15 | Cake Pisang Pembawa Cinta
"Aku keseleo, tau! Keseleo!"
Sudah kelima belas kalinya Barata mengucapkan kata-kata itu pada adiknya. Bukannya menenangkan, Bora malah tertawa keras-keras.
"Iya, keseleo sambil bugil. Terus Eda jadi syok berat liat itu Abang."
Dengan tak tahu malu, Bora memelototi bagian depan celana abangnya. Tonjolan di sana membuktikan bila Barata punya ukuran aset yang tak bisa disepelekan.
Buat Bora itu bisa jadi modal untuk membujuk calon kakak iparnya agar mau bertahan di samping Barata. Ukuran alat vital bisa jadi salah satu penentu kebahagiaan. Sikap dingin sang abang bisa diredam dengan kegagahannya di tempat tidur kelak.
"Dia main masuk sembarangan," dengkus Barata keras. "Mana pake tanya aku udah mati apa belum."
Tawa Bora makin kencang. Perempuan itu sampai terbungkuk-bungkuk. Beruntung anaknya tak ada yang ikut ke rumah sakit. Sekali lagi Papi bertindak jadi babysitter dadakan karena masih kangen dengan cucunya.
Di samping Bora, sang suami menepuk-nepuk lembut bahu istrinya. Lewat sentuhan itu, dia memperingatkan Bora agar tidak keterlaluan menjahili Barata.
"Kalian itu emang udah cocok jadi pasangan kekasih. Dari musuh jadi cinta. Lagian ya, Eda itu udah top markotop soal naklukin kedinginan Abang."
"Maksudnya?" Kening Barata berkerut.
"Ya, coba aja Abang inget-inget. Banyak banget cewek deketin Abang, tapi semuanya mental karena dijudesin sama Bang Bara. Cuma Eda Mora yang bertahan sampai di titik ini."
"Dia punya misi khusus." Barata berkata tanpa menjelaskan lebih lanjut. Beruntung Bora punya perspektif lain soal misi itu.
"Iya, misi buat taklukin Abang. Dia cewek Batak tulen. Mana bisa dikalahin sama laki-laki?" Bora melirik suaminya. "Macam suami aku ini. Bang Fahri sayang banget ke aku. Someday Abang juga pasti kayak Bang Fahri kalau udah nikah sama Eda Mora."
"Mimpi saja kamu." Barata bergidik.
Bora tersenyum lebar. Dia mengambil koper Barata. "Kami ke bawah dulu, Bang. Entar aku panggil suster buat bawain kursi roda."
"Aku bisa jalan sendiri."
"Tet-tot. Permintaan ditolak. Itu udah SOP rumah sakit. Pasien yang dinyatakan sembuh harus dibawa ke lobi pake kursi roda." Bora menggamit lengan suaminya. Keduanya berpamitan sebelum menghilang dari kamar.
Sementara Barata masih duduk di tepian tempat tidur. Matanya melirik pergelangan kaki kiri yang diperban. Niat hati ingin mandi karena sudah gerah berada di rumah sakit justru harus berakhir dengan insiden menyedihkan lagi.
Barata tak mengira bila Mora akan datang. Santai dia mandi dengan pintu terbuka. Lalu perempuan itu masuk dan Barata yang kaget tak sengaja terpeleset. Dia sudah berusaha diam agar tidak menarik perhatian Mora. Pasalnya Barata memang tengah telanjang bulat.
Namun, semesta berkehendak lain. Mora justru masuk kamar mandi. Teriakan kencang perempuan itu menarik perhatian para perawat. Alhasil Barata harus menahan malu karena jadi tontonan Mora sekaligus dua orang perawat yang membantunya kembali ke tempat tidur.
"Sialan." Barata menyugar rambut frustrasi. "Kenapa selalu aja ada kejadian aneh kalau dekat-dekat sama cewek itu, sih? Kecelakaan kemarin juga deketan sama kafe dia."
Telinga lelaki itu menangkap suara pintu kamar dibuka tutup. Barata akhirnya bernapas lega sebab perawat sudah datang. Infus yang menancap di tangan juga sudah dilepas setelah insiden kamar mandi tadi. Sekarang Barata siap untuk pulang.
"Aku bisa jalan sendiri, Sus. Nggak perlu pakai kursi ro–"
Perkataan Barata tak pernah selesai. Refleks lelaki itu melotot galak. "Kamu ngapain lagi ke sini? Jauh-jauh sana. Bawa sial mulu kamu itu."
Mora berkacak pinggang. Langkahnya terhenti sejenak sebelum dia kembali berjalan menghampiri Barata.
"Yang bawa sial itu kau, Bang. Sejak kenal kau, hidupku susah terus." Mora meletakkan tas kertas di samping Barata dan membuka isinya. Harum pisang seketika memenuhi kamar inap itu. "Nih, cake pisang. Mamak suruh aku buat biar Abang cepet sehat."
Barata tertegun. Pandangannya mengikuti gerak-gerik Mora yang memotong cake jadi kecil-kecil dan menyuapkannya langsung ke mulut sang tunangan.
Anehnya mulut Barata spontan terbuka lebar dan melahap kudapan manis yang diberikan Mora. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Barata dan Mora disibukkan dengan pikiran masing-masing plus cake pisang yang semakin lama mulai tandas.
"Abang, kursi roda udah datang. Kita bisa pulang."
Mora refleks melompat ke belakang menjauhi Barata. Sayangnya kotak cake jadi tersenggol dan menumpahkan sisa kudapan ke lantai. Membungkuk cepat untuk membersihkan kotoran, Mora berusaha menutupi rasa malunya karena kepergok Bora.
Sementara Barata melempar lirikan tajam membunuh pada adiknya. Bibir Barata menipis. Gestur lelaki itu masih tetap sama. Duduk tegak di tempat tidur. Hanya kepalanya yang menoleh dan mengawasi Bora sangat intens.
"Loh, ada Eda juga di sini. Kupikir udah pulang tadi." Bora tanpa rasa bersalah mendekati bed pasien sembari mendorong kursi roda.
"Ta–tadi lupa mau ngasih camilan," jawab Mora lirih.
"Wah, Bang. Beruntung banget jadi kamu, tuh. Makmur kalau nikah sama Eda Mora. Udah cantik, pinter masak, baik hati pula."
"Mana kursi rodanya. Aku mau cepet pulang." Barata tak menghiraukan perkataan adiknya.
Bora mengulum senyum. Dia tak menolong sang kakak turun dari tempat tidur, meski jelas-jelas pergelangan kaki lelaki itu sedang cedera. Justru Mora yang terlihat khawatir dan berusaha membantu Barata, tetapi keras menahan diri.
"Udah, sentuh aja, Eda. Abang mah, seneng aja kalau Eda yang sentuh."
"Bora," desis Barata.
"Apa, Bang?" Bora terkikik geli. "Jadi, kalian udah ngapain aja, nih? Abang aku ini kulkas banget bisa lumer gitu sama Eda Mora. Ampuh banget kasih sayang Eda ke Abang."
"Bora, kalau mulutmu nggak bisa diam kusuruh perawat kasih obat bius." Barata mendesis makin keras.
Bora tertawa terbahak-bahak. Puas dia menjahili abang dan calon kakak iparnya. Dalam hati Bora yakin seratus persen bila pasangan di hadapannya ini memang saling menyukai.
Mungkin belum saling mencintai, renung Bora. Namun, kasih dan sayang yang sudah muncul adalah modal awal yang cukup untuk membina sebuah rumah tangga. Bora berdoa agar Mora benar-benar jadi jodoh sang abang dan mampu mengobati luka hati lelaki itu.
"Aku langsung ke kafe saja. Maaf karena tak bisa antar kalian sampai rumah." Mora berkata saat mereka tiba di teras lobi.
Fahri yang menjadi sopir siang ini. Barata sudah duduk di jok belakang. Sementara Bora masih berpamitan dengan eda-nya.
"Yakin, Eda? Kami bisa antar Eda ke kafe setelah drop Abang pulang."
"Tak perlu. Tak perlu. Aku bisa naik busway."
Bora membuka mulut hendak bicara. Namun, suara dingin dan ketus Barata sudah menyalak dari dalam mobil.
"Suka-suka dia mau naik apa. Nggak perlu dipaksa. Cepet pulang, Bora. Kakiku sakit."
Bora terpaksa masuk mobil dengan sorot mata penuh permohonan maaf. Mora melambaikan tangan dengan senyum di bibir. Begitu kendaraan roda empat itu menghilang dari pandangan, senyum Mora pudar seketika.
"Dasar lelaki belagu! Songong! Tengil! Kalau tak sedang sakit, sudah aku hajar itu mulut pedasnya." Mora mengomel.
"Dan cemana pula aku harus tinggal sama dia seumur hidup? Debata, yang benar saja! Kenapa Kau kasih aku calon suami macam dia? Menang good looking saja, tapi bad attitude kali. Makan hati terus aku nanti, Debata. Tolong, batalkan pernikahan kami. Tak sudi aku jadi istri yang mati cepat kena hipertensi akibat kelakuan suami macam tu."
Mora menyepak-nyepak kerikil yang ditemukannya. Langkah perempuan itu cepat menuju ke halte TransJakarta. Biasanya ramai, tumben sekali siang ini cukup sepi. Hanya ada dua orang perempuan berkerudung yang berdiri sembari fokus ke ponsel masing-masing.
"Duh, Debata. Kenapa pula Bang Barata tak segera batalkan pernikahan. Sudah makin dekat pula ini ke tanggal nikahan kami. Aku harus bagaimana, Debata?" Mora kembali mengeluh.
"Kalau aku yang batalkan pernikahan, bisa dibantai sama Bapa aku nanti. Tidak. Tidak. Tak berani aku lawan Bapa sama Mamak. Tak mau jadi anak durhaka aku nanti. Lagipula harta Ompung Dame juga besar. Sayang sekali kalau tak bisa aku warisi."
Senyum Mora kembali terbit mengingat besarnya aset Ompung Dame. Sebentar lagi sebagian besar kekayaan mendiang neneknya itu akan jatuh ke tangan Mora. Dia bukan orang yang serakah, tetapi diberi harta yang banyak tak bisa pula dia tolak.
"Sebentar lagi. Sebentar lagi. Sabar, Mora. Sabar." Perempuan itu terus berjalan dan hampir mendekati halte.
Lalu satu suara memanggil namanya. Mora menoleh dan seketika membeku.
"Mora, lama tak jumpa. Senang kabur ke Jakarta sini, eh?"
~~ BERSAMBUNG ~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top