8 | Babere Kesayangan
“Secepatnya itu lebih baik, Boru. Kesehatan Ompung mulai menurun. Cemana kau mau masih keras kepala macam tu.”
Mora mengertakkan gigi. Rahangnya mengencang. Pandangannya bergantian dari profil wajah sang bapa yang menahan marah lalu berganti ke pintu ruang UGD di belakang pria paruh baya itu.
Sehari setelah pertemuan dengan keluarga Harahap, Ompung mendadak terkena serangan jantung. Ditambah luka tusuknya ternyata terbuka lagi dan ada infeksi yang membahayakan. Akhirnya menjelang tengah malam mereka tergopoh-gopoh membawa Ompung ke rumah sakit.
“Bapa, ini bukan waktu yang tepat buat ngomongin pernikahan.” Mora mencoba bicara dengan kepala dingin. “Fokus kita harus pada Ompung dulu.”
“Ompung sudah ditangani dokter. Yang terpenting keinginan untuk melihatmu nikah sama anak muda Harahap itu, Mora.”
Kepala perempuan itu berdenyut-denyut. Dia tidak mengerti mengapa topik soal pernikahan mencuat di saat yang tidak tepat macam sekarang. Seolah bapanya sangat tidak peka dengan kondisi ompung yang masih kritis di UGD.
Selain itu, kecurigaan Mora juga mencuat. Bapa dan mamaknya sangat mengejar soal pernikahan, bahkan cenderung terburu-buru. Di adat Mandailing, pernikahan adalah hal yang sangat sakral. Tidak bisa sembarangan dilakukan. Salah timing saja sudah menimbulkan pergunjingan.
Di situasinya kali ini, jika keluarga mereka terburu-buru menikahkan Mora, bisa-bisa perempuan itu digosipkan telah lepas segel. Makin berabe pula jika sampai Mora langsung hamil setelah menikah. Tak hanya nama baiknya yang dipertaruhkan, cita-cita Mora untuk meneruskan ke jenjang S-3 dan berkarier terlebih dahulu juga bakal sirna.
“Keluarga Sahat Siregar?”
Percakapan bapak dan anak terjeda sejenak. Bapa langsung menghampiri dokter yang keluar dari balik pintu UGD.
“Kondisi pasien sudah stabil. Beberapa jam lagi akan dipindahkan ke kamar inap. Bisa urus administrasinya dulu, Bapak?”
Bapa mengangguk cepat. Kini Mora dibiarkan berduaan dengan mamaknya di ruang tunggu. Sentuhan lembut tangan wanita paruh baya di bahunya membuat Mora menoleh.
“Untung Ompung bisa diselamatkan.” Mamak berkata lembut.
Berdua mereka duduk di kursi logam dingin. Suara keriutnya memecah kesunyian malam. Setidaknya kepanikan sekarang mulai berkurang, berganti rasa kesal karena tuntutan Bapa yang mendadak minta pernikahan dipercepat.
“Mamak sering merasa bersalah pada Ompung.”
Mora melirik wanita di sebelahnya. Pandangan Mamak terpekur, tampak kosong tertuju ke satu titik di dinding di depan mereka. Sementara suara detak jam menemani keheningan malam yang mulai berganti hari.
“Seharusnya Mamak bisa melahirkan seorang putra, atau bahkan lebih, sebagai penerus marga. Tapi sampai kamu besar, tak kunjung juga rahim Mamak terisi seorang calon anak lagi.”
“Mak—“
“Ada satu tujuan mulia mengapa Ompung Dame ingin kamu menikahi pariban kita. Secara bobot, bibit, dan bebet Barata Harahap sangat cocok sebagai babere keluarga kita. Selain itu, pernikahan kalian bisa tetap mengamankan harta keluarga agar tetap berada di tangan kita.”
Kening Mora berkerut. Tak mengerti sama sekali dengan maksud perkataan mamaknya. Wanita itu kembali bicara dengan nada lebih lirih.
“Ompung Pintor sudah kehilangan seluruh hartanya. Tapi utang judi masih terus menumpuk. Dia memang aib dalam keluarga kita, Mora. Tapi kamu dan Barata bisa menyelamatkan kami.”
“Mak, tak mengerti awak dengan semua ini.” Mora menyipitkan mata sembari memandangi mamaknya penuh selidik.
“Ompung Pintor mengincar harta mendiang Ompung Dame. Seharusnya memang harta itu kembali pada keluarga Siregar, tetapi Ompung Pintor bakal menghabiskannya lagi di meja judi.” Mamak berkata serius.
“Sekarang pun sebagian tanah Ompung Dame di Madina sudah digadaikan oleh Ompung Pintor. Padahal sertifikat tanah itu masih atas nama Ompung Dame. Jika tidak segera diselamatkan, bisa-bisa aset keluarga yang lain akan hilang hanya dalam hitungan hari.”
Mora terperangah.
Sekarang dia mengerti mengapa Bapa dan Ompung sangat mengharapkan dirinya segera menikah. Mereka tengah berkejaran dengan waktu. Kondisi kesehatan ompung Mora memang memburuk, sewaktu-waktu bisa saja meninggal.
“Selama ini yang masih berusaha keras menjaga harta Ompung Boru adalah Ompung-mu, Mora. Putra Ompung Dame tidak berhak atas harta Siregar, tetapi mereka bersedia membantu mengamankan aset keluarga kita. Jika Ompung meninggal sebelum kau dan Barata menikah, entah apa yang terjadi dengan sisa harta kita.”
“Kita bisa mengambil lagi aset keluarga kita, Mak. Kita bisa penjarakan Ompung Pintor. Dia sudah bertindak kriminal.” Mora tak mampu menyembunyikan kegeramannya.
“Tak semudah itu, Boru. Kelicikan Ompung Pintor sudah terkenal. Tidak. Tidak. Itu bukan jalan keluar. Yang terbaik adalah sesegera mungkin menikahkan kau dengan Barata.”
Bahu Mora merosot. Ekor matanya melirik pintu ruang UGD yang masih tertutup rapat. Bapa masih juga belum kembali dari loket depan.
Sebenarnya Bapa bisa saja mengutus asprinya untuk menangani hal ini. Tapi rasa sayang Bapa pada sang Ompung membuatnya rela melakukan apa pun sendirian tanpa diwakilkan. Fakta itu tak urung membuat Mora terharu.
Masalahnya terharu saja tak cukup untuk membangkitkan empati dan simpati Mora. Apalagi bila taruhannya adalah masa depannya yang bakal terpasung oleh institusi legal bernama pernikahan.
Tidak. Mora harus menolak menikah cepat-cepat dengan Barata. Setidaknya lelaki itu harus setuju untuk menunggu selesai kuliah S-3 dulu dan memiliki karier cemerlang entah di bidang apa.
“Mamak, rasanya ini—”
“Bibi, Mora. Bagaimana kabar Amang Tobang?”
Mora berhenti bicara. Refleks dia dan mamak menoleh ke sumber suara. Detik itu juga rasanya Mora ingin loncat dari duduknya demi melihat Barata berdiri menjulang kurang dari dua meter di belakangnya.
“Ba—Bara, ngapain di sini kau?” Mora mendesis keras.
Langkah Barata tegas dan mantap. Lelaki itu tak menampilkan ekspresi terintimidasi dengan perkataan Mora. Bahkan Barata santai merengkuh pundak Mora lantas mengelusnya lembut.
Sontak aksi pamer kemesraan sederhana itu membuat Mora salah tingkah. Duduknya tak nyaman. Berusaha keras dia memindahkan tangan Barata. Namun, lelaki itu juga sama kekehnya dengan si perempuan.
“Maaf aku baru datang, Mora. Tadi hape ketinggalan di hotel. Aku sedang cari makan di luar.” Barata beralasan.
“Tinggal di hotel kau, Barata? Tak sama bapa dan mamak kau?” tanya Mamak terkejut.
Barata memberikan senyum tipis yang lebih serupa seringaian. Kepala berambut hitam pekat itu menggeleng.
“Lebih enak di hotel, Bibi. Papi sama Mami suka pacaran, sering lupa tempat mereka. Lupa kalau anaknya ini masih jomlo.”
“Sekarang sudah tak lagi, toh?” Mamak memandangi penuh arti ke arah putri tunggalnya.
Pipi Mora merona. Alih-alih balas menatap sang mamak, perempuan itu justru membuang muka ke arah lain. Sialnya aksi Mora justru membuat matanya malah terarah ke tangan Barata yang bertengger di bahunya.
Ada kumpulan otot yang menarik di sana. Bukti kalau Barata ternyata juga seorang pekerja keras. Kulitnya terang, mungkin efek karena jarang tersorot sinar matahari.
Apa jadi bos properti bikin Barata lebih sering di indoor ketimbang outdoor?
Pertanyaan itu muncul begitu saja yang membuat Mora langsung menggeleng kuat-kuat. Rambutnya yang tergerai jadi menampar pergelangan tangan Barata.
“Apa, Holong?”
Mora membeku.
Di sisi lain, Mamak memandangi pasangan di depannya dengan senyum penuh arti. Agak salah tingkah wanita paruh baya itu akan aksi pamer kemesraan generasi muda yang terpampang nyata depan mata.
“Ho—Holong apa?” Mora mendesis dan tergoda sangat untuk mencubit punggung tangan Barata.
“Haholongan awak kenapa pula tersipu malu macam itu?” Barata bicara bahasa Mandailing yang anehnya terdengar ganjil di telinga Mora juga Mamak. Sudah serupa orang daerah medok yang dipaksa belajar bahasa Inggris.
Refleks Mora terkikik geli. Ucapannya meluncur begitu saja tanpa difilter. “Tak patutlah bicara macam tu kau, Bang. Sudahlah, pakai lo-gue saja. Sudah jadi orang Jakarta pula kau ini, kan?”
Rahang Barata mengencang. Dipermalukan di depan calon mertua sendiri jelas bukan bagian dalam rencana Barata malam ini. Padahal selama dalam mobil tadi, Barata sudah berusaha menghafal sekaligus melafalkan bahasa Mandailing sederhana lengkap dengan dialeknya.
Yang sayangnya gagal total.
“Mora, tak elok bicara macam itu ke calon suamimu.” Mamak menegur.
“Tapi, Mak—”
“Kalian pulanglah. Biar Mamak sama Bapa yang tunggu di sini.”
“Tapi—”
“Biarlah. Babere kita sudah jauh-jauh datang dari Jakarta tak elok disuruh tunggu orang sakit. Sana, pergi kalian. Nanti Mamak yang di sini sambil tunggu Bapa.”
Baru selesai Mamak bicara, sosok pria paruh baya berjalan cepat mendekat ke arah mereka. Wajah Bapa semringah saat melihat Barata di sana.
“Ada babere kita di sini rupanya.” Bapa menepuk keras-keras lengan Barata.
Mora langsung memutar bola mata. Tak bapanya, tak mamaknya. Semua berekspektasi terlalu tinggi pada Barata.
Percakapan basa-basi sejenak mengalir sebelum Bapa sepakat dengan sang istri. Biarlah malam ini mereka yang menjaga Ompung. Besok, setelah Ompung dipindahkan ke kamar inap, baru mereka bergantian jaga dengan Mora.
Udara dini hari yang dingin menyambut Mora saat keluar dari rumah sakit. Karena situasi tidak terlalu ramai, Barata memarkir mobil dekat dengan UGD. Tak perlu berjalan jauh.
Selama itu pula tangan besar Barata terus menggenggam Mora. Perempuan itu pun tak sadar karena banyaknya pikiran di benak, khususnya pada permintaan tak masuk akal Bapa dan Opung untuk mempercepat tanggal pernikahannya.
“Bisa lepas tanganmu?”
Mora refleks berhenti melangkah. Saat itulah dia sadar apa yang terjadi. Pandangannya menunduk lantas menyentak tangan Barata seolah tengah melempar benda menjijikkan.
“Bang, please-lah. Jangan terus mutar balik fakta kenapa? Abang duluan yang pegang-pegang tanganku tadi. Kenapa sekarang kayak aku yang kegatelan gini?” Mora mengomel.
Ucapan Mora bak angin lalu. Barata terus berjalan tanpa memedulikan perempuan itu. Dia bahkan masuk mobil tanpa menunggu Mora.
“Bang, Abang kenapa, sih? Kesambet setan?” Kejengkelan Mora terpantik oleh sikap dingin dan wajah ketus yang ditunjukkan lelaki itu.
Barata segera melajukan kendaraan keluar parkiran rumah sakit. Pandangannya fokus ke depan. Keheningan mencekam terjadi dalam mobil. Sampai di kilometer 8.5 baru Barata angkat bicara.
“Papi menyuruhku buat segera nikahin kamu.”
Mora tertegun.
“Dalam waktu tiga bulan, maksimal empat bulan. Entah apa yang dipikirkan Papi sama Mami.”
Mora masih terdiam. Sepertinya dua keluarga sudah saling bicara. Malam ini adalah buktinya.
Suara Barata kembali memecah kesunyian dalam mobil. “Asal kamu tahu, Mora. Aku nggak mau nikah sama kamu. Kamu harus bilang ke Papi buat batalin pernikahan kita. Batas waktunya besok dan kembalikan uang lima puluh juta yang sudah aku kasih ke kamu.”
~~ BERSAMBUNG ~~
Catatan Kaki:
Babere: menantu laki-laki
Madina: akronim untuk menyebut daerah Mandailing Natal
Amang Tobang: panggilan kepada kakek dari pihak ayah
Holong: sayang
Haholongan awak: kesayangan aku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top