6 | Surat Wasiat Penuh Syarat

Sudah bukan hal aneh bagi Mora mendengar dua macam bahasa dalam satu kalimat. Mamaknya yang orang Jawa tulen memang cukup susah bicara bahasa Batak. Sementara bapanya yang Batak asli juga perlu usaha ekstra keras untuk bicara menggunakan bahasa sang istri, yang sayangnya tidak berakhir sukses seratus persen.

Jadilah, Mora menguasai tiga bahasa sejak kecil. Batak, Jawa, dan Indonesia. Beranjak dewasa kemampuan linguistiknya bertambah dengan kefasihan berbahasa Inggris. Modal yang digunakannya untuk kekeh meneruskan kuliah hingga S-2.

"Beta mangan."

Mora memandangi tumpukan mi gomak goreng yang disodorkan ke hadapannya. Makanan favorit sejak kecil. Tiap pulang ke rumah, mamaknya selalu membuat menu khusus itu untuknya. Ekor matanya melirik Opung yang baru saja menyuruhnya makan.

"Ayo, dimakan, Nduk. Mamak udah bikin udang goreng kesukaanmu juga. Nanti habis makan mi bisa kamu cemilin udangnya." Sang ibu bicara dengan nada lembut.

Makan di bawah tatapan tiga pasang mata tentu tak nyaman. Bapa dan mamaknya memang baik, tapi kedekatan Mora sudah terkikis sejak mereka tak henti merongrongnya dengan pernikahan.

Jika boleh memilih, saat ini Mora hanya ingin quality time saja dengan Opung. Satu-satunya orang dalam keluarganya yang paling disayang Mora melebihi orang tuanya sendiri. Pria tua yang kini duduk di kursi roda akibat luka tusuk di perut itu menatapnya penuh kasih sayang.

"Ayu, buatkan cucuku ini kopi racikanmu. Dia suka itu. Patra, tolong ambil map di kamar, yang ijo dekat meja tempat tidur itu. Ada yang mau aku kasih ke Mora."

Orang tuanya dengan patuh mengikuti perintah Opung. Dalam hati Mora bersyukur karena opungnya sangat memahami dirinya.

"Nah, makan kau sekarang. Sudah aman kau dari bapa sama mamakmu."

Mora cekikikan. Tanpa sungkan dia melahap mi gomak favoritnya. Cerita mengalir di sela acara makan siang menjelang sore itu. Semuanya didominasi kronologi penusukan Opung Pintor.

"Jadi, Opung sudah kalah sama Opung Pintor?" tanya Mora mencoba berkelakar. "Mana pula opung Mora yang gagah perkasa, yang sering gendong Mora keliling kebun kopi dulu?"

"Usia aku sudah delapan puluh tahun. Cemana pula yang kau harapkan dari aku ini, Mora?"

"Opung Pintor lebih tua beberapa tahun. Dia kan, haha Opung." Mora terus mendesak. "Tapi masih bisa pula dia tusuk Opung. Terus kenapa pula tak dilaporkan ke polisi?"

"Aib keluarga tak semua pula harus dibawa ke polisi." Opung tersenyum tipis.

Mora mengangguk mengerti. Walau begitu, dia masih tidak setuju dengan prinsipnya opungnya yang satu ini. Bagaimanapun tindakan Opung Pintor kali ini sudah masuk kategori kriminal berat karena membahayakan nyawa orang lain.

Mungkin saja penusukan itu tidak disengaja. Akan tetapi, tetap saja tindakannya tersebut membuat nyawa Opung Sahat hampir melayang. Dengan berbagai rekam jejak Opung Pintor yang sangat buruk di masa lalu, sudah sewajarnya pria tua itu dijebloskan dalam penjara.

Namun, seluruh keluarga Siregar melindunginya. Mereka menormalisasi kemanjaan dan keegoisan Opung Pintor. Satu hal yang semakin membuat Mora muak dengan keluarganya karena kelakuan sang opung membuatnya jadi tumbal keluarga.

"Jadi, gimana pula kabar cucu Opung satu ini? Kata Mamak kau, sudah ada hallet sekarang di Jakarta?" Opung bertanya dengan dialek Mandailing yang kental.

Mora nyaris menyemburkan mi yang dikunyahnya. Pipi perempuan itu memanas. Diam-diam rasa bersalah menghantam hatinya karena sudah membohongi Mamak.

Pasalnya saat Mamak menelepon, Mora juga tengah memikirkan tawaran Barata yang sudah diterimanya. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Itulah yang ada di pikiran Mora saat mengetahui Barata memintanya bertemu keluarga di Medan.

Rencananya Mora juga akan minta tolong lelaki itu untuk berpura-pura sebagai pacarnya dan diperkenalkan kepada keluarga. Harapannya agar Bapa dan Mamak tak terus merongrongnya untuk menikah. Apalagi Barata adalah kriteria yang diinginkan seluruh orang tua Batak.

Satu suku. Kaya. Tampan. Cerdas.

Apa lagi yang diharapkan dari high quality single macam dia?

"Ya ... ya, Opung. Aku sudah ada pacar sekarang." Mora menjawab lirih. Matanya tak berani menatap pria tua di hadapannya sama sekali.

"Anak mana dia?"

"Jakarta, tapi punya darah Batak. Orang tuanya asli Batak." Mora berusaha keras mengingat-ingat nama keluarga orang tua Barata selain Harahap yang pernah didengar dari cerita lelaki itu. Sialnya Mora terus saja lupa.

"Keluarga mana dia?"

"Harahap," jawab Mora tegas, berharap Opung akan berhenti bertanya-tanya.

"Semarga dengan Lae," renung Opung.

Alis Mora terangkat. Dia ingat dengan Opung Boru Dame, kakak tertua opungnya. Seorang wanita tangguh dan penuh percaya diri yang telah meninggal.

"Suami Opung Boru juga Harahap kan, Opung?" Mora memastikan.

"Bah! Benar kali kau, Mora. Lae Harahap baik sangat orangnya. Minggu depan kau pasti ketemu orangnya."

Mora menelengkan kepala. "Untuk?"

Opung tidak segera menjawab. Dia malah berteriak memanggil putranya. "Patra, hatop! Hatop! Mana benda yang kusuruh kau ambil tadi."

Bapa Mora tergopoh-gopoh datang. Di tangannya tergenggam satu map tebal berwarna hijau. Mata Bapa menyorot lembut saat berserobok pandang dengan putri tunggalnya.

Karena sudah hafal watak bapanya, kelembutan itu justru membuat Mora curiga. Selama ini bapanya terkenal tegas. Lembut jelas bukan sifat yang identik dengan pria paruh baya itu.

"Opung Boru kau," Opung kembali berkata, "bikin surat wasiat untuk semua orang. Kau tahu sendirilah sebesar apa harta yang Ito aku miliki itu. Dan dia pintar putar hepeng."

Mora meletakkan sendok dan garpu. Mi yang biasanya tak pernah gagal membangkitkan selera makannya kini tak melaksanakan fungsinya dengan baik. Perut Mora melilit ngeri saat Opung menyodorkan map yang tadi diambil oleh Bapa.

Perlahan perempuan itu membuka bagian depan map. Bukan surat wasiat asli. Itu lembar salinan. Tertanggal setahun yang lalu. Isinya berupa pembagian aset Opung Boru Dame Siregar kepada sejumlah ahli waris.

Hati Mora berdenyut saat melihat ada namanya di surat wasiat itu. Mora ternyata mendapat sebagian kecil warisan ....

Tidak!

Perempuan itu terbelalak. Dia mendekatkan lembaran kertas nyaris menempel ke mata. Mulut Mora terbuka lebar. Perlahan-lahan dia mendongakkan pandangan. Opung dan Bapanya tengah menatap penuh arti.

"Opung ... Bapa ... ini serius?" Suara Mora serak.

"Memang baru kali ini kami bilang. Tapi itu alasan Bapa kau terus-terusan minta segera nikah."

Mulut Mora terbuka makin lebar. Perempuan itu memandangi bergantian opung dan bapanya, lalu beralih ke salinan surat wasiat yang masih berada di genggaman. Suara Mora parau.

"Ale Tuhan, apa yang harus awak lakukan?"

~~oOo~~

Malam itu Mora tak bisa tidur. Dia duduk bertumpu tangan di balkon kamarnya yang nyaman. Semilir angin malam jam setengah dua belas menyegarkan kulit wajahnya, sedikit membuat pipinya kebas. Namun, Mora tak peduli.

Pikiran perempuan itu berkelana ke satu hal. Perihal wasiat Opung Boru Dame yang akan menyerahkan sebagian besar bisnis perkebunan kopi padanya, asalkan Mora mau menikah dengan lelaki pilihan sang opung boru.

"Dang olo be au," keluh Mora frustrasi. "Aku punya hidup sendiri. Kenapa pula aku harus ikuti apa perintah orang?"

Mora mengembuskan napas keras. Perkataan opungnya kembali terngiang di telinga. Ada syarat lain untuk menggugurkan kewajiban menikah dengan calon pilihan Opung Boru yang masih masuk dalam garis pariban Mora.

Yaitu Mora harus membawa hallet-nya sendiri. Setidaknya Mora bisa menikah dengan cinta, bukan karena perjodohan.

"Ini tak bisa dibiarkan." Mora menggeleng-geleng. Disambarnya ponsel. Dia tidak peduli jam berapa saat ini. Bagi Mora, prioritas hidupnya sekarang adalah mencari kebebasan untuk dirinya sendiri. Dia tidak mau terus terjebak dalam lingkaran keluarga yang dianggapnya beracun.

"Halo?" Suara serak dan dalam terdengar menyapa di seberang.

Mora menelan ludah. Dia menduga-duga apakah Barata sedang ada aktivitas lain saat ini menilik suaranya yang membuat hati bergetar. Cepat-cepat Mora menghalau pikiran kotor yang sempat mampir dalam kepala.

"Bang, masih di Jakarta kau?" tanya Mora.

Setelah memastikan posisi valid Barata, perempuan itu tanpa basa-basi mengutarakan maksudnya menelepon tengah malam. "Aku perlu bantuanmu, Bang. Kita bisa dapat win-win solution dengan ini karena aku juga punya masalah yang sama denganmu. Gimana?"

~~ BERSAMBUNG ~~

Catatan Kaki:

Beta mangan = ayo, makan

Haha = abang

Hallet = pacar

Lae = sebutan untuk kakak ipar laki-laki

Hatop! Hatop! = Cepat! Cepat!

Hepeng = uang

Dang olo be au = aku tak mau lagi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top