3 | Lima Puluh Juta

Mora pusing tujuh keliling.

Pandangannya terpaku lurus ke layar laptop yang terbuka lebar. Di sana tertampil catatan keuangannya bulan ini. Bahkan belum sampai akhir bulan, tapi pengeluarannya sudah hampir mencapai limit saldo yang Mora miliki.

“Masak ngutang lagi?” Perempuan itu bertanya seorang diri.

Benaknya terus mengingatkan pada rekening yang lain. Akun bank yang khusus diisi dengan uang pemberian orang tuanya. Sebagai wujud dari niat hidup mandiri, Mora memang berusaha keras tidak menyentuh transferan bapanya. Pokoknya biar uang itu utuh dan aman, sementara dia menggantungkan hidup dari pemasukan kafe.

 “Tekor lagi, Kak?”

Mora menoleh. Satu pegawainya berdiri sembari membawa setumpuk piring bersih. Kafe memang baru saja buka dan persiapan tengah dilakukan.

Perempuan itu menutup laptop. Dia singkirkan sejenak kekhawatirannya akan kondisi finansialnya. Senyum Mora terkembang.

“Bukan tekor kafe. Kalau di sini masih aman.”

Si pegawai mengangguk paham. Diam-diam dia salut pada bos mudanya itu. Demi keberlangsungan operasional kafe, Mora memang sangat berhemat pada diri sendiri. Cenderung pelit malah.

“Ngomong-ngomong, Kak ….” Si pegawai ragu bicara.

“Apa?”

“Orang mesum tempo hari datang lagi kayaknya ke sini.”

Alis Mora terangkat tinggi. Refleks dia melihat ke arah luar. Tak ada siapa pun di sana.

“Tadi aku ketemu dia pas mau buang sampah. Berdiri doang depan pagar.”

“Sambil celingukan lihat sini tak?” Logat Batak Mora muncul.

Senyum lebar si pegawai muncul. Kepalanya mengangguk kuat-kuat. Gerakan itu sudah menjadi jawaban bagi pertanyaan Mora. Ganti sekarang bibir Mora yang menipis sinis.

“Masih berani dia ke sini rupanya. Minta dipanggilin satpam emang tuh orang.”

Si pegawai terkikik geli. Ingatannya masih merekam peristiwa beberapa hari lalu, saat Mora berteriak kencang menyebut seorang lelaki tampan dengan kata mesum. Jika tidak benar-benar membeli kopi, Mora pasti sudah menendang lelaki itu keluar.

Sayang sekali. Padahal itu cowok ganteng banget, gumam si pegawai dalam hati.

“Jangan-jangan dia stalker.” Mora menebak ngawur.

“Yah, mungkin aja, Kak. Kak Mora kan, emang cantik dan seksi. Ramah pula orangnya. Banyak yang pasti mau ngegebet kakak,” kekeh si pegawai terdengar keras. Dia bicara apa adanya tanpa ada nada kecemburuan, Faktanya perkataan yang keluar dari mulutnya itu memang benar apa adanya. Mora adalah salah satu pemicu ramainya Lunar Book Café selain rasa kopi racikan yang sangat autentik.

Saat itulah pintu depan terayun membuka. Sosok jangkung yang mengenakan celana jin pudar dan kaus polo berjalan santai mendekati konter pemesanan. Mora dan pegawainya saling bertukar pandang penuh arti.

“Kalau dia mesum lagi, aku bakal calling satpam ruko sebelah,” bisik si pegawai.

Mora mengangguk. Dia menyimpan laptop dan bersiap menyambut kedatangan pengunjung pertama Lunar.

Aeropress satu.”

Alis Mora terangkat. Dagu yang terangkat tinggi dengan sorot mata angkuh dan suara sedingin es itu memecut ego perkopian Mora. Dalam hitungan detik, perempuan itu memutuskan untuk menampilkan kemampuan terbaiknya meracik pesanan sang tamu yang tak suka basa-basi tersebut.

Lincah Mora mengambil beberapa gram biji kopi Kerinci, salah satu produk hasil perkebunan keluarganya yang juga berada di Pegunungan Kerinci. Rasa asamnya yang kompleks dan sensasi manisnya yang nyaman membangun ekspektasi Mora akan pengakuan dari pelanggan pertamanya hari ini.

Biji kopi masuk ke grinder. Sembari menunggu butiran hitam itu tergiling, Mora meletakkan filter di cap dan memasang aeropress ke atas cangkir tahan pecah. Di tempat lain, air dalam ketel telah dipanaskan dan mencapai suhu yang diinginkan oleh Mora.

“Mora.”

Perempuan itu mendongak. Pandangannya bertemu dengan si lelaki jangkung. Rasanya sangat sulit bibir Mora melengkung membentuk senyum saat mendengar namanya dipanggil. Justru kening perempuan itu berkerut halus menyadari si lelaki sudah tahu namanya.

“ID pegawaimu,” ucap si lelaki tanpa diminta.

Mora tersipu malu. Dia salah kira. Rupanya si lelaki membaca nama yang tertera di seragam kerjanya.

“Kupikir barista di sini laki-laki.”

Itu kalimat terpanjang yang dikeluarkan oleh si pelanggan pagi ini. Mora tak memusingkan persangkaan itu karena sudah sekian kali dia mendengar hal serupa. “Barista sebentar lagi datang, tapi aku juga punya kemampuan yang kredibel untuk membuat kopi.”

“Aku akui itu.”

Mora kembali mendongak. Racikan kopinya sudah menetes di cangkir anti pecah.

“Kopimu yang kemarin enak.”

Satu kalimat itu berhasil mengukir senyum di bibir Mora. Dengan hati yang lebih ringan, Mora  menyodorkan pesanan si lelaki.

“Ini pesanan Anda. Mau sekalian kue untuk teman minum kopi?”

Lelaki itu mengangguk. Dia tidak menunggu Mora. Cangkir dibawanya sendiri ke meja sudut. Setengah menit kemudian Mora menyusul dengan sepiring croissant. Perempuan itu sudah berbalik hendak pergi saat suara berat dan dalam menahan langkahnya.

"Apa kamu tak menanyakan siapa aku?"

Mora menelengkan kepala. Satu sudut bibirnya tertarik ke belakang. "Apa pentingnya buat aku?"

"Apa ini SOP pegawai di kafe ini?"

Mora memutar bola mata. "Selalu SOP saja. Memang kau ini siapa?"

Si lelaki menelengkan kepala. Pandangannya intens melekat ke sepasang mata hitam kecokelatan Mora. "Dialekmu Batak. Dari keluarga mana kau?"

Kerut di kening Mora muncul banyak. Suaranya sangat ketus. "Bukan urusanmu."

Mora sama sekali tidak menyangka akan mendapat pertanyaan macam itu. Bertahun-tahun berusaha menghindari topik soal keluarga, tak dinyana justru seorang lelaki asing tiba-tiba datang mengacaukan tatanan hidup Mora yang sudah teratur.

Otak Mora berputar mencari seribu alasan menghindari kewajiban menjawab. Namun, belum juga suara keluar dari mulutnya si lelaki sudah membungkamnya dengan perkenalan diri.

"Namaku Barata Harahap. Aku punya perusahaan properti yang cukup punya nama di Jakarta sini.”

Alis Mora terangkat tinggi-tinggi. Risih juga dia dengan flexing ala si jangkung yang ternyata punya darah Batak itu. “Lalu?” tanyanya dingin.

“Aku mau minta bantuanmu,” jawab Barata tegas. “Dan aku tak terima penolakan. Bagaimana?”

~~oOo~~

Barata tak tahu apa yang tengah merasukinya. Ide itu melintas begitu saja saat dia sekali lagi berkunjung ke Depok, tepatnya ke lokasi salah satu biro arsitek rekanannya yang sering bekerja sama dengan usaha propertinya.

Kebetulannya lokasi biro itu harus melewati kafe milik si perempuan ketus yang sudah menuduhnya orang mesum itu. Kebetulan kedua terjadi saat maminya menelepon, mengingatkan tentang tiket pesawat yang harus segera di-booking biar tak kehabisan.

Dan kini Barata duduk dengan Mora berdiri di hadapannya, harap-harap cemas menunggu jawaban si perempuan untuk permintaannya yang impulsif.

“Gerot kau, ya,” komentar Mora sinis dengan dialek khas Batak yang sangat kental.

“Gerot?”

“Gegar otak. Kepala kau pasti kejedot pohon sebelum datang ke sini. Nagila pula abang satu ni. Datang-datang, tak kenal, main minta jadi pacar pula.”

Barata langsung melotot galak. Untungnya tak ada yang sedang mendengar percakapan mereka. Kafe Lunar masih sepi. Benar-benar hanya ada dirinya dan Mora di ruangan ini.

“Bukan minta jadi pacar.” Barata mengoreksi cepat. Kepalanya mendadak berdenyut-denyut. Hatinya merasa ini tindakan yang sangat bodoh, tetapi sudah kepalang tanggung, susah untuk menarik perkataan kembali.

“Aku hanya minta dirimu untuk berpura-pura jadi pacarku akhir bulan ini saja.”

“Sama saja, Bang.” Mora berbalik. “Maaf, awak tak minat. Abang cari saja perempuan lain yang mau diajak nipu keluarga.”

“Tunggu dulu!” Barata langsung berdiri. Disambarnya siku Mora, hingga membuat perempuan itu terhuyung hampir jatuh.

“Bang, kenapa lagi, sih? Entar aku jatuh, Abang nuduh main peluk lagi.”

Barata memejamkan mata. Mora memang menyebalkan. Mulutnya ternyata sama pedasnya dengan Barata.

“Oke, fine. Aku minta maaf. Tapi aku benar-benar butuh bantuanmu.”

“Tak, Bang. Cari saja perempuan lain. Banyak orang Batak di sini, tapi tak yakin juga aku mereka bakal mau jadi pacar pura-pura Abang.”

Barata tahu itu. Dia bisa saja mencari banyak perempuan di luar sana untuk memuluskan ide gilanya kali ini. Masalahnya, yang diinginkan keluarganya adalah perempuan satu suku. Papinya sangat ketat soal seleksi calon menantu ini. Dan Barata tak tahu di mana mencari perempuan sesama Batak yang bisa diajak bekerja sama.

Sampai dia menemukan Mora. Dari namanya saja sudah terlihat asal daerah perempuan itu. Ditambah logat khas Sumatra Utara yang samar-samar terdengar saat pertemuan pertama mereka. Kali ini Barata rela menurunkan harga diri demi kebebasannya di masa depan.

“Yang aku butuhkan hanya kamu.” Barata berkata tegas.

“Aduh, Bang. Yang bener aja. Manalah Abang butuh aku. Kenalan aja baru hari ini.” Mora berkata dengan dialek campur aduk Betawi kolaborasi dengan Medan.

“Apa yang kamu butuhkan?” Barata tahu itu cara curang. Namun, hanya itu yang terpikir dalam benak lelaki jangkung yang hampir putus asa menahan malu.

“Maaf. Awak tak butuh apa-apa.”

“Baju? Tas? Sepatu?” desak Barata.

“Tak butuh.”

“Uang?”

Mora sempat terdiam sejenak. Hanya beberapa detik. Namun, hal itu tak luput dari mata jeli Barata. Dalam sekejap lelaki itu tahu apa yang tengah menjadi masalah perempuan di hadapannya ini.

“Sepuluh juta? Hanya untuk datang bersamaku dan makan malam satu kali.” Barata melontarkan tawaran yang sulit ditolak wanita di hadapannya.

Mora termenung, kali ini cukup lama, sampai Barata yakin penawarannya akan langsung disetujui oleh perempuan itu. Senyum tipis Barata muncul memikirkan prospek kemenangan yang sudah berada di depan mata.

“Tak mau.”

Senyum Barata pudar seketika. “Maaf?”

“Sudah jelas, kan? Awak tak mau terima tawaran Abang. Sorry, Harga awak jauh lebih besar dibanding sepuluh juta saja. Jadi, Abang—”

“Lima puluh juta. Lumayan untuk membeli tas baru, kan?” Barata memotong.

Bola mata Mora membulat lebar.

“Itu lima kali lipat lebih banyak dibanding yang tadi. Semoga tak menyinggung harga dirimu.”

Deal!” Mora menyahut cepat. “Jadi, kapan kita bicara bisnis, Bang?”

~~ BERSAMBUNG ~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top