10. Firasat Sang Mama

Part 10 Firasat Sang Mama

“Ini benar-benar tak adil untukku, Sean,” raung Naura begitu Vivian keluar dari apartemen. Kedua tangannya memegang lengan Sean, dengan isakan yang semakin pilu. “Apakah kau hanya diam saja dengan pernyataan mamamu? Kenapa kau tak pernah membelaku setiap kali mamamu menolakku?”

Sean hanya terdiam. Ia sendiri tak bisa memahami kenapa mamanya tak pernah menunjukkan persetujuan sejak ia memperkenalkan Naura sebagai kekasihnya. 

 Mamanya selalu menolak setiap kali Sean berniat mempertemukan keduanya agar sang mama kenal lebih dekat dengan Naura dan meyakinkan mamanya bahwa Naura tak seburuk yang mamanya pikirkan. Tetapi mamanya tetap bersikeras tak ingin tahu lebih banyak tentang wanita itu. Bahkan menentang keras ketika ia mengatakan tentang pertemuan kedua keluarga.

Hingga Sean pikir, dengan melamar Naura hal itu akan membuat sang mama tak memiliki pilihan lain selain menerima Naura. Sampai kehamilan Jihan terbongkar dan melenyapkan semua rencananya. Membuatnya harus merubah keputusan dalam hidupnya.

"Untuk apa kita melanjutkan hubungan yang aku tahu tak memiliki harapan Naura?! Aku tak ingin membuatmu berharap karena tahu tak akan bisa mengabulkan harapanmu itu. Jangan membuang waktumu untuk menungguku."

"Kau bahkan belum mencobanya. Kita belum mencobanya."

Sean menggeram kesal. Mulai frustrasi dengan pembicaraan yang malah membuatnya semakin dipenuhi emosi. Tuntutan Naura yang membuatnya semakin didera rasa bersalah. Pada wanita itu juga Jihan.

"Apakah hanya ini perasaan yang kau miliki untukku? Semudah itu kau menyerah hanya karena mamamu tak menyukaiku tanpa alasan yang jelas."

"Kau tahu aku berusaha untuk hubungan ini, Naura. Dan tak sekali dua kali aku mencoba meyakinkan kedua orang tuaku tentangmu."

"Setidaknya kita bisa kawin lari. Buat mereka tak punya pilihan selain menerimaku. Atau ... setidaknya buat aku hamil, seperti yang kau lakukan pada Jihan."

Sean mendesah dengan gusar. Matanya terpejam. “Kau ingin aku berlutut dan meminta maaf untuk semua sakit hati yang kaudapatkan karena keluargaku dan Jihan?”

“Kau pikir maaf saja cukup?”

“Hanya itu yang bisa kuberikan untukmu. Jika bagimu semua itu belum cukup, kau tahu tak bisa memenuhi ekspektasimu.”

Wajah Naura semakin merah padam. Berang bukan main karena jawaban Sean tak seperti yang ia inginkan. 

Naura mendorong tubuh Sean menjauh. Menghapus air matanya dengan kasar. “Baiklah jika itu yang kau inginkan. Aku akan mengakhiri hubungan kita.”

Sean tahu kalimat itu tak akan sesederhana seperti yang ia pikirkan.

“Tapi kalian tak bisa semudah itu melenggang pergi dari hidupku.” Ancaman Naura diselimuti keseriusan. “Mulai sekarang, kau tak perlu ikut campur apa yang akan kulakukan pada kalian. Kalian harus mendapatkan kehancuran yang kudapatkan karena perbuatan kalian.”

Sean kembali membungkam. Ia tahu dirinya berhak menerima semua bayaran itu dan tak akan menolaknya. Ia akan menerima semua itu demi Jihan dan anak dalam kandungan wanita itu.

Naura berbalik, berjalan masuk ke dalam kamar untuk mengambil tasnya dan keluar apartemen dengan pintu yang dibanting keras.

*** 

“Mulai hari ini kalian akan tinggal di rumah ini,” titah Vivian memecah keheningan di antara Jihan dan Sean yang duduk berdampingan di sofa.

Setelah kembali ke rumah orang tuanya siang itu, Sean tak memberikan penjelasan apa pun tentang Naura yang ada di apartemen dan Jihan yang pergi begitu saja.

Satya dan Sammy duduk di kursi lainnya, sementara papa Sean duduk di sofa tunggal. Sebagai pengamat dan hanya perlu mengesahkan titah sang istri demi kedamaian dalam keluarga Blaize.

Jihan satu-satunya orang yang terkejut dan tak setuju dengan hal tersebut, segera mengumpulka keberanian untuk menolak. “Jihan baik-baik saja, Tante. Sungguh. Apa yang terjadi tadi pagi hanyalah kesalah pahaman. Jadi kami tak perlu tinggal di sini …”

“Ya, kesalah pahaman atau tidak, Sean sudah menyelesaikan urusannya dengan wanita itu, kan?” Tatapan Vivian berhenti pada Sean. Menatap lurus sang putra yang memberikan satu anggukan singkat. “Dan mama tidak bisa tenang dengan kehamilanmu yang masih muda. Kau sudah dua kali masuk rumah sakit dalam dua minggu terakhir. Bagaimana mama akan membiarkan hal ini begitu saja.”

Sean dan Jihan saling pandang. Entah bagaimana Vivian tahu Jihan kembali masuk rumah sakit.

“Anak kalian akan menjadi cucu pertama keluarga Blaize dan Sebastian. Tentu saja mama bertanggung jawab untuk ikut menjaganya. Menjaga kebahagiaan keluarga besar kita.”

Mulut Jihan kembali merapat. Kalimat tersebut memberikan beban di kedua pundaknya, yang tak yakin bisa ia penuhi. Kebahagiaan? Sean bahkan harus mengorbankan kebahagiaan pria itu sendiri karena harus menikah dengannya. Kebahagiaan mana yang harus mereka berdua berikan selain kepalsuan ini?

*** 

“Maafkan aku,” lirih Jihan begitu keduanya masuk ke dalam kamar tidur lama Sean. “Tadi pagi kak Satya memergokiku …”

“Kenapa keluar dari apartemen? Kau sendiri yang membuatku merasa buruk hingga membiarkan mencari tempat untuk tidur.”

Jihan tersentak dengan suara Sean yang setengah membentaknya. Wanita itu kembali membungkam melihat kemarahan Sean yang begitu pekat.

“Kau istriku, Jihan. Dan kau membiarkan Naura mengambil posisimu begitu saja?”

“Akulah yang lebih dulu mengambil posisinya.”

Sean menggeram. “Berhentilah membahas Naura ataupun Gavin dalam hubungan kita jika kau masih ingin mempertahankan anak itu.”

Jihan kembali tersentak, kali ini bentakan Sean semakin keras dari sebelumnya. 

“Mulai sekarang, aku tak ingin membahas Naura ataupun Gavin dalam pernikahan ini. Apa kau mengerti?!”

Jihan tak menjawab. Amarah di wajah Sean sudah cukup memberinya peringatan untuk tak membantah pria itu.

*** 

Sepanjang keduanya saling mengenal sejak kecil, belum pernah Sean mendiamkannya selama ini. Hingga seminggu lebih, pria itu masih tak berniat bicara dengannya.

Mama Sean tak berhenti memperhatikan asupan gizi dan jadwal makannya. Selalu menghubunginya setiap makan siang tiba. Dan yang lebih membuat tak nyaman, Satya lah yang selalu menjadi sasaran setiap kali ia tak bisa membalas pesan atau menjawab panggilan mama Sean.

“Jihan?” Panggilan dari seberang membuyarkan lamunan Jihan yang menatap kepergian Sean di ujung lorong. Pria itu bahkan tak menoleh sedikit pun saat keluar dari ruangan Satya.

“Ehm, ya?” jawabnya kemudian. 

“Kau luang siang ini?”

“Siang? Ya. Kenapa?”

“Aku memiliki pertemuan di sekitar gedung kantormu. Aku berencana makan siang denganmu.”

Jihan diam, mempertimbangkan sejenak dan menjawab ya. Hari ini ia tak harus mengikuti pertemuan Satya. Pria itu juga sudah mengatakan memiliki janji makan siang yang tak ada hubungannya dengan pekerjaan.

“Oke. Aku akan menjemputmu tepat jam 12. Tunggu di lobi.”

Panggilan berakhir dan Sammy langsung mendekatkan diri ke arah Jihan. “Kau masih bertengkar dengan Sean?”

Jihan tak menjawab, mendorong wajah Sammy menjauh. “Selesaikan saja pekerjaanmu. Kak Satya ingin memeriksanya setengah jam lagi.”

Sammy mendecakkan lidahnya. “Seharusnya aku hamil. Jadi mama dan Satya bisa memanjakanku seperti yang dilakukan padamu.”

Jihan menghela napas panjang sembari memutar kedua bola matanya. “Jika aku bisa memindahkan anak ini di perutmu, akan aku lakukan.”

Sammy terbahak. Tanpa menyadari kalimat Jihan adalah keseriusan yang dibalut candaan. Dan beruntung topik pembahasan tersebut segera berakhir ketika pandangan Sammy berhenti ke dalam ruangan Satya. Pria itu menjawil lengan Jihan. 

“Sepertinya dia sudah memiliki kekasih.”

“Benarkah?”

Sammy mengangguk dengan antusias. “Atau hanya bermain-main seperti biasa.”

“Aku hanya tak ingin mantannya membuat masalah lagi. Kak Satya selalu kurang beruntung jika berhubungan dengan wanita.”

“Kau benar. Pilihannya selalu salah. Seperti Sean. Itulah alasanku tak ingin berkencan. Siapa yang tahu kesialan mereka juga akan menurun padaku.”

Jihan terdiam ketika nama Sean kembali diungkit. Teringat mama Sean yang tak berhenti menggerutu tentang wanita pilihan Sean. 

“Naura?”

“Ya. Kau pasti mengenalnya, kan? Sean selalu berbagi hal apa pun denganmu.”

Jihan mengangguk tak yakin. Itu sudah tak menjadi rahasia di antara keluarga mereka.

“Bagaimana dia?”

“Naura wanita yang baik, tante.”

“Ck, kau mengatakannya untuk melindungi Sean, kan?”

Senyum Jihan nyaris mendekati ringisan. Sejujurnya ia tak benar-benar mengenal Naura secara langsung. Apa yang ia ketahui tentang Naura hampir semuanya dari Sean.  

“Tante tak menyukainya. Kau tahu, firasat seorang ibu tak pernah meleset jika itu berhubungan dengan anaknya.”

Jihan teringat pembicaraan tersebut tak lama setelah Sean membawa Naura ke rumah untuk diperkenalkan pada kedua orang tua pria itu. Yang tak pernah ia katakan pada Sean. Hingga sekarang ia tidak benar-benar tahu maksud mama Sean mengatakan hal semacam itu. 

“Sekarang Sean sudah bebas dari kesialannya. Aku penasaran siapa yang akan dijodohkan dengan Satya.”

“Kau tidak penasaran dengan dirimu sendiri?”

Sammy menghela napas dan bersandar di punggung kursi. “Seharusnya aku menikah denganmu. Jadi aku tak perlu mencemaskan hal ini.” 

Jihan mendelik dan dibalas cengiran kuda oleh pria itu.

“Apa salahku? Sejauh ini, hanya kau firasat baik yang dimiliki mama.”

Wajah Jihan seketika membeku. Lagi-lagi merasa tak yakin dengan kalimat tersebut. Harapan mama Sean membuatnya merasa terbebani.

*** 

Gavin membawa Jihan ke restoran yang biasa mereka kunjungi. Berada di sekitar gedung Blaize Enterpries.

“Kau sudah menemukan hari yang tepat untuk bertemu kedua orang tuaku?”

Pertanyaan Gavin menghentikan Jihan yang sedang mengunyah. Menelan croissant di mulutnya yang mendadak terasa seperti gumpalan batu.

Ia bahkan tak ingat telah menunda pertemuan keluarganya dengan dalih belum bicara dengan kedua orang tuanya.

“Mama dan papa tak sabar ingin bertemu dengan kedua orang tuamu.”

“A-aku …” Bibir Jihan kembali tertutup. Apakah ia harus memberitahu Gavin tentang situasinya saat ini?

‘Pergi keluar negeri?’ dengus Sean mengejek. ‘Bukankah itu artinya kau juga sudah siap kehilangan Gavin?!’

Kehamilannya maupun Gavin jelas bukan sebuah pilihan.

“Kenapa? Apa kau belum bicara dengan kedua orang tuamu?”

Jihan mengangguk. “Akhir-akhir ini mereka sibuk. Pekerjaanku juga. Aku akan segera …”

“Jihan?” Panggilan dari arah samping menghentikan kalimat Jihan. Wanita itu memucat menemukan Nauralah yang berjalan mendekat dan berhenti di samping meja mereka.

“Kau di sini?” Pandangan Naura beralih pada Gavin. Memberikan seulas senyum pada Gavin sebelum kembali bicara pada wajah pucat Jihan. “Kupikir kalian sudah putus.”

Kedua alis Gavin seketika saling bertaut dan ekspresinya berubah dingin. “Apa maksudmu  Naura?”




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top