4 | Penipu Ditipu

Murah sekali harga diriku!

Mora tak henti merutuki dirinya sendiri. Beberapa kali tangannya memukul-mukul kepala. Namun, saldo rekening di internet banking yang terpampang di hadapannya membuat Mora tak sepenuhnya merasa menyesal.

Dia butuh uang. Egonya sebagai anak tunggal seorang Patra Siregar yang keras kepala menolak untuk memakai uang keluarganya. Cita-cita hidup mandiri telah membutakan Mora dan membuatnya menerima tawaran konyol tanpa pikir panjang.

“Yah, tapi siapa pula yang bisa nolak? Lima puluh juta astaga.” Mora memejamkan mata beberapa detik sebelum meloncat gembira dengan suara tertahan. Tangan terkepal di udara. Bibir semringah menahan bahagia. Dada sesak oleh euforia.

Nagila awak! Lima puluh juta buat nemenin Bang Bara semalem? Buset, ngerendahin harga diri dikit juga awak mau!” pekik Mora dengan bahasa Medan kental.

Histeria Mora masih belum reda saat bayangan buruk tiba-tiba melintas di benaknya. Senyum yang memudar berganti cepat dengan kerut banyak di kening. “Eh, tapi dia bukan kriminal, kan? Kok, aku bego banget gini main terima gitu aja. Ya, tapi siapa pula yang bisa nolak duit segitu banyak?” Dialek Mora kembali berganti ke logat Jakarta.

Dengan cepat jari lentik itu menari di atas kibor. Tanpa berekpekstasi terlalu tinggi, dia mengetik nama Barata Harahap ditambah properti di belakangnya. Selang tujuh detik kemudian mulut Mora terbuka lebar.

“Pemilik dan pengelola Petaland Propertindo? Tunggu. Tunggu. Petaland Propertindo termasuk dalam tujuh perusahaan properti terbesar di Jakarta? Ale Tuhan, ini si Bang Bara orang kaya beneran?”

Mora menggelosor lemas di lantai. Saat ini dirinya memang sedang berada di ruang duduknya yang nyaman di bagian belakang kafe. Bangunan ini sebenarnya merupakan rumah keluarganya yang sengaja dibeli oleh bapa Mora untuk keperluan kuliah sang anak selama program sarjana dulu. 

Oleh Mora, sebagian rumah dialihfungsikan sebagai kafe. Pada orang tuanya, perempuan itu mengaku membuat kafe agar rumah ini tidak terlalu sepi. Sementara alasan mulianya adalah Mora ingin memiliki pemasukan sendiri agar tidak terus bergantung pada uang orang tuanya.

“Kalau kayak gini caranya, mana bisa aku nipu Bang Bara?” Mora mengeluh keras. “Cemana pula aku bakal ngehindarin kalau dia tahu siapa aku?”

Teringat lagi percakapannya dengan Barata dua hari lalu. Lelaki itu menyimpulkan begitu saja bila Mora berasal dari Simalungun saat menanyakan silsilah keluarganya.

“Aku Mora Damanik, Bang,” jawab Mora tegas tanpa menyesali kebohongannya.

“Dari Simalungun?”

Mora tidak mengiakan ataupun menolak tebakan itu. Dia hanya diam saja. Sementara Barata terus mengeluarkan rentetan pertanyaan lain. 

Dan sekarang Mora didera kecemasan. Dia tahu persis bagaimana sistem persaudaraan di sukunya yang sudah serupa telik sandi profesional. Berbohong satu kali masih oke bila partnernya bukan orang yang te-o-pe be-ge-te alias top banget. Setelah tahu identitas Barata, perempuan itu mulai khawatir.

“Bukan siapa-siapa saja masih bisa dia lacak aku. Apalagi orang kaya cem gini. Pasti punya banyak sumber daya dia buat nyari aku kalau kabur." Mora memijat-mijat pelipis. Pening.

"Bah, kau juga banyak tingkah, Mora! Makan sekarang keserakahanmu. Mau nipu Harahap, mana bisa kau."

Mora mengembuskan napas panjang. Mengistirahatkan diri sejenak sembari bersandar ke punggung sofa, mata perempuan itu terpaku ke langit-langit ruangan. Niat baiknya hidup mandiri sepertinya bakal ternodai keserakahan yang menghancurkan.

Mora bukan tipikal orang yang percaya pada insting. Dia murni penganut logika. Namun, kali ini firasat Mora berteriak memperingatkan. Jika tak berhati-hati, dia bisa jatuh terperosok ke lubang kesalahan yang dibuatnya sendiri.

"Tapi mana bisa kubatalin pula." Perempuan itu mendesah keras. Ekor matanya melirik laptop yang sudah berganti tampilan dengan saldo rekening internet banking. Ada tambahan lima puluh juta rupiah yang tercatat masuk sebelum jam makan siang dimulai.

"Udah terima duitnya pun. Sayang kalau dibalikin. Ah, cuma sehari saja. Tak apalah aku pura-pura jadi Mora Damanik. Acaranya juga di Jakarta pula. Aman. Banyak Batak di sini. Susah pula Bang Bara mau cariin aku lagi."

Mora melirik bagian depan rumahnya yang bertransformasi jadi kafe. Jam sudah menggelinding semakin larut. Kafe yang gelap memunculkan kesan misterius yang sedikit menakutkan. "Entar aku suruh pegawai yang lain bilang kalau Mora sudah resign. Masalah beres." Mora bermonolog.

Senandung riang perempuan itu terdengar. Dia mematikan laptop dan bersiap tidur. Sepenuhnya Mora mengabaikan firasat buruk yang terus datang menerjang.

Hingga keesokan harinya perempuan itu berdiri terbengong-bengong di koridor kampus. Nanar matanya memandangi layar ponsel di mana satu tiket online siap dicetak.

"Medan?" ucap Mora lirih dengan bola mata terus membesar. "Yang benar saja. Bang Bara minta acara ketemuan sama orang tuanya di Medan akhir bulan ini? Astaga. Mana bisa aku balik ke kota itu?"

Mora berjalan mondar-mandir di depan kelas. Beberapa orang melewatinya dengan tatapan penasaran, tapi perempuan itu tak peduli. Dia sibuk memikirkan alasan penolakan untuk permintaan klien spesialnya ini.

"Pantas saja dia berani kasih duit besar. Rupanya aku dijebak." Mora bergumam pada diri sendiri. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Syok berat dia saat menyadari satu hal.

"Tapi Bang Bara tak pernah bilang kalau acara makan malamnya di Jakarta sini. Itu hanya asumsiku saja. Astaga. Jadi, aku si penipu ini juga kena tipu rupanya."

Mora kembali berjalan. Namun, suara gedebuk langkah kaki menyadarkannya bila perkuliahan sebentar lagi dimulai. Terpaksa perempuan itu menahan diri untuk tidak segera menelepon Barata.

Baru di sore hari Mora akhirnya punya kesempatan memegang ponsel penuh konsentrasi. Nomor Barata sudah terpampang di depan layar gawai, siap untuk ditekan. Hanya saja pergerakannya kalah cepat dengan satu panggilan masuk dari nomor mamaknya.

"Horas, Mak!" sapa Mora penuh semangat, meski hatinya ketar-ketir. Pasalnya jarang sekali mamaknya menelepon. Bisa dihitung jari dalam sebulan, itu pun menggunakan satu tangan saja, seberapa sering wanita yang melahirkannya itu menghubungi lewat panggilan suara. Selebihnya komunikasi sering dilakukan melalui pesan Whatsapp.

"Opung kamu sakit, Mora. Pulang cepat. Dia ingin ketemu sama kamu."

Singkat. Padat. Jelas. Khas mamaknya sekali. Racikan informasi itu seketika membuat Mora pening.

Kakeknya sakit. Kalau sampai Mamak menelepon, itu artinya level sakit sudah di atas normal. Kemungkinan bahkan kakeknya sudah sekarat dan siap menjemput maut. Saking jarangnya pria tua itu merepotkan anak dan cucunya dengan kondisi kesehatan.

"Opung duel dengan Opung Pintor. Ada luka serius di perut. Sekarang Bapa dan Mamak sudah di Medan. Izin kuliah dulu dirimu, jenguk Opung biar hatinya senang. Hanya kamu cucu kesayangannya."

Logat khas Jawa yang lembut dan santun tidak juga sirna, meski terselip bahasa Batak dalam perkataan mamaknya. Wajar saja mengingat wanita itu asli keturunan Jogjakarta yang menikah dengan seorang pria Medan. Dan tutur halus Mamak membuat hati Mora kalut.

Dia bisa menolak perintah orang tuanya yang sering meminta pulang saat libur kuliah. Namun, Mora tak kuasa menolak permintaan opungnya. Satu-satunya yang disayangi dan menyayangi Mora tanpa syarat hanya sang opung tercinta.

"Mak, aku …." Mora kebingungan menolak. Bayangan uang lima puluh juta yang berada di rekeningnya menari-nari lagi di ingatan.

"Jangan banyak alasan, Mora. Selain mendiang opung boru, hanya kamu satu-satunya yang diinginkan opung. Pulang ke sini, Nak. Kita tak tahu sampai kapan umur opungmu."

Kaki perempuan itu goyah. Tanpa kesadaran dia mengangguk singkat. Percakapan berlanjut sejenak sebelum akhirnya Mamak menutup telepon. 

"Gimana aku sekarang?" Mora mendesah keras sembari bersandar ke dinding kelas. Pandangannya terpekur. Saat itulah satu pesan masuk ke ponselnya.

Dari Barata.

Kening Mora berkerut membaca alamat yang disodorkan oleh lelaki itu. Sedikit senyum muncul di wajah Mora. Cepat-cepat dia mengetik pesan balasan dan mengembuskan napas lega.

[Kita ketemu langsung di Medan saja, Bang. Aku datang ke resto jam enam sore. Bye.]

~~ BERSAMBUNG ~~

Catatan Kaki:
1. Nagila awak = gila aku
2. Ale Tuhan = Ya Tuhan
3. Opung = kakek
4. Opung Boru = nenek

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top