Bab 2 - Kota yang Separuh Tenggelam
Di antara tiga orang yang terjebak di dalam gerbong kereta, Basuki Janardana merupakan satu-satunya orang yang telah melupakan rasa frustrasinya.
Dalam pandangannya, rasa khawatir tidak akan membantu apapun pada situasi yang ia hadapi. Memang, kegelisahan sudah menjadi hal alamiah ketika tersesat di tempat antah berantah, tetapi di sisi lain kegelisahan hanya akan membuat semuanya makin runyam.
Ini adalah sebuah perjalanan baru di dunia lain. Maka dari itu, aku harus menikmatinya. Toh, tidak ada satupun hal yang bisa dijadikan petunjuk untuk kembali ke dunia nyata.
Basuki percaya jika sebuah perjalanan dapat menciptakan beribu pengalaman. Namun, pengalaman unik yang sedikit pahit lah yang biasanya cenderung lebih menarik dan membekas di hati daripada pengalaman manis bak permen kapas.
Pengalaman unik tidak akan dua kali.
Monas telah tenggelam, menyisakan puncak emas bak kuncup teratai yang mengambang di atas air. Air laut telah menenggelamkan tubuhnya, menciptakan pemandangan unik kala cahaya matahari pagi memantul di permukaannya. Selain itu, ikan-ikan dengan berbagai warna berenang di sekitarnya bak komedi putar dengan lampu neon warna-warni.
Poin paling utama, Basuki menyaksikan semua itu dari gerbong magis yang kini melaju di langit Kota Jakarta.
Ingin rasanya ia melompat, menyelam ke dalamnya dan menyaksikan seperti apa monumen ikonik pusat ekonomi Indonesia itu dari di dalam air. Sayang, keberadaan pelindung transparan di platform sempit tempatnya berdiri menghalanginya untuk melakukan hal tersebut.
Tidak hanya monumen nasional, gedung-gedung pencakar langit yang menjadi jati diri dari Jakarta Selatan juga telah dilahap oleh air, menjulang tak beraturan. Bagai negeri yang telah menghadapi distopia, pepohonan berakar panjang tumbuh tak beraturan di beberapa bagian, menambah kesan eksotis tempat tersebut.
Jembatan-jembatan megah dengan sentuhan Yunani menghubungkan beberapa gedung pencakar langit ke jalan flyover, menjadi penghubung antar satu gedung dengan lainnya. Paving putih mengikis jalanan aspal hingga menyisakan empat jalur yang dapat dilalui kendaraan. Meski jalanan-jalanan tersebut disusun dengan sangat apik dan hidup, Basuki masih belum menemukan satupun kendaraan maupun keberadaan manusia di sana.
Semuanya seperti peradaban yang baru saja menyatu lantas ditinggalkan begitu saja.
Lelaki itu menepuk kedua pipi, berkacak pinggang layaknya Superman, lantas memompa udara segar menuju paru-parunya.
Titik awal petualangan harus dimulai. Sebagai orang paling positif di gerbong, ia harus menyebarkan energinya ke dua orang yang juga terjebak di situasi yang sama.
Basuki kembali ke gerbong dan menepuk tangan kala langkah kakinya sudah berada di tengah gerbong, membuat dua orang yang juga terjebak di situasi yang sama tertuju padanya.
"Oke, semuanya. Mohon perhatian!" seru Basuki ceria sembari berjalan menuju ke depan gerbong dengan dada yang terbusung. "Nama saya Basuki, keturunan Betawi, baru lulus SMA, lagi cari info kampus. Berhubung takdir membawa kita bertiga ke dunia lain dari Jakarta ini, ada baiknya kita kenal—."
Suara desah kesal yang sangat disengaja terdengar, membuat mata laki-laki tersebut sepenuhnya tertuju pada pria yang pertama kali mengajaknya bicara. Pria itu membuka jaket dan mengekspos penampakkan sablon wayang di kaos hitamnya.
"Bisa-bisanya masih mikir kenalan sambil pasang muka sok ceria. Tolong banget, kita ini bukan lagi ikutan acara pramuka atau sekolah, lho. Jangan bikin keadaan makin ruwet!" seru pria itu sambil melempar jaket ke bangku kosong di sampingnya. "Kita aja ndak tahu dunia ini dunia apa, terus gerbong ini mau bawa kita ke mana. Belum lagi petunjuk biar kita bisa keluar dari sini juga ndak ada. Bisa-bisanya kamu malah mikirin kenalan daripada mikirin cara supaya kereta ini balik lagi ke dunia nyata."
"Justru karena kita belum punya petunjuk apa-apa, Mas. Makanya saya ajak kenalan biar kita lebih enak diskusi waktu nemu petunjuk. Lagian, masa kita harus bongkar kereta ini satu per satu? Mas juga udah coba bongkar bohlam, muterin baut kereta, sama coba bongkar bangkunya satu-satu. Dari semua itu, Mas masih belum nemu petunjuk apapun, kan?" Basuki melipat tangannya ke depan dada dan tersenyum. "Kita juga gak bisa loncat dari kereta karena ada penghalang transparan di depan sama belakang. Meski kita bisa loncat, kita gak mungkin ngelakuin itu juga, kan?"
Pria besar itu merebahkan punggungnya ke kursi, tidak memberikan sedikitpun atensi pada orang yang tengah berbicara kepadanya.
"Lagian, saya juga udah bilang kalau sekarang kita ada di dunia lainnya Jakarta. Meski kereta ini belum tentu berhenti di Stasiun Gambir kayak di aplikasi, kita pasti tetap berhenti di kota ini, kok."
"Bukti kita ada di Jakarta mana?"
"Tuh." Basuki menunjuk gedung-gedung yang ada di luar jendela dan melanjutkan, "Kalau Mas dari awal pernah ke Jakarta, Mas harusnya udah tau kalau Monas itu salah satu ikonnya Jakarta. Kalau udah pernah lama tinggal di Jakarta atau jadi maniak tower, harusnya Mas tau mana Treasury Tower, Astra, Wisma 46, atau tower lain dari bentukan puncaknya. Dari lokasi-lokasi gedung itu, saya bisa ambil kesimpulan kalau kita ada di sekitar Jaksel sama Jakpus. Coba cek maps aja kalau gue salah.
Pria itu melirik malas Basuki. "Bukti kita bakal turun di sini?"
"Gak ada, cuma firasat aja. Soalnya maps juga nunjuk kalau lokasi stasiun akhir ada di depan. Paling beberapa menit lagi juga nyampe." Basuki tertawa kecil, membuat urat di kening lawan bicaranya muncul. "Tenang aja, aplikasi—"
Pria itu mengepalkan tangan dan berdiri. Sadar jika yang akan ia lakukan hanya memperkeruh suasana, pria tersebut memukul jendela gerbong di sampingnya dan kembali duduk. Ia memutar mata. Gumam sumpah serapah pun keluar dari mulutnya.
"Sing eling, Mas. Lagian aplikasi kereta gak bakal bohong, kok," ucap Basuki, menirukan logat medhok pria tersebut. "Bahas tentang maps, kalau kita nyalain GPS terus ngehubungin ke Stasiun Gambir, kita bisa tau rute rel kereta yang bawa kita muter-muter di sini. Coba Mas cek aja. Terus—"
"Aplikasi, maps, aplikasi, maps .... Kamu pikir aku ndeso? Ini bukan pertama kali aku naik kereta jarak jauh, lho," sewot sang pria tanpa melirik mata lawan bicaranya. "Dasar, wong aneh."
Basuki menghela napas. Ia hanya membalas dengan senyum simpul sembari menutupi kejengkelan karena penjelasannya tidak dihargai. Ia harus sabar dan tegar. Di posisi seperti ini, Basuki harus menahan dirinya sendiri dari segala amarah.
Tak lama setelah keadaan memanas, isak tangis terdengar dari perempuan yang belum sedikitpun mengutarakan pendapatnya. Perhatian Basuki dan sang pria kini tertuju padanya. Mereka saling lirik, seolah bertelepati mengenai hal apa yang telah terjadi dan apa yang harus dilakukan. Pada akhirnya, Basuki berinisiatif mendekati perempuan berwajah Tionghoa tersebut setelah sang pria melambaikan tangan dan membuang muka ke luar jendela.
"Kamu kenapa?"
"Kita teh mau kemana ini, Kang? Aku harusnya pulang sama temenku ke Bandung, tapi ...." Perempuan itu menyeka air mata dengan lengan baju dan melanjutkan keterangannya dengan nada yang bergetar. "Temen-temenku di mana? Gimana kalau aku nggak bisa pulang? Bandung-nya juga udah ilang jadi Atlantis. Ini enggak lucu, Kang."
Basuki menyipitkan mata saat mendengar logat mendayu khas Sunda-Bandung dari mulutnya. Ingin rasanya ia bertanya lebih jauh mengenai hal tersebut, tetapi ia mengurungkan niat kala mengingat suasana hati perempuan tersebut saat ini.
"Kamu naik kereta bareng temen kamu?"
Sempurna! Basuki berhasil mengalihkan topik. Ia kemudian melirik kepada sang pria dan melontarkan pertanyaan.
"Mas, kamu naik keretanya sendiri juga atau bareng temen?" Melihat tidak ada respon, fokus Basuki kembali kepada perempuan tersebut. "Oh iya, nama kamu siapa? Terus, sebelumnya emang kamu darimana?"
"Mirawati. Aku sebelumnya dari Jogja, terus harusnya turun di Kiaracondong." Ia mengambil tisu dari tasnya, menyeka ingus, dan menarik napas. "Aku ngerayain ulang tahun sama temenku, sekalian jalan-jalan sebelum naik kelas. Tapi ...."
Perempuan itu kembali menangis, membuat Basuki gelagapan. Saat laki-laki itu akan menenangkannya, kereta tiba-tiba bermanuver turun tanpa pemberitahuan, membuat tubuhnya yang tidak berpegangan pada sesuatu terpelanting dan meluncur ke belakang gerbong.
Ketiga penumpang itu menjerit dan menjadi semakin kencang kala penampakan dua wajah raksasa berwarna merah menatap isi gerbong dengan mata melotot.
Ingatan Basuki seketika tertuju pada ondel-ondel kala melihat sekilas corak kumis, mahkota, dan rambut dari tusuk kertas warna-warni dari wajah. Hanya saja penampakan yang saat ini meneror kereta sangatlah realistis jika dibandingkan dengan ondel-ondel sesungguhnya.
Bak seekor belut, kereta terus berkelok-kelok dari satu gedung ke gedung lain, menghindari tatapan dua topeng yang mengejar. Basuki berusaha berdiri, tetapi pergerakan kereta yang mendekati kecepatan rollercoaster membuatnya hanya bisa pasrah terombang-ambing dengan barang bawaan seperti tas dan koper kini melayang ke arahnya.
Portal magis muncul secara beruntun, membuat gerbong kereta mampu menerobos gedung-gedung dan pepohonan yang menghalangi jalannya. Kereta terus melaju tanpa tertebak, membuat isi gerbong terombang-ambing tak terkendali.
Tiba-tiba, lingkaran sihir berwarna merah muncul, menciptakan rantai yang mengikat kereta dan menahan lajunya. Pupil mata ondel-ondel yang sebelumnya hitam kini berubah menjadi merah menyala, menyinari seisi gerbong dengan sinar mencekam. Kereta yang ingin melarikan diri kini tak kuasa menahan cengkeraman dari ikatan rantai.
Basuki, sang pria, dan Mirawati saling menatap satu sama lain. Mereka pergi menuju platform depan dan memperhatikan rantai besar yang mencantol kail depan kereta, menariknya menuju jalan flyover buntu di depan gedung tinggi.
Gedung tinggi yang sangat Basuki kenali, gedung tinggi yang menjadi urban legend, gedung tinggi yang seharusnya telah tenggelam jika dibandingkan dengan ketinggian gedung pencakar langit lainnya. Menara Saidah, gedung yang seharusnya angker kini menjadi gedung yang paling indah dibandingkan gedung lainnya.
Sihir pelindung transparan yang menghalangi mereka pun sirna saat kereta menapakkan tubuhnya di trotoar, membuat Basuki yang terlalu fokus pada wujud menara di depannya kehilangan keseimbangan.
Tanah bergetar hebat, membuat tiga orang yang baru saja turun hampir terjengkang. Susunan-susunan balok putih muncul, menciptakan jembatan yang menghubungkan flyover dengan gedung.
Kerumunan warga-warga pun mulai menampakkan diri. Para wanita berkebaya Betawi mengintip dari jendela-jendela gedung sementara para pria dengan baju sadriah keluar. Mereka mengelilingi gerbong kereta dan memperhatikan ketiga penumpang yang juga kebingungan mengenai apa yang terjadi.
Topeng merah raksasa yang mengejar mereka kini berubah menjadi sosok manusia dengan baju pangsi hitam, bersorban merah muda, serta memiliki aura pendekar silat kala ia menarik golok dari sabuk hijaunya.
"Ente bertige antek-antek siape? Mau cari perkara di mari?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top