9 | Si Jantan vs Si Betina

Mora terbelalak. Ingin sekali rasanya dia mencubit ginjal Barata. Sudah seenaknya main tuduh, sekarang malah mau mengambil lagi uang yang sudah sah jadi milik Mora.

“Enak saja!” Perempuan Mandailing itu menolak keras. “Bang Bara sudah kasih itu uang ke aku. Gimana ceritanya aku harus balikin duit itu?”

“Karena semua rencana nggak ada yang berjalan dengan benar.” Barata berkata dingin. Tangannya memutar roda kemudi. Satu kedai kopi yang buka dua puluh empat jam terlewati oleh mereka. Kini kendaraan roda empat itu mulai memasuki Jalan Jamin Ginting. Sebentar lagi tiba di rumah keluarga Mora.

“Perjanjian kita otomatis batal karena tidak ada yang berjalan sesuai rencana.” Barata kembali bicara.

“Tak bisa gitu dong, Bang. Aku kan, sudah melaksanakan kewajiban.” Mora senewen. Dia berasal dari keluarga yang tidak kekurangan uang. Lima puluh juta bukan angka yang sulit untuknya.

Namun, uang pemberian Barata adalah hasil kerja kerasnya, bukan pemberian orang tua. Sensasi mendapatkan uang sendiri sangat berbeda dibanding kala menerima transferan dari Bapa.

“Kewajibanmu adalah membuatku terbebas dari perjodohan sialan ini. Tapi semuanya gagal karena kamu ternyata paribanku.” Barata masih berkata dengan nada datar.

Menyebalkan!

Mora ingin sekali meluapkan kekesalannya. Seharusnya dia ajukan perjanjian hitam di atas putih. Jadi, tak bakal begini kejadiannya di belakang hari. Lagi pula, semua ini di luar kuasa dirinya. Mana dia tahu kalau Barata Harahap adalah pariban yang dijodohkan dengannya?

“Jangan-jangan kamu emang udah rencanakan ini semua.”

Kepala Mora menoleh sangat cepat. Rasa panas menjalar dari leher hingga seluruh kepala. Bibir yang menipis dan tangan mengepal kencang di pangkuan adalah isyarat jelas betapa emosi Mora sudah menggelegak hingga ubun-ubun.

“Kamu mengaku sebagai Damanik dari Simalungun. Kamu juga berpura-pura sebagai pegawai kafe kepadaku. Ini pasti udah kamu sengaja kan, karena tahu aku adalah orang yang dijodohin denganmu?”

Mora terperangah. Kemarahannya terpantik cepat. Kepala perempuan itu sudah pusing dengan sakitnya ompung, juga permintaan konyol Bapa. Sekarang Barata datang dan menambah ruwet suasana.

Mora sangat lelah.

Alih-alih menjawab, dia melepas sabuk pengaman dan bergegas keluar mobil. Tak dipedulikannya panggilan Barata yang memecah keheningan malam.

“Mora, berhenti! Jawab dulu pertanyaanku!”

Langkah perempuan itu terhenti di anak tangga terbawah rumahnya. Dia menoleh sekadar cukup untuk dilihat Barata.

“Besok sajalah kita ngobrol. Capek aku. Buat uangmu, sorry saja. Tak minat balikin aku, Bang.”

~~oOo~~

Barata terus uring-uringan, bahkan sampai esok hari. Namun, dia harus menahan emosi karena Papi dan Mami mengajak membesuk Ompung di rumah sakit.

Kamar inap VIP itu dengan cepat berubah ramai setelah kedatangan keluarga Harahap. Papi yang sudah lama tidak pulang ke Medan sangat senang dengan cerita perkebunan kopi Ompung di Madina. Bahkan Papi, Bapa, dan Ompung dengan cepat menjadi trio sahabat lantas membuat rencana untuk berkunjung ke kedai kopi selepas Ompung keluar rumah sakit.

Sementara Mamak dan Mami sibuk membicarakan patobang hata. Dua wanita itu menelisik berbagai detail. Tak ada seorang pun yang menyadari bila Barata mencolek Mora dan memberinya isyarat keluar kamar.

“Apa lagi?” tanya perempuan itu galak saat berada di halaman rumah sakit.

“Jangan bentak aku. Ini semua salahmu. Jadi, kamu yang harus bertanggung jawab.”

Mora membelalakkan mata. “Apa maksud Abang? Sudah jelas Abang yang punya rencana ini. Harusnya Abang yang antisipasi kalau ada komplikasi macam sekarang.”

“Kamu bilang ini komplikasi? Udah jelas-jelas kamu yang nipu aku, Mora. Itu pasti kamu sengaja biar bisa dapetin duit aku, kan?”

Mora melotot galak. Tangannya berkacak pinggang. Dengan sorot menyala-nyala, perempuan itu setengah mendesis penuh kekesalan pada lelaki di hadapannya. Kalau tak sadar ini di tempat umum, sudah dijambaknya Barata.

“Pikir baik-baiklah, Bang. Aku ini boru Siregar. Lima puluh juta bukan hal yang sulit buat aku.”

“Lalu ngapain kamu terima duit aku kalau gitu? Kenapa nggak balikin aja duitnya?” Barata menaikkan alis tanpa menaikkan intonasi.

Mora terbelalak. Habis sudah kesabarannya. Cepat-cepat perempuan itu mengeluarkan gawai dan membuka m-banking. Penuh kedongkolan dia berucap pada Barata. “Uang aku balikin separuh. Kita sama-sama rugi. Tak mau aku buntung sendirian.”

“Mora—”

“Aku juga minta tolong ke Abang buat pura-pura jadi pacar aku, biar perjodohanku batal. Ternyata Abang malah pariban aku sendiri. Aku juga merasa ditipu, Bang.” Mora menyentak keras.

Barata membuka mulut hendak bicara, tetapi mengurungkan niat. Satu tangan terangkat mengusap-usap tengkuk. Dengan langkah gontai, lelaki itu duduk di satu bangku beton yang ada di halaman rumah sakit.

“Kita sama-sama tak mau nikah. Sama sekali aku tak kira kalau pariban aku itu adalah Abang. Tapi apa mau dikata? Kondisi Ompung sedang drop. Tak mungkin aku gegabah nolak permintaan Ompung.”

“Tapi kamu ngorbanin kehidupan kamu.” Barata mengernyitkan dahi.

“Terpaksa, Bang. Hanya Ompung yang baik ke aku sejak kecil.” Mora mengembuskan napas panjang. Dia mengambil tempat duduk di samping Barata, tetapi tidak cukup dekat, nyaris berada di ujung.

Barata tahu satu senggolan sedikit saja Mora pasti akan jatuh. Namun, lelaki itu sedang tak ingin bertindak heroik. Pasalnya dia masih didera kemarahan karena Mora menggagalkan seluruh rencananya.

“Kenapa sama orang tuamu?” tanya Barata penasaran.

Mora melirik lelaki di sebelahnya. Dia mencibir dalam hati. Tampang orang khas Sumatra tulen, tapi cara bicara justru Jakarta sekali. Barata adalah cerminan dari generasi muda Mandailing yang lahir dan dewasa di perantauan.

“Mamak kurang direstui oleh Amang Tobang Bahat karena berasal dari Jawa. Dia memang lebih suka pernikahan satu suku. Sayangnya, anak bungsu Amang Tobang selalu dapat jodoh wanita Jawa, begitu juga cucunya juga nikah sama orang Jawa.”

Mora mendongakkan pandangan. Bibirnya kembali melantunkan cerita. Karena sikap Amang Tobang yang kurang bersahabat, Bapa dan Mamak akhirnya memutuskan menjauh dari Mandailing Natal, rumah keluarga mereka. Hidup keduanya bergantung pada pekerjaan serabutan, hingga Mora kecil sedikit terabaikan.

Ompung-lah yang merawat Mora saat kedua orang tuanya bekerja. Pria itu rela bolak-balik setiap minggu dari rumah di Madina menuju kontrakan anaknya di Medan. Lalu Amang Tobang meninggal dan Ompung harus fokus mengurus perkebunan kopi. Beruntung saat itu kondisi ekonomi orang tua Mora sudah lebih baik.

“Bapa dan Mamak akhirnya bantu-bantu urus bisnis kopi warisan Ompung. Tapi Ompung masih sering panggil aku ke Madina kalau kangen. Bisa dibilang Ompung adalah orang tua keduaku.”

Barata terdiam. Benak lelaki itu berputar, membandingkan kehidupannya yang sangat metropolitan dengan Mora yang lebih tradisional. Sejak kecil Barata memang tinggal di Jakarta. Orang tuanya juga menetap di ibukota Indonesia. Kekayaan keluarga Harahap di Medan diatur dari jauh oleh Papi dan Mami.

Lalu Ompung Dame meninggal. Bahkan wanita Batak itu pun mengembuskan napas terakhirnya di Jogjakarta, bukan di Mandailing Natal tempat dirinya berasal. Sang ompung memang sudah lama hijrah ke Jawa mengikuti suaminya yang bertugas sebagai PNS. Saat sang suami meninggal pun, Ompung Dame juga tidak kembali ke Sumatra. Wanita itu betah menetap bersama suku Jawa.

“Mau dia orang tua keduamu atau pertamamu, aku nggak peduli. Pokoknya aku nggak bisa nikah sama kamu.”

Mora terperangah.

“Orang tua kita masih ada di atas sana. Mending kamu segera bilang kalau nolak perjodohan kita.”

“Memang kenapa sih, Bang? Lajang kan, kau? Apa salahnya nikah sama aku? Kalau tak cocok—”

“Cerai,” potong Barata.

“Cerai?” Mora mengernyit. Satu sudut bibirnya terangkat tinggi. “Enak kali kau bilang, Bang. Tapi maaf, tak mau aku cerai. Kalau tak cocok kita, berarti harus dicocok-cocokin.”

Barata mendengkus keras. Dia bangkit dan berjalan tanpa pamit meninggalkan Mora. Sementara perempuan itu menatap si lelaki dengan sorot masygul.

“Padahal aku-lah yang paling tak mau nikah. Tapi sakit juga hati ini kalau dicampakkan sama lelaki.” Perempuan itu bergumam.

Perkataannya terbawa angin. Mora menghela napas berat. Perlahan kakinya beranjak meninggalkan halaman rumah sakit.

Mora sempat beristirahat sejenak di toilet pengunjung. Dia memandangi pantulan dirinya di cermin. Tidak ada yang salah dengan dirinya, bahkan Mora bisa dibilang perempuan cantik berpenampilan sempurna.

“Tak malu-maluin aku dibawa lelaki pergi.” Mora berkata menyemangati diri sendiri. “Dasar Bang Bara saja yang banyak tingkah. Padahal nikah kami nanti bisa formalitas saja. Habis nikah bisa urus kehidupan masing-masing. Pas martarombo baru akting lagi jadi pasangan suami istri yang harmonis.”

Mora tergelitik ingin menelepon Dito. Sepupunya itu yang paling paham bagaimana Mora sangat anti pada pernikahan. Namun, setelah melihat kondisi Ompung, hati Mora tak tega juga.

“Masih manusia ternyata aku.” Mora menghela napas berat.

Dirapikannya penampilan. Langkah perempuan itu pelan dan tanpa semangat kembali ke kamar inap Ompung. Di ujung koridor, dia berpapasan dengan Barata yang juga baru datang.

“Kamu bilang sekarang juga ke Papi sama Bapa-mu.” Barata memberi instruksi.

“Yakin kau, Bang, tak mau nikah sama aku?”

“Aku masih ingin bebas, Mor.”

Mora gondok. Yang ribet di awal soal pura-pura jadi pacar adalah Barata. Sekarang yang repot mengurus kekacauan justru dirinya. Enak di Barata, tak enak di Mora.

Di depan pintu Mora tak kunjung segera masuk. Dadanya terasa sesak. Bayangan wajah semringah Ompung dan empat orang tua tentang prospek pernikahan anak-anak mereka kembali membayang di pelupuk mata. Mora tak tega menyakiti mereka semua. Namun, Mora juga tak mau terpasung menikah bersama lelaki pengecut macam Barata.

Barata Harahap benar-benar tak mencerminkan marganya. Mora mencibir dalam hati. Pria Mandailing terkenal setia dan jantan. Barata rupanya sudah terkontaminasi virus para pengecut yang banyak dijumpai di ibukota.

“Cepatlah, Mora. Tunggu apa lagi?” Barata mendesak.

Perempuan itu mengatur napas. Daun pintu akhirnya terkuak setelah mendapat dorongan dari tangannya. Mamak dan Mami menyambut kedatangan pasangan itu dengan celoteh ceria. Sementara Papi mengatakan akan mengajak Barata dan Bapa minum kopi di satu kedai besar dekat rumah sakit.

Mora melirik paribannya. Ekspresi Barata dingin dan angkuh. Pandangan lelaki itu juga lurus terpaku ke depan, sama sekali tak melihat ke arahnya. Mora jadi jengkel dibuatnya.

“Bapa. Mamak.” Perempuan itu meredakan histeria orang tua dengan panggilan tegas.

“Ya, Boru? Ada apa?” Bapa masih memasang senyum lebar di wajah.

Mora melirik Barata. Secara kebetulan lelaki itu juga tengah menatap ke arahnya. Pandangan mereka bertemu. Barata memberikan isyarat mengintimidasi. Mora membalas dengan galak.

“Bapa. Mamak.” Dia kembali bicara. “Mora sudah putuskan. Tiga bulan lagi kami menikah di Medan.”

 
~

~ BERSAMBUNG ~~
 


Catatan Kaki:

Patobang hata: acara melamar
Amang tobang: kakek dari ayah
Anak: panggilan untuk anak laki-laki di Mandailing
Martarombo: tradisi berkomunikasi suku Batak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top