18 | Keputusan Final

Ompung Pintor akhirnya dipenjara.

Bapa dan Mamak mengabaikan perintah Ompung Sahat untuk tidak melaporkan keluarga sendiri ke polisi. Namun, penculikan Mora dan fakta Ompung Pintor menyimpan rencana untuk melakukan pembunuhan pada cucu Siregar sudah tidak bisa ditoleransi. Bapa dan Mamak tidak ingin anak semata wayangnya mengalami musibah lagi karena membiarkan trouble maker berkeliaran.

"Lega hati Mamak." Wanita itu yang sudah berada di Jakarta seminggu lamanya senang setelah menerima telepon dari pengacara keluarga.

"Ompung di Medan pasti sedih." Mora datang dengan senampan kopi hitam dan camilan tradisional.

"Klepon?" Mamak terang-terangan mengagumi jajanan basah yang dibawa putrinya kali ini.

"Iya. Dikirimin sama toko kue langganana awak, Mak. Miss Klepon."

"Itu nama pemiliknya?"

Mora terkekeh, "Bukan. Itu nama toko kuenya. Kalau pemiliknya punya nama Mbak Ellina. Cantik orangnya, Mak. Dia bawa jajanan pasar jadi cemilan elite. Toko kuenya berkelas kali."

Mamak yang sudah lama tak mengudap kue tradisional asal Jawa serasa mendapat harta kecil. Nikmat dia menyantap butiran-butiran manis berlapis parutan kelapa itu. Lalu mulutnya menimpali perkataan Mora.

"Ompung harus bisa merelakan hal ini. Semakin lama Ompung Pintor dibiarkan berkeliaran di luar, semakin bahaya buat kita semua."

Mora menatap mamaknya lekat-lekat. Ada keraguan di wajahnya, tetapi perempuan itu harus berkata jujur.

"Mak, kan Ompung Pintor sudah bukan masalah lagi buat keluarga kami, kan?"

Mamak mengangguk. "Pengacara kita akan memastikan ompung dipenjara."

Mora menjilat bibir. Dia memberanikan diri berkata. "Berarti sudah tak ada kewajiban awak buat nikah sama pariban, kan?"

Kunyahan Mamak terhenti.

"Dulu Nenek Dame kasih syarat itu agar harta keluarga tetap aman dari Ompung Pintor. Tapi sekarang Ompung sudah di penjara. Awak juga tak terlalu berminat ngurusin kebun kopi bagian Nenek Dame. Itu biar jadi urusan Bapa saja."

"Cakap apa kau, Mora!" Mamak tiba-tiba bicara keras. Lupa sudah dia dengan kenikmatan klepon dan kopi hitam.

"Wasiat Nenek Dame harus dilaksanakan. Persiapan pernikahan juga sudah siap seratus persen. Tak ada masalah juga kau sama paribanmu itu. Kenapa malah mau batalin pernikahan, hah?"

Mora meringis. Bayangan testpack dengan tanda plus jelas di batangannya kembali menghantui benak perempuan itu. Sejak dia menemukan alat kecil itu, Mora belum bertanya pada keluarga Harahap. Dia masih menyimpan sendiri pertanyaannya.

Namun, Mora tak ingin merebut kebahagiaan orang lain. Instingnya mengatakan Barata ada hubungannya dengan testpack itu. Skenario terburuk sudah dipikirkan Mora. Bisa saja demi perjodohan ini, Barata harus memutuskan hubungan dengan kekasih yang sedang hamil.

Dan itulah alasan paling logis yang diyakini Mora dari kekehnya Barata menolak perjodohan dengannya. Andai dia tahu dari awal, Mora akan sukarela turut membantu pembatalan perjodohan.

"Mak, dengarkan penjelasan awak."

"Tak ada. Sudahlah. Pernikahan tinggal menghitung hari. Baik-baiklah kau sama Barata. Nah, itu dia. Panjang umur orangnya datang."

Mora menoleh. Sosok jangkung dan tampan yang menarik minat pengunjung kafe tampak berjalan tegap ke arahnya. Barata mengangguk singkat pada Mamak.

"Horas, Mak." Barata menyapa ramah.

"Horas. Nah, babere-ku. Kau ngobrollah sama Mora. Banyak kali pikiran dia sampai ngomong yang bukan-bukan." Mamak tak menunggu jawaban calon menantunya. Dia langsung bangkit meninggalkan pasangan muda itu.

Sementara Barata memandangi Mora dengan intens. Tatapan lelaki itu seolah membelai Mora dengan kelembutan yang asing. Sontak hal itu menimbulkan ledakan kupu-kupu di perut Mora.

"Apa yang kamu pikirin?" Barata mengambil tempat duduk di kursi bekas Mamak.

Mora melirik lelaki di sampingnya. Keraguan masih berkecamuk di hati perempuan itu. Namun, dia tidak ingin terus dilanda penasaran. Persangkaan jika Barata masih punya wanita lain terus menghantui Mora dan hal itu membuatnya tak tenang.

"Abang ...." Mora masih menahan lidah. Barata menunggu dengan sabar. Akhirnya embusan napas panjang meluncur keluar dari mulutnya.

"Abang sudahkah punya kekasih lain?"

Barata mengernyit. Kepalang tanggung. Mora akhirnya menyuarakan isi hatinya.

"Tak mengerti aku, Bang, dengan gigihnya dirimu yang tak mau nikah sama aku. Sekarang aku sudah paham."

"Maksudmu?"

"Tak usah pura-pura, Bang. Tak mau aku kalau Abang jadi bapak yang tak bertanggung jawab."

Ekspresi Barata berubah. Sorot matanya menajam. "Kamu geledah kamarku?"

Wajah Mora memerah. Refleks dia melengos sembari membuang muka ke arah lain.

Di sampingnya Barata jadi gemas sendiri. Namun, dia tidak bisa gegabah bercerita. Pasalnya Barata masih ragu dengan perasaannya sendiri.

Pasca penyelamatan Mora, ada hal aneh yang dirasakan oleh Barata. Tak bisa berjauhan, itu yang dialaminya beberapa hari ke belakang. Seolah melihat sang tunangan adalah satu keharusan sendiri.

Saat Mora akhirnya kembali ke rumahnya di Depok, Barata kehilangan. Alhasil dia sering mencari alasan untuk berkunjung ke kafe Mora. Sama seperti sekarang di mana dia sengaja bertemu klien di Depok agar bisa mampir ke kafe tunangannya.

Lalu perkataan Mora membuat hati Barata mencelus. Dia sudah meminta semua orang di rumah merahasiakan masa lalunya. Tetap saja dia kecolongan.

"Tak main geledah aku," ucap Mora lirih. "Aku hanya pergi ke ruang kerja Abang buat pinjam kertas dan pulpen. Dan di sana ...."

Wajah Barata mengencang. Di depannya Mora meremas-remas tangan. Gara-gara penemuan testpack itu, dia jadi lupa dengan ide soal perjanjian pranikah.

"Mora—"

"Paham aku kenapa Abang menentang perjodohan ini. Pasti aku juga bakal bertindak hal yang sama kalau di posisi Abang. Jadi ... jadi ... aku yang akan membatalkan pernikahan kita, Bang."

Bak petir di siang bolong, Barata tertegun. Pandangannya hampa dan kosong.

"Tak mau aku jadi perusak hubungan orang, Bang." Mora menundukkan pandangan.

Barata mengembuskan napas panjang. "Hubungan itu udah rusak sejak awal, Mor."

Mora mendongak cepat. Matanya menangkap Barata yang tengah menatap ke arahnya.

"Dia sudah meninggal. Kecelakaan mobil bersama calon anak kami."

Mora terkesiap keras. Lalu telinganya mendengar cerita Barata tentang kekasih yang tidak direstui.

Papi menginginkan Barata menikah dengan sesama suku. Barata sudah mencintai kekasihnya dan berhubungan cukup lama. Sulit untuk berpisah. Jadi, ide gila datang dari mereka.

Berharap adanya anak bisa meluluhkan hati Papi, mereka berniat merencanakan kehamilan. Sayangnya hal itu tak juga membuat Papi setuju. Orang tua Barata rela mengasuh anak yang dilahirkan, tetapi tetap tidak ada pernikahan.

"Dia syok." Suara Barata serak. "Pulang dari rumah kami, dia menyetir kencang dan kecelakaan. Dia dan calon anaknya meninggal di tempat."

Mora membekap mulut. Susah payah ditahannya suara agar tidak keluar. Ingin rasanya Mora menghujat sikap papi Barata yang egois. Namun, Mora tahu itu adalah tindakan yang bijaksana.

Jadi, dia hanya meraih tangan Barata lantas menggenggamnya erat-erat. Mora menyalurkan dukungan pada lelaki di sampingnya. Sikap sederhana yang justru membuat hati Barata bergejolak tak karuan.

"Jangan batalin rencana pernikahan kita, Mora." Lelaki itu meminta lirih.

"Abang masih punya bayang-bayang dia."

"Aku akan berusaha lupain dia. Aku ...."

"Aku kenapa, Bang?" Mora penasaran dengan kalimat yang tidak tuntas.

Barata mengembuskan napas panjang. Tatapannya melekat ke sepasang mata jernih tunangannya. Dengan suara bergetar, lelaki itu menjawab.

"Aku akan menikahimu, Mora Siregar. Itu keputusan final aku."

~~oOo~~

Mora memandangi pantulan dirinya sendiri di cermin. Penampilannya stunning. Baju kurung berbahan beludru bersulam benang emas membungkus tubuh rampingnya. Tak lupa songket Sipirok dipadukan dengan ulos tenun patani menghiasi bagian depan badan Mora. Kepalanya terasa sedikit berat karena bulang emas yang menjadi mahkotanya hari ini. Lengkap sudah Mora berdandan bak ratu sehari dengan busana pernikahan khas sukunya.

Di luar suara musik instrumental memainkan Rere Ma Na Rere siap mengantar pengantin ke pelaminan. Mora juga yakin bila penghulu pasti sudah siap untuk mendengar ijab kabul Barata.

Sebentar lagi.

Pandangan Mora beralih ke cincin pertunangan yang dikenakannya hari ini. Sebentar lagi di atas cincin itu juga akan tersemat cincin pernikahannya bersama Barata. Namun, hati Mora mendadak dilanda keraguan.

Sudah sampai di titik ini. Barata juga sudah bersikap jujur tentang masa lalunya. Akan tetapi, ganjalan itu masih terus dirasakan Mora karena alasan yang sepele.

Calon suaminya belum menyatakan cinta pada Mora.

Perempuan itu mengembuskan napas panjang. Urusan hati ternyata begini rumit. Jarinya memutar-mutar cincin pertunangan. Ragu antara tetap memakainya atau melepasnya dan meninggalkan pernikahan yang sudah di depan mata.

"Pengantin wanita sudah siap? Sebentar lagi kita keluar. Ijab kabul dilaksanakan sepuluh menit lagi."

Salah satu kru dari event organizer yang mengurus pernikahan Mora di Medan berdiri di ambang pintu kamar hotel tempat pernikahan dihelat. Mora menoleh. Pandangannya berkabut. Satu tangannya masih memainkan cincin di tangan yang lain.

"Aku ...." Mora terdengar ragu.

"Ya, Kak?"

Mora memandangi kru EO, lalu beralih pada cincin pertunangan di jarinya, dan kembali melihat pada kru yang masih menunggu di ambang pintu. Mora menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan lalu melepas cincin di jarinya. Digenggamnya logam dingin itu erat-erat.

Mora mengangguk dan berjalan keluar kamar. "Ayo, kita ke depan."


~~ TAMAT ~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top