|2| Empty Life

"Can I just fix you girl? Show you a different world." —Austin Mahone

Gadis itu benar-benar tidak pernah berbicara.

Lebih tepatnya, dia tidak bisa diajak bicara.

Sudah tiga hari berlalu dari hari di mana gadis itu telah bangun dari tidurnya. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menatap dengan pandangan kosong kesatu titik untuk waktu yang lama. Tidak makan atau minum apa pun jika tidak dipaksa oleh suster. Hingga pada dua hari setelah dia sadar, dia membuang seluruh makanan yang disediakan untuknya. Para dokter memutuskan untuk memasang infus di tangannya lebih lama.

Uchiha Sasuke dibuat pusing oleh Haruno Sakura.

Sudah beberapa kali Uchiha bungsu itu mengajaknya berbicara, namun alih-alih menjawab, meliriknya saja Sakura tidak pernah. Saat tim penyidik datang ke kamar rawatnya untuk mengajukan beberapa pertanyaan, Sakura memilih bungkam dengan pandangan kosong yang terpancar dari emerald-nya.

Ah, emerald yang indah, pikir Sasuke.

Sasuke memijat pelipisnya, pria itu mendesah lelah, bersandar pada sandaran kursi kebesarannya. Ini lebih merepotkan daripada yang pernah ia bayangkan. Sakura tidak menunjukkan tanda-tanda bersahabat kepada siapa pun. Gadis itu tidak akan memudahkan segalanya jika ia terus bungkam dan tidak mengacuhkan orang-orang yang berbicara padanya.

Dia terlonjak kaget saat pintu ruangannya diketuk oleh seseorang. Pria itu mendecih, rasa lelah membuatnya sulit mengendalikan dirinya sendiri. Dia belum mendapatkan istirahatnya yang nyaman sejak kasus itu muncul. Sang Uchiha bungsu berdehem, sebelum menyuruh seseorang yang berada di balik pintu itu masuk.

"Masuk."

Pintu terdorong pada detik berikutnya, menampakkan rambut pirang yang berbentuk seperti buah durian, disusul dengan wajah yang tersenyum lebar ke arahnya. Uzumaki Naruto terkekeh, persis seperti orang sinting saat Sasuke melihatnya. Pria itu berjalan masuk dan langsung duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Sasuke, dia tidak berkata apa-apa, namun saat dia hendak bicara, seseorang masuk lagi ke dalam ruangan Sasuke. Seorang pria, dengan raut wajah lelahnya yang terus-menerus menguap sejak tadi dia kembali ke markas besar kepolisian Jepang.

"Detektif Shikamaru? Apa ada perkembangan?" Sasuke memulai topik pembicaraan, dia membiarkan Nara Shikamaru menduduki kursi di samping Naruto. Pria nanas itu memberikan sebuah map cokelat kepada Sasuke.

"Soal kasus itu? Tidak ada. Tetapi aku mendapatkan keterangan mengenai gadis yang bernama Haruno Sakura itu dari para tetangga dan rekan satu kampusnya." merepotkan, keluh Shikamaru. Namun dia tetap duduk dengan tenang di depan kaptennya sembari sesekali menguap lebar. Dia kelelahan, seperti Sasuke, Shikamaru juga mendapat jatah tidur yang lebih sedikit akhir-akhir ini.

Pria berhelai raven itu merai amplop cokelat dan membukanya, melirik dengan penuh minat pada beberapa lembar kertas yang kini tengah digenggamnya. Onyxnya membulat saat dia melihat isi dari kertas-kertas tersebut. Profil Haruno Sakura. Data-data yang menunjukkan keterangan lengkap tentang gadis musim semi itu. Dimulai dari biodata, daftar riwayat hidup, beberapa foto, dan beberapa keterangan yang menyebutkan bahwa gadis itu tidak pernah berteman dengan siapa pun.

"Dia pribadi yang tertutup. Orang-orang yang tinggal dekat dengan rumahnya mengatakan bahwa dia jarang keluar rumah, tidak pernah membawa satu orang pun ke rumahnya. Rekan satu kampusnya pun tidak ada yang mengenali gadis itu selain teman satu kelasnya meski warna rambutnya cukup menarik perhatian." Shikamaru melipat kedua tangannya di depan dada. Memperhatikan raut wajah Sasuke yang masih membaca kertas-kertas itu dengan teliti.

"Usianya dua puluh enam tahun dan dia masih kuliah?" Sasuke mengalihkan pandangannya dari kertas, menjadi menatap Shikamaru.

"Dia sedang mengejar gelar masternya."

Beberapa foto yang terdapat di dalam amplop cokelat itu yang menarik perhatiannya. Foto-foto itu tidak pernah memperlihatkan seorang pun yang bersama Sakura. Hanya ada gadis itu, yang kadang tersenyum pada kamera atau menatap datar ke arah lensa, sisanya, foto itu diambil disaat kemungkinan Sakura tidak sadar bahwa ada orang yang memotretnya. Gadis itu memang cantik dengan rambut panjang merah mudanya, tinggi semampai dengan kaki jenjang, kulit putih seperti porselen, senyum manis yang malah memperlihatkan mata bulatnya.

Ah, mata itu, emeraldnya begitu penuh dengan kelembutan.

Haruno Sakura dapat dikategorikan sebagai gadis cantik, dan biasanya, gadis-gadis berparas sempurna akan menjadi bintang yang populer dikalangan masyarakat. Sungguh aneh jika gadis secantik Sakura tidak dikenali dan tidak memiliki seorang pun teman.

"Pantas aku tidak pernah melihat seseorang berkunjung untuk melihat keadaannya di rumah sakit." Naruto yang sedari tadi terdiam bergumam. Membuat Sasuke memikirkan ucapannya dengan kening yang mengkerut.

Itu dia masalahnya. Jika dia tidak memiliki seorang teman dekat, Sakura akan terus terdiam seperti arca batu. Sasuke paham bahwa gadis itu tidak sepenuhnya nyaman berada di kerumunan orang asing yang menanyai tentang insiden malam Natal itu terus-menerus. Gadis itu tidak pernah berbicara karena dia merasa ketakutan dengan orang-orang asing tersebut. Lalu bagaimana caranya agar gadis itu mau membuka mulut tentang insiden malam Natal jika dia tidak memiliki orang terdekat untuk menanyakan langsung padanya?

Keluarganya, setidaknya, gadis itu pasti memiliki kerabat jauh.

"Bagaimana dengan keluarga gadis itu?" Sasuke menatap Shikamaru, kening detektif handal itu mengkerut, seperti sedang mengingat sesuatu.

"Dia dinyatakan sebatang kara saat kedua orang tua dan saudara kandungnya tewas." jawaban itu bukanlah jawaban yang Sasuke harapkan, pria yang memiliki warna mata sekelam malam itu mendesah.

"Teme, kau ingin membuatnya merasa nyaman dengan kehadiran orang terdekat ya?" Shikamaru menatap Naruto bingung, otak jeniusnya sudah lelah berpikir keras, jadi dia memilih mendengar keseluruhan ucapan Naruto daripada menerka-nerka seorang diri. "Ya, kau tahu? Kita memiliki rasa nyaman yang tumbuh sata kita menghabiskan banyak waktu dengan seseorang. Kemungkinan, Sakura-san merasakan hal sebaliknya saat orang asing bertanya tentang sesuatu yang luar biasa yang baru saja terjadi dalam hidupnya."

Ya, ya, Naruto benar, pikir Shikamaru. Sekaligus merepotkan, Tambahnya.

"Aku tidak menyangka jika kita satu pikiran, dari mana kau tahu hal itu, Dobe?"

"Isteriku seorang psikolog, aku sedikit banyak belajar darinya."

Sebuah pikiran melintas di otaknya, Shikamaru terdiam, mencoba menelaah tentang ide yang baru saja didapatkan olehnya dalam waktu yang tidak kurang dari satu menit.

"Aku punya ide." kedua mata berbeda warna itu menatapnya, yang satu begitu serius, yang satu menatapnya dengan tatapan datar. Shikamaru menghembuskan napasnya sejenak sebelum mulai berbicara lagi. "Sepertinya kita harus melakukan pendekatan dengan gadis itu. Seperti kata Naruto, semakin lama kita mengenal seseorang, semakin kita merasa nyaman dengannya. Kita bisa melakukan semacam pendekatan pribadi dengannya dan perlahan-lahan mengorek informasi darinya."

Sasuke berpikir keras, memikirkan satu per satu perkataan Shikamaru. Pendekatan pribadi. Mengorek informasi. Kira-kira hal itu membutuhkan waktu berapa lama? Shikamaru benar, pendekatan pribadi dapat menjadi cara alternatif sebelum Sakura sembuh sepenuhnya dari trauma yang gadis itu miliki semenjak dia bangun dari masa kritisnya.

"Mungkin benar. Tapi siapa yang akan mendekatinya secara pribadi?" Naruto menggaruk rambut belakangnya yang tidak gatal. Semua bagian penting dari anggota kepolisian seperti dirinya tidak punya jatah yang cukup untuk mendapatkan istirahat. Tim penyidik, detektif, polisi penjaga, bahkan kapten mereka sendiri tidak sempat tidur nyenyak saat kasus ini muncul. Naruto terkadang berpikir kapan ia akan mendapatkan waktu bersantainya lagi.

"Hanya kau yang dapat melakukannya, Kapten." Shikamaru bergumam malas, menumpukan satu tangannya di atas meja kerja Sasuke.

Sasuke menaikkan satu alisnya, berusaha untuk tidak terkejut. "Kenapa harus aku? Kenapa tidak isteri Naruto yang seorang psikolog saja?"

"Maaf Teme! Tetapi Hinata-chan sedang berada di Paris untuk mengikuti seminar. Dia baru akan kembali dua minggu lagi. Sepertinya ide Shikamaru itu benar, lagipula selama ini kau yang sering berada di rumah sakit untuk memeriksa keadaan gadis itu."

Shikamaru menatap Sasuke dengan pandangan menyelidik yang membuat pria itu tidak nyaman. "Aku hanya memastikan keadaanya."

"Sangat mengejutkan." Shikamaru menyahut acuh, membuat Sasuke mendengus kesal.

Uchiha bungsu itu terus menghela napasnya dengan berat. Dia tidak benar-benar mendapat waktu tenangnya. Mendekati gadis memang bukan hal baru baginya. Tetapi ini adalah Haruno Sakura, gadis itu dalam keadaan mental yang buruk. Sasuke bahkan sanksi Sakura akan mengerti jika dirinya tengah melakukan pendekatan, mengingat gadis itu hanya diam membisu sepenjang hari.

Tetapi mau bagaimana lagi, semakin cepat misi ini selesai maka semakin cepat pula dia bisa bebas dari sesuatu yang membuatnya dan timnya lelah setengah mati seperti ini. Uchiha bungsu itu menghela napas pasrah, menatap kedua bawahannya itu bergantian.

"Baiklah, akan aku coba."

Tes

Tes

Tes

Malam semakin pekat, hilir mudik sang angin menerbangkan beberapa benda ringan yang menantangnya. Membuat udara musim dingin semakin menjadi-jadi. Kegelapan malam ditambah dengan buruknya cuaca membuat orang-orang malas melakukan sesuatu di luar rumah.

Terdengar suara anjing yang melolong panjang di kejauhan. Tetes-tetes air berjatuhan, berasal dari keran air yang tidak tertutup dengan sempurna. Saat mata-mata manusia tertutup dan menyambangi alam mimpi, di sanalah kehidupan yang berbeda dimulai. Bisa jadi, dia berada di kolong tempat tidurmu, mengawasi dengan waspada dan matanya yang berwarna merah. Bisa saja dia berada di atas lemari pakaianmu, menatapmu dengan surai panjang tergerai menjuntai hingga ke bawah. Atau mungkin, dia duduk terdiam di pojok ruangan, mengawasimu dengan mata yang tak lepas dari gerak-gerik tubuhmu.

Dia ada, dan kamu, menjadi bagian yang tidak bisa melihatnya.

Gemersik dedaunan yang tidak tertutupi salju membuat suasana malam hari semakin terdengar misterius. Gema-gema suara langkah kaki samar-samar terdengar, decitan besi pintu pagar berkarat menjadi melodi mencekam. Dia ada di sana, memanggil-manggil namamu dengan suara seraknya, di alam mimpimu.

Gelap, sunyi, dan dingin.

Gadis itu berlari. Semakin jauh, semakin bernafsu menggapai cahaya kecil di ujung lorong. Napasnya terengah, keluar dengan buru-buru dari hidung bangirnya. Mulut itu menghasilkan uap yang berasal dari udara dingin. Melihat sekeliling, namun hanya sebuah kegelapan tanpa ujung yang tertangkap retina mata indahnya. Suara raungan dan isak tangisnya menggema, hampa, ruang sepi itu hanya menampung dirinya sendiri.

Memeluk dirinya dengan posesif, takut jika tiba-tiba saja ada orang yang datang dan menyakitinya. Gadis itu kelelahan, peluh tidak keluar karena udara terlampau dingin. Tiba-tiba, derap langkah kaki tertangkap indera pendengarannya. Gadis itu menyipit dengan waspada, kesulitan karena dia tidak bisa melihat apa pun. Andai saja dia memgang sebuah lilin dengan cahaya, dia tidak perlu setakut sekarang.

Tubuhnya menegang saat tiba-tiba sebuah tali mengikatnya. Gadis itu meronta, mencoba menarik tali yang semakin lama semakin menjeratnya, tidak mengacuhkan goresan-goresan luka yang tercipta saat kulitnya bertabrakkan dengan kasarnya permukaan tali. Dia tidak bisa mengeluarkan suaranya kali ini, lidah itu terasa kelu saat tangan-tangan dingin menyentuh kaki telanjangnya. Naik, semakin naik.

Dan, saat tangan-tangan itu menyentuh bagian betisnya, dia merasa ditarik dengan paksa hingga berbaring telentang. Menyebabkan tubuh belakanganya terasa sakit. Lalu, saat tangan-tangan itu mulai menyeret kakinya menjauhi cahaya di ujung lorong itu, hidupnya berakhir sudah. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan.

Selain menjerit pilu, dan menyebabkan ruangan itu bising dengan suara jeritannya.

"Apa yang terjadi di sini?" Sasuke baru akan jatuh tertidur di ruangannya sebelum suara dering telepon kantornya berdering dan membuat pria itu tersentak kaget. Telepon dari rumah sakit yang menangani pasien bernama Haruno Sakura, masalah baru katanya.

Suara bariton itu sukses membuat seluruh orang berada di depan itu kamar mandi kamar rawat Sakura menoleh, sebelum akhirnya terdengar suara kasak-kusuk dan perlahan orang-orang itu membuka jalan untuk Uchiha Sasuke.

Sasuke menatap satu persatu orang-orang yang berada di ruangan Sakura. Dokter Hyuuga, beberapa suster, dan tiga orang anggota kepolisian yang kebetulan sedang mendapat tugas bergilir untuk menjaga gadis bersurai merah muda yang berada di dalam.

"Ada apa, Juugo?" merasa tidak akan ada yang memberitahunya, Uchiha bungsu itu memutuskan untuk bertanya pada salah seorang polisi yang menjaga kamar rawat Sakura.

"Sakura-san tadi berteriak histeris, Kapten. Kami memanggil suster dan dokter untuk menanganinya, namun saat kami masuk ke sini, Sakura-san sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya." Juugo menjelaskan.

Mata Uchiha prodigy itu menyipit. "Apa ada orang lain yang masuk ke dalam sini tadi?"

"Tidak, Kapt. Kami sudah memeriksanya."

Sasuke mendekati pintu kamar mandi itu, mencoba untuk mengetuknya dengan sabar saat tidak mendapatkan respon apa pun dari dalam. "Sakura, apa yang kau lakukan di dalam? Cepat buka pintunya!"

Hening.

Ucapan Sasuke hanya dijawab oleh deru napas tertahan dari orang-orang yang sekarang sedang mengelilinginya, maksudnya, mengelilingi pintu kamar mandi.

"Sakura! Buka pintu ini atau aku akan mendobraknya." ia memutar tuas pintu ke kanan dan ke kiri, berharap Sakura telah menuruti perintahnya. Akan tetapi, pintu itu tetap tidak bisa terbuka.

Baik, Sasuke harus mengambil tindakan. Bukan hal yang tidak mungkin jika di dalam sana Sakura tidak melakukan hal aneh yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan menambah kerepotan orang-orang disekitarnya. Pria itu mundur beberapa langkah, mengambil ancang-ancang sebelum membuka paksa pintu plastik berwarna hijau yang berada di hadapannya.

Satu, dua, tiga, Sasuke mulai menghitung dalam hati.

Pada saat hitungan ketiga, terdengar bunyi debam keras yang membuat semua orang terkejut, pintu berhasil terbuka pada percobaan pertama. Bunyi itu berasal dari pintu plastik yang terbentur keras dengan tembok. Engselnya rusak, dan tentu saja tidak akan ada yang berniat bertanggung jawab untuk memperbaikinya.

Tidak ingin membuang waktu yang lama untuk mengurusi engsel pintu, pria berhelai raven itu berjalan memasuki kamar mandi. Apa yang pertama kali ditangkap oleh onyxnya adalah tubuh Sakura yang tengah meringkuk di pojok kamar mandi. Bercak darah menodai baju pasien yang berwarna biru itu, darah yang berasal dari tangan kirinya karena ia mencabut infus dengan paksa. Tatapan matanya kosong, raut wajahnya ketakutan—sekaligus menegang, dia menggigiti kuku jari tangan kanannya.

Saat mendengar langkah kaki yang mendekat, sosok rapuh itu menoleh dengan waspada. Emerald gadis itu menajam, memerintah lewat tatapan mata agar sosok itu tidak mendekatinya. Gadis berhelai merah muda itu berlaku defensif, juga ketakutan.

"Sakura," Sasuke berucap pelan, takut jika akan mengejutkan gadis yang sedang duduk di lantai dengan kalut di dekat kloset.

Wajahnya ditutupi oleh kedua tangannya. Mengabaikan rasa perih yang menjalar di tangan kirinya, Sakura berusaha melindungi matanya agar tidak melihat sosok yang menurutnya asing dan sangat menakutkan. Tatapan mata ingin tahu yang tampak dimuka pintu membuat gadis itu merasa terancam. Mengerti, Sasuke memberikan isyarat kepada para rekannya untuk menyingkir dan membiarkan mereka berdua lewat gestur mengusir. Sasuke tidak memikirkan kesopanan di keadaan genting seperti ini.

"Sakura, jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu." suara Sasuke seperti bisikan yang tertangkap indera pendengaran Sakura.

Gadis itu tidak memberikan reaksi apa pun. Dia masih setia membunyikan wajahnya dari sesuatu yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Lamat-lamat, Sasuke mendengar suara isak tangis yang menggema di dalam kamar mandi itu. Suara tangis yang begitu menyayat hati bagi siapa pun yang mendengarnya. Sedikit rasa iba melingkupi perasaan Sasuke. Pria itu membungkuk, menyamakan tingginya dengan tinggi Sakura. Dia bisa mendengar isak tangis itu dengan jelas dari jarak sedekat itu.

"Jangan sakiti aku,"

Sasuke terdiam. Ucapan itu terus menggema di telinganya.

Jangan sakiti aku.

Jangan sakiti aku.

Jangan sakiti aku.

Dia pasti mengalami malam yang berat saat itu. Atau lebih buruk, dia melihat semua keluarganya terbunuh.

"Tidak ada yang akan menyakitimu, Sakura."

Tangan kekarnya terjulur dengan perlahan. Mencoba untuk menyentuh bahu yang sedang bergetar tersebut dengan hati-hati. Ada sedikit keraguan di sana, Sasuke takut jika nanti Sakura menganggap bahwa dirinya adalah seorang penjahat yang akan menyakiti gadis itu lagi.

"Shh …. Aku tidak akan menyakitimu, kau tidak perlu takut padaku." saat tangannya mendarat dengan sempurna di bahu Sakura, yang bisa pria itu lakukan hanyalah menenangkannya. Membisikkan sesuatu agar gadis itu tidak perlu takut dengannya.

Perlahan-lahan, setelah mendapat usapan lembut dari bahunya. Sakura melepaskan kedua tangannya yang menutupi wajahnya. Menampakkan hal yang paling ingin dilihat oleh Sasuke; emerald Sakura. Wajah cantiknya sayu, tatapannya kosong. Meniti wajah Sasuke dalam-dalam. Uchiha bungsu tidak bisa menafsirkan tatapan jenis itu, dia balas menatap Sakura dengan lembut. Sisi yang tidak pernah ditunjukkan olehnya kepada orang-orang selain kepada keluarga dan seseorang yang sangat berarti untuknya.

Tak sampai sepuluh menit, emerald itu terlihat memegang. Menampakkan ketakutan yang Sasuke tidak tahu apa penyebabnya, yang pasti, gadis itu terus menatap Sasuke.

Ah tepatnya, sesuatu di belakang Sasuke.

"Pergi, pergi! PERGI!!!" gadis itu menjerit pilu, cairan bening mengalir deras dari wajah cantiknya, jatuh berdesakan di pipi porselennya.

Sasuke menangkap pergelangan tangan gadis itu, mencengkramnya dengan kuat saat tangan mungil itu mencoba untuk memukul dan mendorongnya menjauh. Dia meronta, berteriak menyuruh seseorang pergi.

"TIDAK! JANGAN SAKITI AKU, JANGAN SAKITI AKU!!!"

"Tenanglah Sakura! Tidak akan ada yang menyakitimu!" tidak mengerti tentang apa yang menyebabkan gadis itu berteriak histeris seperti sekarang, namun, Sasuke tidak melepaskan cengkramannya dari tangan Sakura walau tubuh ringkih itu terus meronta meminta dilepaskan.

"Dokter Hyuuga!" Hyuuga Neji yang memang belum beranjak dari depan pintu kamar mandi melesat ke dalam. Membantu Sasuke dengan cara mengeluarkan sebuah jarum suntik dari dalam saku jas putihnya. Dan seperti sebelum-sebelumnya, dokter itu menyuntikkan obat penenang di pergelangan tangan Sakura.

Keadaan gadis itu berangsur-angsur tenang, rontaannya melemah. Teriakkannya teredam, dan Sasuke buru-buru menangkapnya saat sosok itu akan meluruh ke lantai. Membawa gadis itu dalam dekapannya, saat emerald gadis itu masih tampak. Onyxnya menatap emerald Sakura, terus, sampai giok itu perlahan-lahan menghilang tertutup oleh kelopak matanya.

Mata indah itu, begitu kosong, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.

A/n : menurut kalian, cerita ini bagaimana?

Sertakan kritik, saran, dan unek-unek kalian! 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top