5 | Jodoh Mutlak
"Medan?" Barata mengernyit. "Si Mora mau langsung ke Medan? Gercep juga dia. Apa tak dimarahi bosnya karena ambil libur cepet?"
Barata melirik kalender. Sebenarnya tinggal minggu depan jadwal pertemuannya dengan keluarga Harahap di Medan. Dia baru saja menelepon Mora karena mengembalikan tiket yang sudah dibelikannya. Pesan perempuan itu kemarin sore memang baru dibacanya siang ini. Barata kaget mengetahui Mora sudah berada di Medan sekarang.
"Siapa yang dimarahi bosnya?"
Jantung Barata nyaris copot. Melempar lirikan tajam membunuh, lelaki itu mengamati maminya yang berjalan mendekat. "Kebiasaan deh, Mi. Ketuk pintu dulu sebelum masuk bisa apa nggak, sih?" Barata mengomel.
"Udah. Pintu kantormu kebuka dari tadi. Mami udah ketuk sekali, kamu ngelamun. Ya, udah. Mami masuk aja langsung."
Barata mengembuskan napas panjang. Kali ini dia mengakui kesalahannya. Pintu kantornya memang dalam kondisi terbuka lebar karena tim pemasaran baru saja selesai berkunjung untuk membicarakan proyek mereka bulan ini.
Sebuah pembangunan blok apartemen di wilayah Surabaya menjadi rencana prestisius terbaru dari Petaland Propertindo. Tidak seperti properti di Jakarta yang sudah dia tangani, blok apartemen Surabaya kali ini sengaja menyasar kaum pekerja, mahasiswa, dan keluarga muda dengan kondisi finansial yang tidak setinggi golongan menengah atas. Karena itu, beberapa kali Barata harus merapatkan harga jual yang mampu mendatangkan keuntungan, tetapi masih terjangkau oleh konsumen mereka.
"Ada apa lagi, Mi?" Barata memilih tidak menjawab pertanyaan maminya.
"Mami mau siapkan martumpol-mu. Papimu ngotot pakai jas formal dari desainer Jakarta saja. Tapi Mami mau kau pakai baju adat warisan Opung."
Kerut di kening Barata kembali muncul. "Martumpol? Tunangan?" Lelaki itu menyebut prosesi sebelum pernikahan khas Batak yang diberi tahu oleh maminya. "Mi, yang benar saja. Aku bahkan belum pernah ketemu sama calon kalian itu."
"Ah, dia paribanmu sendiri, Bara. Tentu pernah kau ketemu sama dia. Masak tak ingat?"
Barata manyun. "Keluarga Mami itu keluarga besar. Apa lagi keluarga Papi, lebih besar lagi. Mana ingat aku sama perempuan yang datang ke sana."
Alasan sebenarnya adalah tiap pertemuan marga, Barata selalu duduk sendirian di pojok. Sengaja untuk menghindari percakapan dengan kerabat Bataknya yang terkenal ekspresif dan super ekstrovert. Kontras dengan dirinya yang introvert sejati.
Terkadang malah Barata sengaja tidak hadir dalam pertemuan keluarga dengan alasan pekerjaan. Untuk ini papi dan maminya tak bisa memaksa karena Petaland memang perusahaan rintisan keluarga mereka.
"Lagi pula aku nggak bisa nikah dengan perempuan lain. Mau itu paribanku sekalipun."
"Kenapa? Karena kau sudah punya pacar? Bah, alasanmu konyol sekali, Bara. Karena Mami tahu persis kau masih jomlo."
Seringai tipis muncul di bibir Barata. "Siapa bilang aku jomlo?"
Ganti Mama yang mengernyit. "Kau masih jomlo. Tak punya pacar. Bahkan orang di kantor ini pun sudah tahu itu."
"Itu dulu, Mi. Sekarang aku punya pacar permanen." Barata tak mampu menyembunyikan nada penuh kemenangan dalam suaranya.
Kerut di kening Mami semakin banyak. Pandangannya tajam menyelidik. Wanita itu memperbaiki posisi duduknya demi bisa melihat sang anak sulung dengan lebih saksama.
"Kau bohong," tuduh Mami tegas.
"Nggak. Bentar lagi Mami sama Papi bakal ketemu sama pacar aku."
"Dan dia pasti bukan orang suku kita." Mami menggeleng-geleng. "Papimu pasti langsung menolak, Bara. Kau tahu sendiri kerasnya prinsip Papi soal pernikahan. Bahkan adikmu saja, si Bora sampai nangis-nangis karena lamaran pacarnya yang orang Sunda itu ditolak sama Papi."
Barata ingat itu. Peristiwa tragis yang menimpa adik satu-satunya itu memang sangat membekas di ingatan. Bora Harahap, si bungsu cantik yang jadi incaran banyak lelaki akhirnya melabuhkan hati pada teman kuliahnya di UNPAD.
Nahasnya saat lelaki itu datang untuk melamar Bora, Papi menolak mentah-mentah dan mengusir kasar. Bulan berikutnya Bora dinikahkan paksa dengan salah satu kenalan Papi satu suku lulusan universitas Australia dan bekerja di Medan.
Itu kejadian sudah tiga tahun lalu. Kini Bora hidup harmonis dengan suaminya dan memiliki satu anak yang lucu.
"Kali ini Papi nggak bakal nolak, Mi," ucap Barata penuh percaya diri.
Rasa penasaran Mami mencuat. Tanpa sadar wanita itu mencondongkan badan ke depan. "Maksudmu, Anakku?"
"Damanik, Mi. Marga besar. Aku rasa itu cukup untuk menyenangkan hati Papi."
Alih-alih tersenyum lebar, bibir Mami justru melengkung turun. Sorot matanya muram. Perlahan Mami menarik badan ke belakang dan bersandar tegak di punggung kursi.
"Kenapa, Mi?"
Decak keras Mami terdengar. "Kau ini pura-pura bodoh atau memang bodoh betulan? Mangaririt-mu saja sudah dilakukan tiga tahun lalu. Pernikahanmu dengan anak perempuan Siregar itu sudah mutlak, Anakku. Tak bisa diganggu gugat."
"Tapi, Mi—"
"Bahkan keluarga terbesar pun tak akan bisa mengubah pendirian papimu. Sekali dijodohkan, mutlak sudah." Mami mengulang perkataannya.
"Tapi aku nggak cinta sama jodoh papi ini. Kenal saja nggak—"
"Kau kenal dia. Kalian sudah pernah bertemu." Mami memotong.
"Oke. Oke. Baiklah. Kami sudah pernah bertemu dan kebetulan waktu itu aku sedang berada di negeri antah-berantah. Sumpah, Mi. Aku beneran nggak ingat soal si anak perempuan Siregar ini. Mana bisa aku menikah dengannya?"
"Fotonya kan, sudah Mami kasih."
Barata mendengkus keras. Dia langsung menghapus foto yang dikirimkan oleh maminya ke Whatsapp bahkan sebelum dibuka. Persoalannya sepele. Barata memang tak mau dijodohkan dengan calon pilihan orang tuanya.
"Aku tetap nggak bisa nikah sama pilihan Papi, Mi."
"Kau itu anak sasada, Barata Harahap. Anak tunggal dalam garis keturunan keluarga kita. Penerus marga. Memang sudah tugas kau untuk berkorban demi keluarga."
Kepala Barata berdenyut-denyut kencang. Inilah yang tidak disukainya dari prinsip keluarga yang dinilai sangat kolot. Barata, layaknya generasi Z lainnya, sudah tidak terlalu ambil pusing dengan adat-istiadat. Baginya Harahap tidak lebih dari sekadar nama dan terkadang alat untuk mempermudah urusannya bila bertemu dengan sesama Batak yang lain.
Hanya itu.
Namun, persoalan hati tidak bisa dihubungkan dengan tradisi keluarga. Sikap teguh papinya untuk hanya menikah dengan orang satu suku membuat Barata emosi. Kemarahannya timbul, apalagi setelah peristiwa nahas yang merenggut satu-satunya orang yang sudah mencuri hatinya selama ini.
Sampai kapan pun Barata tak akan sudi menyerah pada permintaan orang tuanya. Dia sudah pernah kehilangan karena keegoisan Papi. Kali ini Barata tak akan mengulang kesalahan yang sama.
Dia harus meraih bahagianya sendiri.
"Aku nggak bisa, Mi." Lelaki itu merespons dengan sikap dingin seperti biasa. "Kedatanganku ke Medan minggu depan hanya untuk perayaan kematian Nenek Dame. Nggak ada yang lain."
~~oOo~~
Terakhir kali Mora menjejakkan kaki di ibukota Sumatra Utara adalah sepuluh bulan yang lalu.
Nggak. Sudah sebelas bulan lalu, renung perempuan itu dalam hati. Tatapannya menyapu pemandangan di luar jendela mobil. Wajah murung Mora menggambarkan jelas suasana hatinya saat ini.
Mamak sudah memberi tahu bila opungnya sekarang tinggal di rumah mereka. Rumah Opung sendiri berada dekat dengan salah satu perkebunan kopi keluarga Siregar. Karena Bapa dan Mamak lebih banyak mengurus pekerjaan di kota, jadilah mereka memboyong Opung dari Sibolangit ke Medan.
"Kenapa Opung harus kelahi sama Opung Pintor?" keluh Mora lirih.
Sudah sejak kecil dia mengenal Opung Pintor sebagai trouble maker dalam keluarga. Opungnya merupakan tiga bersaudara. Yang tertua adalah Opung Boru Dame yang sudah meninggal, kemudian Opung Pintor, dan yang terakhir Opung Sahat yang melahirkan bapanya.
Opung Pintor terkenal hobi berjudi dan mabuk-mabukan. Seluruh hartanya ludes di meja judi dan kedai tuak. Bahkan istrinya tidak tahan dengan kelakuannya yang buruk dan bercerai tanpa melahirkan anak.
Pasca perceraian tingkah Opung Pintor semakin menjadi-jadi. Bukannya insaf, kakek nomor dua Mora itu justru semakin parah. Utangnya bertumpuk di mana-mana. Warisannya habis tak bersisa. Belakangan Opung Pintor juga mulai melirik harta Opung Boru Dame, tetapi tak bisa menyentuhnya karena masih ada sang kakek Mora.
"Sudah sampai kita, Non."
Mora tersentak kaget. Taksi online yang membawanya dari bandara akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah berlantai dua. Pagar tinggi berbahan besi tempa dengan cat hitam berdiri kokoh di hadapannya. Mora mengembuskan napas panjang.
Tak ada rencana untuk tinggal lama di sini. Jadi, Mora hanya membawa satu daypack yang diisi beberapa helai baju dan keperluan terpentingnya saja. Begitu turun dari mobil, perempuan itu langsung disambut dengan pelukan seseorang yang berlari kencang ke arahnya.
"Gusti Allah, akhirnya kamu datang juga, Nduk. Opung-mu muruk-muruk torus. Marah-marah terus. Tenangkan dia, Nduk. Ini kamu datang sendiri? Di mana pacar kamu, eh? Ndak datang bareng ke sini?"
~~ BERSAMBUNG ~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top