16 | Mencari Tunangan
"Mora masih belum pulang?"
Barata yang tengah berkonsentrasi pada laptop mau tak mau jadi melirik ke arah Mami. Suasana rumahnya malam ini sangat ramai di bagian depan. Maklum, anak-anak Bora ditambah orang tuanya plus Papi sedang bermain alioma, sejenis permainan petak umpet yang masih merupakan permainan tradisional Mandailing.
Karena itu, Barata mengungsi sejenak ke halaman belakang. Dia butuh bekerja setelah beberapa hari cuti akibat kecelakaan dan kaki keseleo. Kini dirinya sudah sehat dan harus mengejar ketertinggalan di kantor.
"Iya. Terakhir kami ketemuan di rumah sakit itu. Kalau anak-anak ketemu Mora pas Barata pulang itu. Katanya Mora mau naik busway aja, nggak mau dianter ke kafe."
Kening Mami berkerut. "Sejak hari itu belum pulang? Aduh, padahal udah jalan tiga hari ini. Iya, Mora nggak ada pergi ke sini. Bara juga nggak ada ketemu dia. Oke. Oke. Yang tenang dulu. Kami akan bantu cari Mora."
Mami mengakhiri panggilan teleponnya. Wanita itu memang sengaja menerima telepon dari calon besannya di halaman belakang agar tidak terdistraksi keriuhan di depan.
"Bara, apa Mora hubungi kamu?"
Yang ditanya menggeleng. "Sejak pulang itu nggak ada chat dari dia, Mi. Kenapa?"
"Mora udah tiga hari nggak pulang. Sepupunya udah cek ke kafe dan pegawai bilang nggak ngeliat Mora beberapa hari ini."
Kerut di kening Barata kembali muncul. Di hadapannya Mami menggenggam tangan sang putra erat-erat.
"Ponselnya nggak aktif, Bara. Mami takut ada hal-hal buruk sama Mora."
"Emang kebiasaan dia macam gitu kali, Mi?" Barata mencoba memberikan sudut pandangnya. Namun, tebakan lelaki itu ditepis Mami kuat-kuat.
"Tiap hari Mora selalu berkabar ke mamaknya. Tapi udah tiga hari ini menghilang nggak ada kabar." Mami menjelaskan. Wanita itu mengambil posisi duduk di samping putranya.
"Kamu tengok coba Mora di rumahnya sana. Satu tempat sama kafenya, kan? Mungkin udah terjadi sesuatu yang buruk."
"Mi–"
"Lagian kamu pacarnya kok, cuek aja Mora ilang, sih?" Mami setengah kesal.
Barata mendeceh pelan. Akhirnya laptop terpaksa ditutup. Lelaki itu bangkit meninggalkan maminya.
"Bara, mau ke mana?"
"Kata Mami suruh cari tunangan yang hilang." Barata menjawab sarkas.
"Nah, bagus itu. Kalau udah ketemu langsung bawa ke sini. Mami mau lihat parumaen Mami kondisinya gimana."
Barata menghela napas panjang. Langkahnya lebar-lebar ke arah kamar mengambil tas dan kunci motor. Sengaja dia tak bawa mobil untuk menghindari kemacetan. Mungkin saja Mora sedang berniat kabur darinya lewat gang-gang kelinci.
Menghindari halaman depan, Barata langsung pergi ke garasi lewat samping rumah. Raungan motor sport-nya menggelegar di rumah besar itu. Lalu Barata memacu kendaraan menuju arah Depok.
Sayangnya sampai di sana situasinya masih sama. Batang hidung Mora masih juga belum kelihatan. Bahkan dia bertemu dengan Dito Siregar yang terang-terangan menampilkan ekspresi cemas.
"Bang Bara-kah? Untung Abang dah datang. Aku dah hubungi polisi, Bang. Laporan Mora hilang dah masuk ke sana."
Barata mengernyit. Dito segera menjelaskan panjang lebar jika Mora sama sekali tak terlihat pulang ke rumah sejak pergi ke rumah sakit tiga hari lalu. CCTV juga anehnya mati di hari yang sama dengan kepergian Mora. Ponsel sepupunya juga mati, sama sekali tak bisa dihubungi.
"Pening kepalaku, Bang. Mora memang lasak, tapi bukan tabiatnya menghilang tak berkabar macam sekarang." Dito bicara penuh rasa cemas.
Barata menatap lelaki di hadapannya lekat-lekat. Dia mempertaruhkan masa depannya. Jika salah bertanya, bisa-bisa Dito akan membuat posisinya di hadapan keluarga Siregar jadi sulit. Namun, semua kemungkinan harus dicoba.
"Apa ini bukan salah satu trik Mora buat batalin pernikahan?"
Dito tersentak kaget. Di hadapannya Barata kembali bicara.
"Kamu udah tahu kan, kalau kami dijodohin? Pernikahan pariban." Barata melempar umpan. "Mungkin Mora udah punya pacar saat kami dijodohin dan sekarang mereka kawin lari?"
"Jangan cakap macam tu, Bang. Sepupu aku itu memang paok orangnya kalau soal asmara. Dia belum pernah pacaran, kenapa pula bisa kepikiran buat kawin lari? Nggak, Bang. Mora bukan perempuan macam tu. Dia memang benci perjodohan, tapi kali ini dia serius mau nikah sama Abang." Dito tersinggung dengan tuduhan Barata yang tak berdasar.
Alih-alih malu karena persangkaannya salah, Barata juga diselimuti kehangatan. Fakta bila Mora sama sekali belum pernah pacaran tiba-tiba membuatnya tersenyum senang.
Lalu senyum itu pudar.
Kenapa sama aku ini? Mora sedang hilang malah aku happy karena aku ternyata pacar pertamanya.
"Abang jangan cakap macam tu lagi. Kasihan Mora. Aku takut dia kena culik Ompung Pintor."
Barata menelengkan kepala. Dia pernah mendengar nama itu disebut oleh orang tuanya. Ompung Pintor termasuk orang yang membuat Nenek Dame akhirnya memutuskan untuk menjodohkan cucu Harahap dengan Siregar.
"Dia ada di Medan sana, kan?"
"Tak, Bang. Ompung Pintor kabur entah ke mana setelah nusuk Ompung Sahat. Harusnya itu ompung dipenjara saja daripada terus nyusahin orang." Dito mondar-mandir kesal.
Barata mengangguk mengerti. Situasinya saat ini sudah tidak kondusif lagi. Mora memang sudah dinyatakan hilang.
Dan Barata digelitik rasa kekhawatiran untuk segera menemukan tunangannya itu. Ada yang harus ditanyakannya lebih jelas lagi. Namun, sebelum pertanyaan itu keluar, Barata harus menemui seseorang lebih dahulu.
“Kapan buat laporan ke polisi?” tanya Barata.
Dito dengan sigap menjelaskan. Barata mengangguk paham. Dia berjalan ke belakang kafe dengan ponsel menempel di telinga. Hanya butuh beberapa detik saja sebelum panggilannya diterima oleh seseorang.
“Halo, Rendra? Ini Barata.” Lelaki itu bicara dengan seorang teman SMA-nya. “Tunangan gue menghilang. Kemungkinan besar diculik. Ya, gue udah bikin laporan ke polisi, tapi lo tahulah gimana kolega lo kalau kerja. Ya, gue minta bantuan lo. Pokoknya tunangan gue harus udah balik ke rumah secepatnya.”
Barata mendengar respons kawannya. Lelaki itu manggut-manggut sebelum satu senyum tipis tercetak di wajah. Setelah mengakhiri panggilan telepon, Barata memasuki pintu besi tempa di bagian samping rumah yang merupakan akses masuk ke rumah Mora.
Dia memeriksa hunian tunangannya dengan cermat. Tak ada yang aneh. Semua masih berada di tempatnya dan tidak ada tanda-tanda kerusakan. Lalu langkah Barata tertuju ke satu kamar yang menarik minatnya karena pintu yang terbuka lebar dan pernak-pernik feminin di dalamnya mengalihkan perhatian lelaki itu.
Ini kamar Mora.
Barata memindai cepat. Dia tidak punya banyak waktu untuk melakukan pengamatan karena Rendra sudah mengirimkan pesan untuk bertemu. Sekali lagi tak ada yang aneh dengan ruangan berukuran empat kali lima meter ini.
Kecuali ….
Kening Barata berkerut. Langkahnya bergegas menghampiri meja besar dengan laptop tertata rapi di atasnya. Tidak ada yang aneh kecuali satu hal yang mencuri perhatian Barata.
Satu patung tangan dengan jari-jari lentik berwarna putih. Sebentuk cincin emas yang sangat familier tersemat di satu jari patung itu. Barata sontak menggeram kesal.
“Mora Siregar. Berani-beraninya kamu copot cincin pertunangan kita. Awas aja kalau ketemu. Bakal aku lem ini cincin di jarimu.”
~~oOo~~
Delapan jam berlalu sejak Barata menelepon temannya. Rendra Harahap yang berprofesi sebagai seorang intel di Metrojaya memberikan laporan yang membuat jantung Barata kebat-kebit tak karuan.
“Manifes penerbangan Kualanamu mencatat Pintor Siregar datang ke Jakarta tiga hari lalu, Bar.” Rendra yang datang untuk kedua kalinya hari itu menyerahkan satu diska lepas berisi rekaman kamera pengawas.
“Gue udah cek CCTV bandara. Dia juga kedapatan berkeliaran di sekitaran Depok. Gue nggak yakin ke mana karena dia menghilang di sekitar Beji.”
“Itu deket sama rumah tunangan gue.” Barata bergumam.
“Asumsi gue juga tuh ompung ngedatengin rumah calon bini lo.” Rendra yang sudah lama menetap di Jakarta bicara bahasa ibukota, tetapi berdialek Medan.
“CCTV di rumah Mora juga mendadak mati. Tapi pas hari itu doang. Besoknya pegawai kafe udah benerin CCTV-nya.” Barata mengumpulkan sekeping informasi lagi.
“Gue udah sebar orang ke beberapa tempat. Kita tunggu aja hasil dari mereka. Semoga nggak terlalu lama.” Rendra melirik arloji.
“Lo nggak kerja?”
“Gue dinas luar hari ini, di Priok. Santai aja sih, punya banyak waktu longgar gue.” Rendra tiba-tiba berdiri saat merasakan ponsel di saku celananya bergetar.
Suara lelaki itu lirih saat berucap dengan lawan bicara. Ekspresinya serius. Beberapa kali dia melirik pada Barata sebelum mengakhiri telepon.
"Ada titik terang, Bar." Rendra kembali duduk. Sorot matanya tajam. "Anak buah gue ngeliat penampakan Ompung di daerah Grogol. Info sementara ada pria asal Medan yang menyewa satu rumah di sana."
"Pria Medan, bah!" Barata tak bisa menahan diri untuk tidak berdialek.
"Kita ke sana sekarang?" Rendra mengabaikan nada sarkas di suara temannya. Pertanyaan lelaki itu bersambut anggukan. Decak keras Rendra lantas terdengar beriringan dengan langkah cepat mereka ke mobil.
"Lo beneran cinta sama calon bini lo, nih."
Barata melirik temannya. "Cinta? Lo salah, Bro. Gue cuma pengen cekek cewek itu karena udah bikin repot semua orang. Habis itu gue seret dia ke altar dan cepet-cepet nikahin dia. That's all."
~~ BERSAMBUNG ~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top