1 | Tulah Keluarga
"Kalau nggak keras kepala, bukan Batak namanya."
Mora menuangkan susu yang sudah dibusakan dalam cangkir berisi racikan double espresso, saus karamel, ekstrak vanila, gula merah, dan sejumput garam yang telah diaduk rata. Lalu disodorkannya minuman beraroma harum itu ke satu pelanggan setia Lunar Book Cafe yang duduk persis di hadapannya.
Suara seruputan nikmat terdengar dari pemilik nama Dito Siregar. Seorang mahasiswa pascasarja UI yang juga sepupu jauh Mora. Decak keras lanjut terdengar disusul denting cangkir yang diletakkan kembali ke tatakannya.
Sementara Mora melihat aksi sepupunya dengan kening berkerut dan bibir mengerucut. Perempuan bertubuh rata-rata Indonesia itu memperbaiki posisi topi fendora yang dikenakannya sebelum bersandar santai ke konter dapur.
Siang itu suasana kafe milik Mora terbilang sepi. Hanya ada dua pengunjung selain Dito yang berkunjung. Cuaca di luar yang cukup terik tidak terasa saat di dalam ruangan berkat AC yang disetel maksimal. Seharusnya hari ini Mora kuliah sesuai dengan jenjang pendidikan S-2 yang tengah ditempuhnya di salah satu universitas tertua Indonesia. Namun, dosen yang seharusnya mengajar tiba-tiba absen.
Jadi, di sinilah Mora sekarang. Berdiri di belakang meja bar membantu pegawainya mengurus Lunar. Kebetulannya Dito datang dan langsung memberondongnya dengan pertanyaan tentang ketidakhadirannya di salah satu momen sakral keluarga besar Siregar.
"Keras sih, keras. Tapi janganlah kau sampai tinggalin itu Tiar," komentar Dito.
Mora memutar bola mata. Telinganya mendadak terasa asing dengan logat khas Medan yang keluar dari mulut Dito. Hampir lima tahun merantau ke Jakarta, perempuan itu mulai terbiasa dengan dialek Betawi alih-alih tanah kelahirannya.
"Siapa yang tinggalin, eh? Aku udah calling Tiar. Dia no problem dengan aku yang nggak datang ke Mangulosi (1) bulan kemarin." Mora berdalih.
Dito langsung memelototkan mata. Dilemparnya sebutir kacang ke arah Mora yang disambut perempuan kuning langsat itu dengan tangkapan sigap.
"Banyak alasan kau, bah! Bilang saja kalau kau tak sanggup dapat pertanyaan kapan nikah."
Cengiran Mora tercetak lebar. Dia mengambil minuman untuknya sendiri lantas berjalan keluar dari area bar. Digamitnya siku Dito yang mengikutinya pergi ke satu sudut kafe. "Nah, itu udah tahu alasannya."
"Ya ampun, Mora. Tak kau saja yang kena pertanyaan itu. Aku juga." Dito menggeleng-gelengkan kepala. "Mana Bapa sama Mamak sudah kongkalingkong pula untuk bikin kencan buta dengan pariban Mamak."
Mora tak bisa menahan tawa. Gelaknya terdengar keras. Dua pengunjung yang tengah menikmati kopi sambil membaca buku sampai menoleh. Buru-buru Mora menutup mulut dan menjilat bibir. Dia harus memberikan alasan yang masuk akal agar sepupunya itu berhenti menggerecokinya tentang alasan ketidakhadirannya di salah satu pernikahan sepupu Siregar.
"Aku banyak tugas kuliah, Dito. Ini juga mau daftar jadi volunteer di rumah singgah. Kerjaan aku banyak banget di sini."
"Pendusta licik," dengkus Dito, "kau pikir aku percaya, bah?"
"Ya, terserah kalau nggak percaya." Mora mengangkat bahu pura-pura acuh tak acuh.
Dito terdiam sejenak. Dia memberi isyarat pada satu pelayan kafe Mora untuk memberinya kue manis di etalase. Setelahnya lelaki itu kembali memusatkan perhatian pada Mora.
"Soal nikah itu memang bikin kau galau, ya?"
"Siapa yang nggak?" Mora balik bertanya.
"Tapi, Mora. Kau tahu sendirilah tabiat keluarga kita. Banyak anak banyak rezeki. Cuma keluargamu saja yang kena tulah sedikit anak." Dito mengingatkan fakta bila di keluarga Mora sejak beberapa generasi memang para perempuannya hanya bisa melahirkan seorang anak.
Pohon keluarga Mora sangat kurus. Kontradiktif dengan keluarga Siregar lain yang rata-rata memiliki banyak anak di tiap generasi. Tak tanggung-tanggung, membuat kesebelasan sepak bola kecil pun mereka mampu berkat banyaknya anak yang dilahirkan.
"Jangan sembarangan kalau ngomong," tegur Mora halus.
"Memang faktanya macam itu. Makanya tak salah toh, kalau Mamakmu sampai ngejar-ngejar kau buat nikah?"
Mora terdiam. Perkataan Dito ada benarnya. Setelah beberapa generasi hanya bisa melahirkan satu anak saja, baru di generasi kakek Mora saja yang beruntung memiliki tiga saudara. Namun, setelahnya semua hanya memiliki satu anak saja.
"Bukan itu alasan aku nggak mau pulang." Mora masih berkilah.
"Dasar pendusta kecil. Kau pikir aku mau percaya denganmu?"
"Percaya itu sama Tuhan. Dosa kalau percaya sama aku."
Dito ingin melempar kacang lagi. Sayangnya kudapan itu tak tersedia di meja mereka sekarang. Menggerutu kesal lelaki jangkung itu kembali bicara.
"Ngomong-ngomong, opung kau bikin ulah lagi."
Punggung Mora serasa dialiri hawa dingin. Duduknya seketika tegak. Ekor matanya melirik kanan kiri, berusaha menghindari tatapan Dito yang tertuju lurus padanya.
"Di Mangulosi Tiar tempo hari, opung kau hampir saja mengambil perhiasan pengantin. Untung saja kepergok sama pegawai katering."
Mora susah payah menelan ludah. Perutnya serasa ditonjok tangan tak kasatmata.
"Bapamu tengkar hebat sama opung kau. Jadi tontonan kemarin itu. Tapi berhasil dilerai. Untung saja opung kau tak ngamuk lagi macam biasanya."
Wajah Mora pucat pasi. Inilah alasan sebenarnya dia enggan pulang ke Medan. Sejak menjejakkan kaki di ibukota untuk kuliah S-1 lima tahun lalu, Mora sudah bertekad harus menjauhi keluarga besarnya.
Memang ada banyak Siregar di dunia ini. Namun, Siregar dalam keluarga Mora punya trouble maker yang membuat dirinya kesulitan.
Ulah opungnya berimbas pada kehidupan dalam keluarga Mora. Orang tuanya jadi sering bersitegang. Ujung-ujungnya Mora juga jadi korban karena rongrongan tak masuk akal bapa dan mamaknya untuk segera menikah.
"Pulang sajalah, Mora. Bentar lagi sepupu kita mau nikah besar. Kau sudah absen berapa kali coba?"
Mora masih terdiam.
"Kalau ada yang tanya kapan nikah, cuekin aja. Mulut keluarga kita memang suka julid. Janganlah kau keras kepala terus. Tak rindu kau sama kebun kopimu dan vilamu di Mandailing sana?"
Mora mendelik kesal. Bisa-bisa Dito melemparkan bujukan yang sebenarnya sulit sekali dilawan oleh Mora. Sebagai pencinta kopi, perempuan itu bersyukur luar biasa sebab dilahirkan dalam keluarga pemilik bisnis kopi besar.
Kebun keluarga Mora berhektar-hektar banyaknya di Sumatra Utara. Produksinya berton-ton banyaknya. Beberapa tahun ini malah biji kopi dari kebun mereka telah berhasil menembus pasar internasional, menjadikan keluarga Mora sebagai salah satu pebisnis yang diperhitungkan oleh pemerintah daerah.
"Kalau aku balik terus ujung-ujungnya disuruh nikah, bisa berabelah rencanaku ke depan." Mora mengeluh.
"Memang mau jadi apa kau? Habis kuliah memang tugasmu buat ngurus bisnis keluarga, kan?"
Mora dongkol. "Nggak mau. Aku pengen jadi wanita karier, punya bisnis sendiri, baru mikirin nikah."
"Duh, Mora. Kau bisa lakukan itu sambil nikah juga. Lagi pula keluarga kau kaya raya. Kenapa pula harus repot-repot bikin usaha sendiri?"
"Bah, tak bakal ngerti pula kau." Akhirnya dialek khas Sumatra Utara Mora pun keluar.
Perempuan itu bangkit. Dia memberi tahu bila kopi yang diminum Dito hari ini gratis. Traktiran dari dia. Lalu Mora pergi meninggalkan sepupunya yang masih terus mengoceh tentang kewajiban anak merantau untuk pulang ke kampung halaman.
Begitu membuka pintu kafe, hawa panas ibukota langsung menerjang Mora. Kening perempuan itu berkerut. Matanya menyipit menyesuaikan dengan cahaya matahari yang sangat terang. Tak dia pedulikan panggilan Dito yang berteriak dari dalam kafe.
Mora berjalan cepat meninggalkan patio. Dadanya bergejolak dengan perasaan kesal luar biasa akibat kedatangan sang sepupu. Tinggal satu langkah lagi tiba di pagar depan dan Mora bisa terbebas dari gerecokan Dito. Sayangnya semesta begitu tidak merestui keinginan perempuan Batak itu untuk kabur dari keluarganya. Kakinya dengan tidak sopan tersandung undakan rendah patio dan bayangan halaman berbeton yang bakal dihantamnya membuat Mora menjerit ketakutan.
~~ BERSAMBUNG ~~
Catatan Kaki:
(1) Mangulosi adalah salah satu upacara pernikahan adat dalam masyarakat Batak. Prosesinya berupa pemberian kain ulos pada pasangan pengantin sebagai simbol pemberian doa-doa kebaikan dari seluruh keluarga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top