. “Berhenti menatapnya seperti itu. Aku tak akan menceraikannya meski mereka berselingkuh di belakangku.”

Satya terbahak, meski cengkeraman Sean semakin menguat. “Untuk lolos dari kesialan kita?”

Sean menggeram. 

“Akhirnya kau mengakui kebusukan Naura, kan?”

Geraman Sean semakin keras. Kata-kata Satya berhasil mempengaruhinya. 

“Jangan salahkan aku untuk menginginkannya, Sean. Hanya dia satu-satunya wanita yang membuat firasat mama sangat baik. Sementara kita bertiga yakin, firasat mama tak pernah meleset.” Satya mengakhiri kalimatnya dengan seringai. Sementara tatapan keduanya semakin menegang.

“Apa yang kalian lakukan?” Suara Vivian membelah di tengah ketegangan tersebut. Mendorong kedua putranya saling menjauh.

Meski berhasil dipisahkan, tatapan tajam Sean dan Satya masih saling melekat satu sama lain. Sampai kalimat sang mama membuat keudanya terkejut.

“Ayo, Sean. Kita harus ke rumah sakit.” Vivian menarik pergelangan tangan sang putra menuju mobil yang diparkir paling dekat dengan mereka.

“Apa?” Kepala Sean berputar ke samping dan baru menyadari kepucatan di wajah sang Mama. 

“Jihan kecelakaan di sekitar sini. Sekarang dalam perjalanan ke rumah sakit.”

“Apa?” Jantung Sean nyaris melompat keluar. 

“Kenapa bahkan mama tidak tahu dia pergi keluar, hah? Kau tahu dia pergi? Kenapa kau membiarkannya menyetir sendiri? Kau masih ingat dia sedang hamil muda, kan?”

Sean tak benar-benar mendengar cecaran sang mama yang menyalahkannya. Karena ia memang pantas disalahkan. 





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top