13 | Adik Ipar

"Enak saja kau bilang? Aku suka kau? Mimpi saja, Bang Bara!"

Mora mengentakkan kaki. Tanpa permisi dia berjalan pergi meninggalkan Barata begitu saja. Ada emosi kesal tercetak di wajah kuning langsat Mora.

"Aku suka sama Bang Bara? Debata, pede sekali kau, Bang."

Mora terus bersungut-sungut semakin menjauh dari Barata. Langkahnya panjang-panjang. Bibir cemberut itu terus mengerucut seiring perjalanannya menuju parkiran rumah sakit.

Sementara Barata termenung seorang diri. Mematung dia di bagian depan selasar rumah sakit. Pandangannya mengikuti sang tunangan yang semakin mengecil hingga hilang ditelan belokan.

"Apa peduliku juga kamu suka atau nggak sama aku." Barata akhirnya mampu bersuara setelah terdiam cukup lama. Helaan napasnya berat.

"Tapi kamu memang nggak boleh suka sama aku, Mora. Bisa berbahaya buat kita berdua. Tapi …."

Mata Barata berkabut. Ekspresinya murung. "Tapi aku juga nggak bisa batalin rencana pernikahan kita. Nama baik keluarga taruhannya. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?"

Pasangan kekasih yang jauh dari kata romantis itu pada akhirnya saling berdiam diri. Keduanya tidak berkomunikasi. Tak ada percakapan. Tak ada chatting. Tak ada telepon. Seolah Mora dan Barata adalah dua orang asing yang tidak saling mengenal.

Hingga Mami dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang, dua anak muda itu masih juga seperti orang bermusuhan. Mora meminta izin tak menjemput Mami di rumah sakit. Sementara Barata bersikap acuh tak acuh saat Mami menanyakan keberadaan calon parumaen-nya.

"Ada apa sama kalian berdua ini?" Mami menggeleng-geleng. 

"Nggak ada apa-apa, Mi."

"Kalau nggak ada apa-apa, kenapa udah beberapa hari ini Mora nggak jenguk Mami?"

Pertanyaan Mami wajar. Pasalnya sudah hampir dua minggu pasca pulang dari rumah sakit, tetapi calon menantunya itu tak juga kunjung menampakkan batang hidung. Malah beberapa kali teleponnya ditolak oleh Mora dengan alasan sedang sibuk bimbingan dosen.

Calon menantunya itu justru membalas telepon dengan pesan-pesan singkat dan penuh basa-basi. Itu juga dikirim berjam-jam kemudian. Seolah menghubungi Mami hanya sekadar formalitas semata.

"Kelen bertengkar rupanya," ucap Mami dengan dialek Medan yang amat sangat langka digunakan.

Barata melirik wanita di sampingnya. Risiko jadi anak sulung yang masih tinggal bersama orang tua, dia harus siap menghadapi segala ocehan Mami. Diam-diam Barata curiga perginya Papi ke luar kota lagi bukan hanya untuk tujuan bisnis semata. Namun, juga untuk menghindari gerecokan Mami yang cerewet.

"Apa sih, Mi? Nggak ada apa-apa. Dia kan, sibuk tesis. Ya, udah. Biarin aja." Barata memindahkan chanel teve dengan remote control di tangan.

"Tapi ini nggak biasa. Pernikahan kalian makin dekat. Memang udah diurus sama EO, tapi tetep aja ini nggak wajar." Mami menatap tajam putra kesayangannya.

Barata menghela napas panjang. Sudah kebiasaan Mami menginterogasi sampai rasa ingin tahunya terpuaskan. Namun, kali ini Barata juga tak mau mengalah. Tak ada seorang pun yang berhak mengusik privasinya.

"Mi, kami udah dewasa. Nggak usahlah pusing mikirin kami. Yang penting beres sampai acara nikah nanti."

Barata meringis dalam hati. Obrolan terakhirnya dengan Mora dua minggu lalu di rumah sakit kembali berseliweran dalam benak. Pernyataan tegas Mora agar dirinya yang membatalkan rencana pernikahan tak urung terus jadi beban pikiran Barata.

Sayangnya sindiran menohok Mora sangat tepat sasaran. Dia memang pengecut. Dua minggu sudah berlalu. Terlalu banyak waktu terbuang untuk memutuskan apakah harus batal nikah atau tetap lanjut.

Pemikiran-pemikiran itu pada akhirnya mengerucut pada fakta yang menampar kesadaran Barata. Keyakinan lelaki itu untuk tidak melanjutkan pernikahan perlahan sirna tanpa Barata tahu apa sebabnya.

"Besok Bora datang."

Lamunan Barata buyar. Kepalanya menoleh cepat. Akhir pekannya kali ini sepertinya penuh dengan kejutan. "Sama suaminya?"

"Tentu ajalah. Mana mau si Fahri ngelepasin adekmu itu naik pesawat sendirian. Ripe harus selalu bersama ke mana-mana."

Barata memutar bola mata. "Nggak praktis banget. Itu romantisasi yang berlebihan. Harusnya suami dan istri punya privasi masing-masing. Toh, yang terpenting Bora datang ke tempat yang jelas. Ngapain harus dikawal suaminya segala?" 

Barata terang-terangan mencibir. Hadiahnya adalah satu jitakan keras tangan Mami ke kepala putra sulungnya.

"Aduh, Mi. Sakit ini."

"Siapa suruh mulutmu itu nyerocos lancang kayak gitu?" Mami menghardik galak. "Fahri kayak gitu ke adekmu ya karena ngehargain Bora. Sayang sama Bora. Kalau ngebiarin istrinya ke mana-mana sendirian, apa yang bakal orang bilang?"

"Ya, nggak ada, Mi. Udah lumrah kan, istri bepergian sendirian ke mana-mana. Itu para artis juga gitu. Yang penting Bora nggak pergi buat selingkuh."

"Ini bukan soal selingkuh, Bara. Tapi menjaga keamanan. Itu tanggung jawab suami ke istri. Aduh, makanya menikahlah cepat-cepat sama Mora. Biar tahu rasanya nggak tenang hati kalau istri pergi sendirian."

Barata gondok. Ujung-ujungnya topik pembicaraan kembali pada dirinya. Lelaki itu pilih memusatkan lagi perhatian ke televisi dan mendengarkan separuh hati ocehan maminya.

Lalu sesuatu yang tak dinyana muncul. Dua hari kemudian, Bora yang sudah berada di Jakarta tiba-tiba mendatangi calon kakak iparnya di kafe. Perempuan itu datang sendirian tanpa anak-anaknya.

"Selamat pagi, Eda. Boleh aku minum kopimu?"

Mora mengerjap-ngerjapkan mata. Dirinya yang tengah berada di belakang meja kasir untuk curi-curi mengerjakan tesis menatap perempuan cantik di hadapannya dengan ekspresi bingung.

Ya. Cantik. Perempuan yang memanggilnya eda itu punya tinggi sedikit di atas rata-rata perempuan Indonesia. Kulitnya bersih dan terlihat sehat dengan pemakaian dress pendek motif bunga-bunga. Senyumnya ramah. Sorot matanya lembut penuh kasih. Namun, garis wajahnya jelas menunjukkan siapa dia. 

Mora mengenali sukunya. Insting yang menggerakkan. Bibir Mora melengkung membalas senyum si perempuan yang ditaksirnya hanya beberapa tahun lebih muda darinya itu.

"Boleh. Silakan. Dari Medan?"

"Padang Sidempuan," jawab si perempuan.

Senyum Mora makin lebar. Lekas dia berjalan ke bar dan meracik secangkir kopi Mandailing untuk tamunya. Mora sendiri yang mengantarkan minuman itu ke meja di bagian luar kafe.

Sinar matahari terserap oleh rimbunan daun mangga dan atap kanopi yang menaungi bagian atas meja. Aroma kopi yang didatangkan langsung dari perkebunan di Bukit Barisan menguar lembut di udara. 

Kali ini Mora tak membawa kue-kue modern. Sebagai gantinya dia meletakkan sepiring kecil pisang goreng yang dipanaskannya di microwave.

"Abang emang nggak salah pilih. Eda yang terbaik." Wajah si perempuan berbinar-binar menatap pisang goreng.

"Abang?"

"Bang Barata." Perempuan itu mengulurkan tangan. Wajahnya masih semringah. "Kenalkan. Namaku Bora Harahap. Bang Barata pasti pernah cerita soal aku, kan?"

Mora tertegun. Susah payah dia menyembunyikan ekspresinya yang kaget bukan kepalang. Kali ini senyumnya palsu.

"Bang Bara hanya sekali cerita soal kau. Sisanya Mami yang banyak cerita."

Bibir Mora melengkung tinggi. "Ah, itu memang style dia banget. Cueknya nggak ketulungan, tapi Abang sangat baik hati."

Mora menahan diri untuk tidak mengomentari dialek Jakarta yang kental terdengar dari suara Bora. Dua bersaudara Harahap yang dikenalnya memang Gen Z sejati yang mulai lupa dengan akar mereka.

"Aku ke sini mau ajak Eda jalan-jalan. Kita window shopping. Udah lama banget nggak jalan sama saudara perempuan aku, tuh."

Alis Mora terangkat tinggi. "Di Medan?"

"Sibuk sama anak-anak. Sekali keluar juga ada hubungannya sama kerjaan Bang Fahri. Ah, itu nama suamiku."

Mora langsung menyadari Bora adalah antitesis dari Barata. Bila si sulung ibarat kulkas dua pintu, si bungsu merupakan microwave yang tak henti memancarkan kehangatan.

"Mami juga udah kangen sama Eda. Entar kita ketemuan di PIM."

"Tapi–"

"Ayolah, Eda. Ini pertama kalinya kita ketemu. Aku pengen banget kenalan sama calon kakak ipar aku ini."

Mora perlahan-lahan mulai nyaman. Ketulusan tertangkap jelas dari sosok Bora. Tanpa rikuh perempuan itu menimpali perkataan adik Barata.

"Apa aku sedang dalam tahap interogasi keluarga?"

Tawa Bora renyah. "Nggaklah. Udah sejak tiga tahun lalu keluarga setuju sama Eda. Jadi, buat apa ada tahap interogasi lagi?"

Bora meraih tangan Mora. Bersungguh-sungguh perempuan itu bicara. "Ini benar-benar hanya shopping antar perempuan. Ladies Day. Bang Bara sama Bang Fahri sibuk. Aku kesepian di rumah. Iya memang ada anak, tapi mereka udah kecantol sama kakeknya. Nganggurlah aku, Eda."

Mora tak kuasa menahan tawa. Tanpa perlu disuruh dua kali dia menyetujui permintaan Bora. Jadilah, siang sampai sore itu Mora menemani para perempuan Harahap berbelanja di PIM.

"Ternyata Eda nyenengin banget." Bora berkata setelah mereka memasuki toko tas untuk ketiga kalinya.

Kini Bora, Mami, dan Mora tengah mengistirahatkan kaki di salah satu restoran. Wajah mereka memerah oleh kebahagiaan. Mami yang paling senang akhirnya bisa bertemu lagi dengan calon menantunya.

"Ngomong-ngomong, aku belum jadi eda kau. Panggil Mora sajalah." Perempuan itu merasa rikuh sendiri.

"Loh, tinggal beberapa minggu lagi resmi, kan? Sekalian latihanlah." Bora berkelakar.

"Oh ya, Mora. Mamakmu sudah kirimkan songket untuk keluarga kami. Sekalian kirim baju pengantinmu juga untuk di-fitting. Kata Mamakmu, kamu males pulang kampung." Mami menjelaskan.

Pipi Mora merona. Sejak pertengkaran kecilnya dengan Barata dua minggu lalu, Mora memang sengaja menolak seluruh panggilan dari Mami juga keluarganya. Padahal Mamak sudah memerintahkan untuk pulang ke Medan beberapa hari guna melakukan pengepasan baju pengantin.

Semangat Mora untuk menjadi Nyonya Barata Harahap sirna sudah. Bahkan perempuan itu mulai memikirkan nasibnya setelah menikah nanti jika Barata masih terus bersikap dingin macam sekarang. Otomatis Mora jadi tidak antusias dengan persiapan pernikahannya sendiri.

Seandainya Ompung Dame tak menjodohkan aku sama Bang Bara. Seandainya juga aku bisa mewarisi aset Ompung Dame tanpa harus nikah sama pariban aku sendiri. Pasti tak bakal baperlah aku cem sekarang.

Mora hanya mampu menelan rasa sedihnya seorang diri. Dia memberikan senyum pura-pura sembari menjelaskan jika tesisnya memang sangat menyita perhatian. 

"Jangan terlampau capek. Nggak baik calon pengantin kelihatan kuyu di hari pernikahannya." Mami memberi nasehat.

Mora hanya mengangguk. Percakapan lantas bergeser ke seputar ulos dan songket. Sampai Bora menerima panggilan telepon dari suaminya yang langsung mengubah keceriaan di meja makan itu.

"Iya, Bang? Di rumah sakit sekarang? Siapa yang …."

Kening Bora berkerut. Lirikan pertamanya tertuju pada Mora.

"Iya, Bang. Kami segera ke sana. Jangan khawatir. Kami nggak bakal ngebut, kok."

Bora menyimpan ponselnya. Mami yang lebih dulu menodong pertanyaan. "Siapa yang di rumah sakit?"

"Bang Fahri, Mi. Bang Bara …." Bora ragu meneruskan.

"Kenapa sama abangmu itu?"

"Bang Bara kecelakaan, Mi. Kondisinya sekarang kritis."

~~ BERSAMBUNG ~~

Catatan Kaki:

Ripe: pasangan suami istri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top